Pages

Wednesday, March 22, 2017

Buku masih barang mewah

Dalam satu minggu ini, saya kedatangan beberapa lbu-lbu orang tua siswa SMP. Mereka datang dengan tujuan yang sama: meminjam buku bacaan non pelajaran berbahasa Sunda.

Kedatangan mereka untuk kembali pulang dengan tangan hampa. Beberapa buku berbahasa Sunda yang saya miliki telah dipinjam pada minggu sebelumnya, juga, oleh siswa-siswa SMP.

Saya mengetahui bahwa ada Gerakan Literasi Sekolah yang sedang digulirkan di Indonesia (termasuk Jawa Barat: West Java Reading Challenge) sebagai upaya menyiapkan generasi muda menjadi individu literat. Yang mampu mengkaji informasi dari berbagai sumber (teks, gambar, dan layar/screen) secara bijak. Sebagai permulaan, literasi dasar dipraktekan sebagai kegiatan membaca buku non pelajaran dalam kurun waktu tertentu secara rutin dan dipantau oleh guru.

Para siswa bersedia membaca dengan kondisi seolah terpaksa di awal kegiatan. Mereka, mungkin belum menemukan bahwa buku adalah jendela yang dapat membantunya berjelajah secara imajinatif. Para siswa juga, mungkin menganggap bahwa membaca adalah pemenuhan tugas dari guru. Bukan untuk menjadikan dirinya sebagai orang berbeda secara pengetahuan sebagai hasil dari membaca.

Buku dalam bentuk cetak (printed) ataupun digital dalam bahasa Indonesia (apalagi berbahasa Sunda) sama sulitnya untuk dapat diakses pembelajar.

Buku dalam bentuk cetak berperan penting dalam membangun keintiman pembaca dengan buku. Saat tangan membuka bungkus buku dan mencium bau khas kertas baru, sensasi ini hanya dialami pembaca ketika bersentuhan langsung dengan kertas.

Tidak semua anak Indonesia mengalami sensasi di atas. Kebanyakan mereka mengenal buku pada saat diberi setumpuk buku paket pelajaran di kelas satu SD. Buku paket terasa mahal karena biasanya uang tidak dikeluarkan untuk membeli kertas. Sebagian orang tua hanya membelikan buku pada saat anaknya sekolah, dan hampir tidak pernah menyarankan menabung sedikit dari uang saku anaknya untuk membeli buku non pelajaran.
Orang tua seperti ini tidak bisa disalahkan. Harga buku masih mahal. Harga buku tidak senilai harga semangkuk Bakso atau Mi Ayam.
Oleh karenanya tidak heran jika di rumah-rumah orang Indonesia lazimnya tanpa perpustakaan keluarga.

Mahalnya harga buku disempurnakan dengan semakin sedikitnya waktu untuk membaca. Zaman ini, yang katanya milik generasi Z, anak-anak telah terlebih dahulu akrab dengan gawai, bukan dengan buku.
Waktu untuk membaca menjadi langka. Menjadi pemandangan mewah jika melihat anak atau orang dewasa asik membaca.

Sekalipun buku dan waktu untuk membaca buku terasa tinggi bayarannya, semoga saja, semangat lbu-lbu yang bersedia meminjam dan mencarikan anaknya buku, memberikan sedikit sumbangan bagi bangkitnya semangat membaca di kalangan anak-anak.

Saturday, March 11, 2017

Hujan

Mungkin aku tak bisa mengatakan kepadamu bahwa aku tak lagi menanti hujan.

Saat itu, ketika kita berbasahan dan kamu mengatakan bahwa itu basah terindah yang melewati setiap urat nadimu. Aku tahu kamu mengatakan itu dengan ragu. Selabil getar tatapmu.

Aku tahu, tak mudah bagimu juga bagiku untuk menikmati tiap tetesan hujan. Helai rambut panjangmu yang kamu cat marun kamu tegaskan itu bukan untuk memanjakan mataku. Kamu juga memastikan bahwa rambutmu tak siap menerima air.
Tidak benar jika kamu menduga aku takut cat rambutku luruh ketika kamu dengan hati mencipratinya.

Aku  menyukai kesamaan air yang kita pikir dan aku juga menikmati hujan yang kita bagi.
Aku menyukai hujanmu;
Walaupun aku punya kucuran air yang jatuh kapanpun aku mau.

Dee#1

Monday, March 6, 2017

Perjalanan SMA dari Sudut Pandang Anak SMA

Melalui drama musikal para siswa sebuah SMA merepresentasikan kehidupan tiga tahun SMA.
Dari adegan pertama mereka mengatakan bahwa dunia SMA diawali dengan berganti seragam putih biru ke putih abu, plus tukar2 nomor hape. Dilanjutkan dengan proklamasi cinta pada sang dara. Namun ditolak, tanpa alasan yang jelas.

Pada saat SMA ada kegiatan ulang tahun sekolah dan mereka menunjukkan kebolehannya bermain tarik suara dan musik. Perlu apresiasi luar biasa, banyak siswa yang memiliki kemampuan memainkan musik mendekati piawai. Ada pula yang menyajikan tari daerah, dan kontemporer. Khusus untuk kontemporer, sesuai ketemporerannya, bajunya pun temporer , yakni mendekati seperti tidak berbaju (karena lekat dengan kulit).

Adegan berikutnya adalah menggambarkan tingkah laku guru yang dalam pandangan mereka "ekstrem". Guru killer atau galak menjadi sorotan yang sepertinya tidak boleh terlewatkan dan menjadi hiburan tersendiri bagi mereka. Setiap gerak gerik guru yang ditirukan disambut meriah tepuk tangan. Ada kepuasan tersendiri sepertinya ketika peniru adegan dapat merepresentasikan tindakan guru yang menurut mereka tidak disukai.

Berlawanan dengan guru killer diperagakan pula guru yang senang menceramahi (lupa mengajar). Mereka menggambarkannya dengan pakaian jas namun bawahannya bersarung. Sama halnya dengan guru killer, setiap gerak geriknya disambut gelak tawa.

Acara berakhir dengan ditutup dengan bernyanyi bersama dan meminta para guru bergabung selanjutnya diberi bunga Ros dari kertas Crepe.

Rangkaian dramatisasi memerlukan waktu 3 jam. Tiga tahun masa SMA diwakili 3 jam.

Analisis yang dapat saya sajikan adalah bahwa:
1. Siswa SMA (sampai mereka tamat SMA) menganggap perubahan jenjang pendidikan adalah "baju", dari putih-biru menjadi putih-abu.
Anggapan ini menyiratkan bahwa perubahan yang terjadi adalah kulit, bagian luar, atau secara fisik. Tidak mengherankan jika perubahan secara pengetahuan, keterampilan, dan sikap belum nampak. Sebagai contoh pada keterampilan, pada saat ujian praktek menulis teks Deskripsi Bahasa Inggris, hanya mampu menulis lima kalimat, dengan kesalahan tata bahasa yang tinggi serta pilihan kosa kata yang kurang tepat. Unjuk kerja seperti disebutkan baru saja tidak menunjukkan adanya pengaruh waktu dan nara sumber. Walaupun tidak dapat digeneralisir , kejadian ini menggambarkan bahwa perubahan yang dialami peserta didik hanya pada tataran ganti seragam.
2. Masa SMA adalah masa mencoba pacaran. Mereka memulainya dengan bertukar nomor hape. Dilanjutkan dua kemungkinan: ditolak vs diterima. Ketika tidak diterima, tergambar bahwa kekecewaan muncul dari temannya. Seolah menunjukkan bahwa memiliki teman dekat bertujuan agar bisa fit (masuk) ke kelompok pertemanan atau sekedar terlepas dari gelar jomblo.
3. Guru dalam pandangan siswa terdapat tiga jenis: guru tidak terlupakan (galak sekali, baik sekali, inspiratif), guru dilupakan (tidak disukai), dan guru tidak dikenal (alasan tidak diajari, susah untuk ingat). Guru yang didramakan adalah jenis kesatu dan kedua. Guru jenis ketiga jumlahnya kemungkinan paling banyak, namun menjadi tidak dikenal karena dianggap guru medioker.

Pandangan siswa terhadap guru yang mereka sebut sebagai orangtua di sekolah, tidak terwakilkan dalam adegan drama. Dengan sendirinya , para siswa belum bisa menerima guru sebagai orangtua di sekolah. Mereka patuh dan taat kepada guru bukan karena keyakinan bahwa mereka adalah wakil Tuhan di muka bumi seperti halnya orang tua biologis mereka, namun karena mereka pemegang skor atau nilai yang menentukan masa depan akademik mereka nanti.

Adegan drama masa pemerolehan pengalaman belajar di SMA selama 3 tahun memberikan sedikit pencerahan mengenai dunia SMA dari sudut pandang siswa. Setiap adegan mengingatkan kepada guru untuk kembali berbagi bersama siswa agar kehadirannya bisa

Saturday, March 4, 2017

Literasi dalam Pembelajaran (edisi 1)

Hal menarik dari kegiatan mendampingi guru adalah para nara sumber yang memberikan wawasan tambahan kepada para guru. Nara sumber adalah para pemikir yang sangat peduli pendidikan Indonesia. Ambil contoh, Ibu Pangesti Wiedarti. Beliau penggagas literasi yang mengharapkan peserta didik di Indonesia tanpa kecuali menjadi warga negara dan warga dunia yang literat. Beliau menawarkan cara literasi melalui pembiasaan terlebih dahulu. Secara teratur, peserta didik dan pendidik menghabiskan waktu 15 menit setiap hari untuk membangun kebiasaan membaca. 

Selanjutnya setelah terbangun kebiasaan, masuk tahap literasi dalam pembelajaran.
Literasi dalam pembelajaran tentu memiliki strategi. Terdapat dua strategi pokok yakni: 1) strategi pemahaman wacana/teks dan 2) kompetensi representasi multimoda. Mencapai kedua hal tersebut tentulah memerlukan kerja keras semua warga sekolah, terutama dari pendidik. Pada saat mengajar, pendidik menguraikan literasi kedalam tiga bagian penting yakni: 1) sebelum membaca, 2) ketika membaca dan 3) setelah membaca (Wiedarti, 2017).  

Pada pengajaran berbahasa strategi pemahaman teks dibagi kedalam sebelum, selama, dan setelah membaca. Misalnya, pada tahap sebelum membaca, peserta didik diajak untuk menebak apa topik bacaan yang akan dibahas. Atau misalnya dengan meminta peserta didik menyebutkan tujuan membaca sebuah teks.

Selanjutnya, pada tahapan saat membaca, penting bagi peserta didik untuk dapat menunjukkan pemahaman terhadap bacaan/teks dengan cara menjelaskan informasi rinci/tersurat/tersirat dari teks yang sedang dibacanya. Cara lain adalah dengan memvisualisasikan isi bacaan. Penggunaan mind map dan concept map sebagai representasi pemahaman isi  bacaan dapat digunakan sebagai alternative visualisasi pemahaman. Menggali apakah peserta didik memahami membaca dapat pula diuji dengan meminta mereka menunjukkan inferensi bacaan atau menunjukkan keterkaitan isi bacaan (lihat teori Theme-Rheme yang diajukan Halliday).

Pada tahap setelah membaca, pendidik dapat mengetahui sejauh mana peserta didik memahami bacaan dengan memberi kesempatan kepada peserta didik untuk membuat ringkasan, mengevaluasi teks dan mengkonfirmasi, merevisi, atau menolak prediksi.

Pertanyaannya, apakah mungkin guru melakukan semua hal di atas?
Jika ditanya mungkin, jawabannya sangat mungkin. Pengajar bahasa asing (juga bahasa Ibu, dan Bahasa Nasional) sesungguhnya telah melakukan hal yang disebutkan di atas. Mengapa seolah terasa membingungkan? Masalahnya, istilah. Pemberian nama pada sebuah aktivitas, bagi sebagian guru bisa saja menimbulkan kebingungan. Kita lihat secara lebih dekat mengapa para guru pengajar bahasa telah menerapkan strategi literasi dalam pembelajaran.

Ketika seorang guru bahasa Inggris misalnya akan memberikan pengalaman belajar menyusun teks biografi orang terkenal. Dia memulainya dengan memberi foto-foto orang terkenal secara nasional dan internasional pada berbagai bidang. Dia menanyakan siapa mereka, apa keberhasilan mereka, pada bidang apa mereka berkiprah. Peserta didik menjawab bahwa mereka mengenal sebagian dari tokoh-tokoh nasional dan internasional yang ditanyakan. Setelah itu guru menanyakan kira-kira apa pelajaran hari ini yang akan dibahas, peserta  didik tanpa ragu menjawab orang terkenal, orang hebat, atau jawaban sejenis.

Ketika peserta didik menjawab orang keren, penyanyi idolaku, atau inspirasiku, mereka telah melakukan prediksi. Mereka memperkirakan bahwa yang akan mereka pelajari berdasarkan stimulus berupa foto yang mereka lihat.

Bagimana pada saat membaca?

Apakah ketiga cara ini bisa diterima? Ahli literasi lain, menyatakan tidak setuju. Bahasan ketidaksetujuannya ditulis pada entri blog selanjutnya.


(to be continued) silahkan beri komentar dan pertanyaan (jika perlu) agar tulisan ini berfungsi

Friday, March 3, 2017

Literasi berbasis pembiasaan vs berbasis produk

Anak jaman sekarang tumbuh pada lingkungan multi teks. Mereka mendapatkan informasi dari berbagai sumber yang berbeda. Pada saat pra sekolah mengetahui serunya SpongeBob dari televisi. Mereka mendapatkan gambaran terkait pertemanan multi etnis. Pada saat SD mengenal

Fairfield Marriott bagiku

Marriot, nama yang rasanya pernah terdengar. Entah dimana, kapan, dan acara apa. Tapi pikiranku mengarahkan ke bom. Peristiwa pengeboman. Apa iya pernah ada kaitan antara pengeboman dengan Marriott.

Aku kali ini bersentuhan dengan nama Marriott. JW Marriott? Semula, Marriott  saja yang menjadi patokan. Oleh karenanya ketika turun pesawat ditawari Blue Bird diantar, aku sebut kata Marriott serta merta oh sekian ribu kata mereka kalau mau diantar ke nama Marriott, hotel.

Perjalanan menuju Marriott dalam pengalaman pertama menginjak Surabaya disuguhi pemandangan jalan macet karena akan menyambut kehadiran Wapres yang akan meresmikan salah satu Universitas berNU. Jalan dibuat "steril", dan jalan orang kebanyakan dibuat sesak. Di sisi kiri kanan jalan dihiasi warung,-warung, kios-kios , dan toko-toko, suasana yang sama ketika masuk ke kota besar untuk pertama kali seperti Medan.

Menelusuri sebuah kota untuk pertama kali, selalu memberikan kesan yang sama yakni tipikal kota sedang berkembang dimana gedung2 baru ramping pencakar langit tumbuh menjamur sedangkan di sekitarnya bangunan tua hampir reyot bertahan untuk berdiri. Kesenjangan yang kaya makin kaya yang miskin makin miskin nyata terlihat nyata dari komposisi gedung ini.

Sambil menikmati Surabaya dengan bonus udara siangnya yang panas, sopir berbelok ke kiri. Terlihat gerbang nan megah, tertulis JW Marriott. Aku tertegun, untuk pelatihan guru, gerbangnya setinggi ini, gedungnya semegah ini. Ini pasti salah. Dan memang salah. Ketika kulihat di undangan, bukan JW Marriott tapi Fairfield Marriott.

Pelatihan pedagogik profesional guru biasanya pada hotel, namun tidak di hotel seperti JW Marriott.  Biasanya di tempat pelatihan2 yang disediakan oleh LPMP, dengan kamar sederhana, makan sederhana, dan bangunan sederhana. Bagi guru, tempat sangat sederhana sekalipun (tidak ada air untuk mandi, tidak ada nasi karena kehabisan) tidak pernah dipermasalahkan. Kemuliaan guru membuatnya menerima tanpa banyak keluhan, dianggap sebagai bagian dari penerapan pendidikan karakter.

Kembali ke Marriott, setelah yakin bahwa itu bukan Marriott yang dicari, supir Blue Bird putar balik stir dan menuju Marriott untuk guru. Marriott yang masih sekitar enam kilo meter lagi jauhnya. Hotel baru dibangun dengan kamar model minimalis, dan makan minimalis (banyak guru tidak kebagian makan karena keburu habis, padahal makannya ala porsi guru yang ingin terlihat langsing dengan mengurangi karbo).

Tiga malam di Fairfield Marriott, memberikan kesan mendalam. Kegiatan guru yang menuntut kinerja overtime (mulai pukul 7.30 selesai pukul 12 malam) memungkinkan untuk berkata "aku tidak ingat bagaimana rasanya tidur di Marriott, tidak pula ingat apakah sempat tidur.

Bagiku sendiri, Marriott mengenalkan pada guru dari wilayah timur Indonesia: Kupang, Bali, Malang. Pertemuan yang mengesankan karena bertemu guru2 pekerja keras yang siap memajukan anak bangsa.

Marriott menjadi tambahan spot tempat yang pernah aku kunjungi. Seperti halnya tempat lain yang pernah aku kunjungi, Marriott meninggalkan kesan tersendiri.