Pages

Thursday, January 18, 2018

Keterpecayaan nilai

Seorang siswa menghadap (dan dengan sedikit drama) meminta agar nilai rapornya diperbesar. Alasan yang diajukannya karena dia akan masuk perguruan tinggi tertentu, yang menurut informasi yang diperolehnya, nilai mata pelajaran tertentu harus minimal 80, dan dia berharap nilanya bisa diubah menjadi 90. Angka yang akhir tersebut dalam pandangannya "aman dan memuluskan" masuk ke perguruan tinggi impiannya.

Sebagai guru, saya mencantumkan angka sebagai gambaran kemampuan siswa dan kemudian diserahkan kepada orang tua sebagai laporan hasil belajar. Sejauh ini,  para siswa mengaku bahwa angka-angka tersebut sesuai dengan usaha dan unjuk kinerjanya. Namun menjadi masalah baru ketika angka-angka tersebut dengan terpaksa harus diganti atas nama menggapai impian.

Sebagian siswa memandang bahwa angka yang fantastis dapat membuka pintu pada perguruan tinggi idaman. Oleh karenanya, berlomba-lomba meminta perubahan angka sebagai penanda kemampuan penguasaan suatu mata pelajaran. Kondisi ini sangat memprihatinkan. Yang menjadi tujuan adalah angka, bukan seberapa kompeten.

Keterpercayaan terhadap angka, yang menjadi nilai siswa  bisa saja hilang jika pemerolehannya melalui negosiasi yang tidak sehat. Angka-angka hasil kompromi tentu saja tidak mewakili kemampuan empunya. Selain itu, angka hasil katrolan melanggar esensi penilaian. Konfirmasi angka dari hasil penilaian lain dapat dengan mudah menunjulkan keterpercayaannya. Sebagai contoh nilai rapor dicek ulang dengan hasil Ujian Sekolah, jika terjadi perbedaan yang amat mencolok, misalnya pada raport tertulis angka 90, pada hasil Ujian Sekolah tertera 70. Lebih buruk lagi, pada hasil ujian nasional terpampang 50.

Nilai rapor hilang keterpercayaannya. Dalam pandangan saya, angka penanda kemampuan yang sesuai kemampuan lebih elegan dan benar-benar bernilai ketimbang angka melambung tapi tidak dapat dipertanggungjawabkan.

Wednesday, January 10, 2018

Jurang kualitas sekolah elit dan sekolah alit makin menganga

Standar nasional pendidikan, salah satunya standar kompetenti lulusan  yang dicapai melalui penguasaan kompetensi dasar (KD) mata pelajaran, merupakan acuan gambaran seperti apa kualitas lulusan siswa dari satu jenjang pendidikan tertentu.  KD untuk jenjang SD menggambarkan kualifikasi yang harus  dikuasai siswa lulusan SD, misalnya secara pengetahuan: siswa memahami huruf abjad dan secara keterampilan: siswa terampil menggunakan huruf abjad untuk mengekspresikan ide dalam ragam tulis. 

Penguasaan kompetensi memahami dan menggunakan huruf abjad sejatinya dikuasai oleh siswa sekolah dasar, sehingga ketika siswa tersebut melanjutkan pendidikan pada jenjang yang lebih tinggi diasumsikan secara otomatis dapat mengikuti pembelajaran tanpa mengalami kesulitan terkait keterampilan membaca, menulis, berbicara, dan menyimak dan menyampaikan gagasan dalam bahasa tulis ataupun lisan.

Fenomena yang menarik ketika pada level SMA, kelas 12, terdapat siswa yang belum menguasai keterampilan merangkai huruf menjadi kata sehingga dapat memvisualisasikan gagasan dalam kata, apalagi dalam kalimat. Bagaimana siswa tersebut dapat melewati kelas 7, ,8, 9, 10, 11, sehingga kini berada di kelas 12?

Siswa ini termasuk siswa yang mengalami kesulitan belajar. Hal ini dibuktikan dengan ketidakmampuan menulis untuk menyampaikan ide.  Tulisan siswa ini sama sekali tidak dapat dipahami. Hasil tulisannya hanya merupakan rangkaian huruf yang tidak bermakna seperti misalnya 'gidder, peomg,' dan serangkaian huruf-huruf lainnya yang tidak merepresentasikan apapun.

Siswa tersebut berasal dari sekolah dengan layanan standar nasional pendidikan di bawah minimal. Sebagai contoh, siswa dilayani oleh guru kelas atau guru-guru SD yang bersedia meluangkan waktu di sore hari sepulang ngajar di SD. Siswa SMA seharusnya dilayani oleh guru mata pelajaran. Ketidaktersediaan unsur tenaga pendidik yang mengampu mata pelajaran, berakibat langsung terhadap bagaimana siswa mendapatkan pembelajaran dan bagaimana mereka diukur keberhasilan belajarnya.

Sekolah kecil, baru berdiri, nun jauh di pedesaan, tentu saja tidak semudah sekolah  elit dalam menyelenggarakan pendidikan. Sekolah elit dengan mudah melampaui standar, salah satunya dengan tersedianya tenaga pendidik yang bersertifikat sesuai mata pelajaran yang diampunya.  Bagaimana dengan nasib sekolah-sekolah alit (kecil) yang berdarah-darah mengejar standar nasional? Mereka kepayahan mencari guru. Mendatangkan guru, bukan tidak mungkin dilakukan, namun sekolah alit, tertatih-tatih, dananya pun alit.
Perlu dipikirkan lebih lanjut bagaimana agar sekolah alit berhenti  mengeluarkan lulusan tidak kompeten.

Tuesday, January 9, 2018

Idolaku: lbuku, ayahku, dan kerabat dekatku

Ditengah munculnya kekhawatiran yang diungkap para orang tua bahwa anak-anak sekarang lebih mengidolakan tokoh-tokoh imajinatif yang biasanya ditemui di film, game, dan buku bacaan. Ketika melongok ke bagian terdalam hati anak-anak, ternyata anggota keluarga diposisikan sebagai individu-individu terpenting dalam kehidupannya.  Ayah, lbu  adik, kakak menjadi sumber inspirasi dan motivasi yang membuatnya terus berjuang mengejar mimpi atas nama kelak dapat mempersembahkan  kebahagiaan untuk persona-persona tadi.

Pada sebuah kegiatan dimana siswa SMA kelas 10 diminta mencari tokoh inspirstif kemudian dibuat biografi kehidupannya, ditemukan hampir seluruhnya mengangkat anggota keluarga sebagai tokoh penggerak jiwanya untuk lebih menghargai hidup, menghormati hidup, dan menyayangi hidup.

Tokoh idola terpopuler adalah lbu. Mereka menganggap ibu sebagai malaikat, penolong,  dewi penyayang, sumber kasih, pahlawan dan sederet label positif lainnya.
Anak SMA bisa melihat kejerih dan payahan lbu mereka mulai dari urusan merawat mereka yang dipandangnya sebagai anak tak berbakti. Juga kelapangan hati sang lbu yang tanpa kesah mengabdikan dirinya untuk bahagia ayah, kakak,  adik, bahkan kerabat lain yang menumpang harus ikut pula ditanggungjawabinya.
Juga, anak SMA mampu melihat bagaimana lbu mereka menjadi partner ayah dalam hal menghidupi anak atau bahkan menghidupi suaminya, berperan sebagai tulang bagi pungung-punggung dalam keluarga bisa tegak dan tumbuh. 
Dalam pandangan anak SMA,  lbu juga menjadi idola karena para lbu masih menunjukkan kepatuhan sebagai anak, misalnya ada siswa yang menuliskan bahwa sebagai anak pertama, lbunya masih berpayah-payah membantu kakeknya di sawah.
Seorang anak menganggap lbunya sebagai nyawa dan hidupnya, idola yang disembahi secara rohani dan kesadaran tertinggi dari seorang anak. Ibunya bekerja di Arab, begitu tulisnya, lbunya mengirimi uang hasil kerjanya, seluruhnya, tanpa lbunya cicipi satu riyalpun. Seluruh hidup lbunya dipertaruhkan di belantara dunia Arab yang terkenal menggunakan hukum Qisos, tanpa ampun, ketahuan mencuri, tangan dipotong, ketahuan zinah, badan dicambuk-dirajam. Ibunya, mendapatkan rasa siksa Qisos tanpa diketahui apa dosanya, ayahnya menggunakan uang bertabur air mata lbunya untuk mengambil istri lagi. Ketika lbunya pulang, lbunya hanya menemukan rajam dan cambuk yang mengeluarkan darah dari setiap por-pori kesabarannya. Sejak itu, lbunya juga menjadi ayahnya untuknya, menjadi penghidup bagi anak-anaknya yang semuanya ditinggalkan ayahnya untuk istri barunya.

Idola kedua setelah lbu, adalah ayah. Ayah diidolakan karena dipandang sebagai sosok yang mengajarkan kerja keras dan disiplin. Seorang anak membeberkan bagaimana ayahnya yang sejak SD memulai berdagang, dan sampai saat ini menjadi pedagang dan mampu menyekolahkan anaknya ke SMA impian.
Anak lain melihat ayahnya sebagai teman, teman dalam arti seseorang yang membuatnya mengenal ambisi. Dia sendiri, sebagai anak, berambisi menjadi seseorang kelak. Ambisi yang terdengar berlebihan untuk anak seorang guru SD, begitu anggapannya. Baginya, persaingan dengan anak  dari golongan berduit menjadi ancaman bagi kejernihan dan keenceran otaknya. Dia menjelaskan, bolehkan ada Bidikmisi, beasiswa bagi si duafa, tapi anak guru honorer  SD dengan gaji 400ribu sebulan,  akan kalah merebut kursi di perguruan tinggi akibat telah dibeli anak berduit, atau dia harus mundur karena sadar diri tak ada duit untuk membayar biaya kuliah dan ongkos hidup sebagai anak kos. Baginya,  ambisi menerangi dan menuntun hidupnya. Si miskin boleh punya ambisi yang sejajar dengan si beruang.

Saudara perempuan dan laki-laki yang sedarah dan yang menjadi saudara akibat terikat perkawinan,  menempati posisi idola ketiga,  sejajar dengan posisi guru di sekolah. Saudara menjadi idola anak SMA  karena mereka dianggap memiliki kesabaran ekstra untuk menerima dirinya yang SMA lengkap dengan sikap menyebalkan,  sok tahu, sok bisa ambil keputusan, dan pandai menyalahkan apapun asal bukan dirinya. Sedangkan guru diidolakan karena sabar mengajari dan tidak bosan memberi tantangan sehingga terjadi perubahan secara perolehan prestasi.

Kekhawatiran anak bangsa salah pilih dan tunjuk idola tergeser manakala dari tulisan anak SMA, yang digali guru dalam proses pembelajaran, menunjukkan bahwa orang-orang terdekatlah sesungguhnya yang menjadi panutan mereka. Sementara panutan lain yang hadir dari musik, film, dan tokoh imajinatif,  merupakan idol sesaat, sebatas suka sesaat dengan berbagai karena. Karena suaranya bagus, karena orangnya keren, karena gayanya bikin heboh dan karena-karena lain yang tidak menyentuh ruhnya untuk menjadi seseorang yang lebih baik.
Dari pemilihan siapa yang menginspirasi hidup anak SMA,  seolah menyiratkan bahwa tatanan keluarga harus tetap menjadi lembaga terideal untuk anak-anak mencari tauladan sehingga keluarga  menjadi rumah dan tempat ditemukannya orang-orang inspiratif yang menjadikan anak-anak sebagai makhluk lucu- paripurna.

Sunday, January 7, 2018

Komunikasi guru semata-pelajaran

Forum guru mata pelajaran pada tingkat sekolah, kabupaten dan provinsi memegang peranan penting untuk peningkatan layanan kepada siswa dan peningkatan karir guru. Selain itu forum memberikan ruang kepada guru mata pelajaran untuk mendapatkan wadah secara profesional sehingga dapat saling mengomunikasikan segala hal terkait mata pelajaran dan hal-hal penting lainnya yang menyangkut aspek pribadi dan sosial.

Sebagai contoh, Forum MGMP Bahasa Inggris SMA Provinsi Jawa Barat mengadakan pertemuan dengan peserta guru semata pelajaran yang berasal dari 27 Kabupaten dan kota yang ada di Jawa Barat.  Pertemuan bertema Rapat Koordinasi untuk menghasilkan Program Kerja Forum tahun 2018-2021. Melalui pertemuan tersebut terkomunikasikan harapan dan kecemasan para ketua MGMP.

Sebagian besar para ketua MGMP cemas atas keberlanjutan karir yang harus ditebus dengan menunjukkan karya buah analisis terhadap pembelajaran dalam berbagai bentuk tulisan ilmiah seperti laporan penelitian tindakan kelas, tinjauan ilmiah terhadap kebijakan dan pembelajaran,  tulisan populer tentang perencanaan dan pelaksanaan pembelajaran, laporan praktik baik pembelaran, buku berisi ide model pembelajaran dan sederet karya tulis lainnya.

Kecemasan para tetua,  bukan pada banyaknya jenis pilihan karya ilmiah yang bisa dipilih untuk dijadikan bahan pemghitungan poin salah satu syarat kenaikan pangkat.  Kecemasan timbul karena ada keraguan apakah para anggota MGMP memiliki kemampuan untuk mewujudkan pengalaman mengajarnya kedalam bentuk tulisan. Menulis, telah diakui bersama secara diam-diam ataupun terang-terangan, merupakan keterampilan yang mudah dikuasai secara teori, namun tidak menjadi sederhana ketika diwujudkan melalui praktik. Sebagian pata anggota MGMP mengaku bahwa mereka fasih mengajarkan cara menulis kepada siswanya, tetapi menjadi gagap ketika menerapkan kefasihan membimbing di kelas ketika diterapkan untuk dirinya.  Alasan penyebab kegagapan yang paling klise  adalah tidak punya waktu untuk menulis. Alasan yang lebih elegan adalah tidak ada pendamping penelitian. Alasan yang paling jujur adalah tidak bisa menulis bahkan tidak tahu harus mulai dari mana.

Adapun harapan yang dengan segenap hati diajukan pada aktualisasi program kerja 2018-2021 adalah hilangnya seluruh cemas yang disebutkan di atas. Dengan kata lain, para guru mendapatkan kesempatan untuk memiliki  keterampilan menulis sehingga tidak ada hambatan dalam urusan karir.
Harapan lainnya adalah memiliki kompetensi mumpuni secara profesional pedagogis yang kelak membuat layanan terhadap siswa menjadi optimal yang ditandai dengan pembelajaran efektif terjadi di setiap kelas.

Suara-suara guru selama ini nyaris tidak terdengar akibat tertutup suara di luar guru yang mencecar kinerja guru yang dianggap tidak tahu terimaksih yakni sudah diberi uang sertifikasi namun masih berkinerja rendah. Keberadaan forum guru yang semata-pelajaran memberikan lahan untuk guru bersuara, dan mengutarakan apa yang dipikirkannya, dipertimbangkannya, direncanakannya sehingga mereka berkesempatan dapat memperbaiki kualitas layanan pendidikan dengan cara yang mampu dilakukannya.

Komunikasi guru semata-pelajaran menjadi sangat penting untuk terjadi secara rutin. Dengan cara ini diharapkan suara guru baik berupa kecemasan ataupun harapan, keduanya mendapatkan jawaban. Dukungan pihak sekolah berupa pemberian ijin merupakan titik penanda penting, karena dengan ijin dari atasa langsunglah yang kemudian membuat para guru ini dapat mengomunikasikan suaranya. Selanjutnya,  dalam forum, para guru dapat saling bertukar pengalaman mengajar, dapat saling menyimak keberhasilan pembelajaran yang akan mempercepat terjadinya imitasi pembelajaran efektif yang meningkatkan kualitas layanan sekaligus meningkatkan kualitas kompetensi guru.