Pages

Monday, August 7, 2017

Hari Ke-16

Memulai minggu akademis dengan apel pagi. Dulu, saya mendengar kata apel merupakan pembuka kegiatan untuk kantor-kantor. Saya baru mengetahui, bahwa apel juga ada di sekolah. Mungkin apel di sekolah sama dengan apel pada kegiatan pramukaan.

Apel Senin ini membahas kedisiplinan. Pembina apel menghimbau agar datang tepat waktu, menjaga kebersihan kelas, dan senantiasa menunjukkan yang terbaik sebagai siswa SMAN 2 yang terpilih. Semua yang hadir, diam. Mungkin mereka mencerna himbauan dengan interpretasinya sendiri-sendiri.
Saya tidak melakukan pendampingan literasi pada hari Senin, selain tidak ada jadwalnya, kalaupun memaksakan diri, tidak ada cukup waktu untuk itu. Segera setelah apel selesai, para siswa menerima penjelasan tambahan dari Kesiswaan, mereka semua duduk di lapangan. Sementara para guru diminta langsung menyimak brifing.

Brifing membahas sikap guru terhadap siswa. Disinyalir ada ketidaksinkronan antara pemberian pembelajaran bagi siswa yang kesiangan yang dilakukan di piket dengan di kelas. Sebagai contoh, siswa yang terlambat hadir, langsung ditangani oleh piket (yang mengakibatkan siswa tersebut semakin lambat masuk ke kelas). Siswa tersebut masuk ke kelas dengan membawa surat keterangan terlambat masuk dan disebutkan alasannya. Sejatinya dengan adanya surat keterangan ini, siswa dapat langsung mengikuti pelajaran. Pada kenyataannya terdapat guru yang memberikan perlakuan tambahan ketika siswa tersebut sampai ke kelas. Hal ini merugikan siswa. Siswa yang seharusnya bisa mengikuti pelajaran, malah melaksanakan tindakan lain yang diminta oleh guru kelas sehingga dia tidak dapa mengikuti pelajaran.

Perlakuan guru kepada siswa yang terlambat masuk ke kelas, atau melanggar tata tertib, tidak sama. Variasi perlakuan ini, merugikan siswa bahkan bukan tidak mungkin memunculkan teror secara psikologis dan mental bagi siswa. Perlakuan yang dianggap remeh temeh dan tak berarti adalah verbal atau penggunaan kata-kata yang tidak membuat siswa menjadi orang lebih baik. Perlakuan lainnya berupa hal yang dilakukan secara fisik yang menurut siswa sama sekali tidak ada kaitannya dengan pelajaran yang diampu guru.

Tidak dipungkiri bully (perundungan) masih hadir di dalam kelas, di WC, di kantor guru, di sekitar lorong, dan di sekolah itu sendiri. pelaku perundungan bisa siswa itu sendiri, bisa guru, bisa pihak lain yang ada di dalam sekolah.

Perundungan yang dilakukan oleh sesama siswa bisa saja oleh siswa itu sendiri tidak dianggap sebagai perundungan. Bisa karena ketidaktahuan, bisa karena memang sengaja pura-pura tidak tahu. Sebagai contoh, seorang siswa mendiamkan, tidak menegur, menunjukkan wajah tidak suka karena ada hal yang tidak sesuai dengan yang diinginkannya. Ketiga sikap tadi termasuk perundungan. Selama perbuatan seseorang membuat orang lain merasa terganggu, terusik, kecewa, takut, sedih, marah atau emosi lainnya, itu masuk ke dalam perundungan. Selama ini perundungan selalu ditujukan pada hal-hal yang besar, seperti tindakan pelecehan, pemukulan, pemalakan. Sesungguhnya banyak perundungan yang terjadi disekitar siswa namun mereka menagabaikannya. Sesungguhnya tindakan mengabaikan perundungan baik kepada pelaku ataupun kepada yang dirundungi adalah awal yang salah. Pelaku seharusnya mendapat sanksi, dan pihak yang menjadi korban, seharusnya mendapat pelayanan pemulihan secara mental. Jika korban dibiarkan bukan tidak mungkin, dia merasa sekolah sebagai neraka.

Guru, berpotensi besar untuk menjadi pelaku perundungan. Pertama, guru memiliki kekuatan (power) yang tidak bisa dilawan siswa. Kedua, guru berada pada pihak yang pasti menang. Ketiga, guru memandang bahwa siswa harus dididik. Keempat, guru memandang bahwa tindakan apapun yang dilakukannya dianggap wajar sebagai wujud perannya sebagai orang tua di sekolah. Keempat hal tadi, hanya sebagian kecil dari alasan guru menjadi pelaku perundungan kepada siswanya.

Guru bisa saja tidak mengetahui bahwa dirinya sedang melalukan perundungan. Atau, bisa saja dia mengetahuinya, namun dia beralasan bahwa dia sedang melakukan ‘pendidikan’, ‘shock therapi’, atau alasan lainnya yang bersumber dari dirinya bukan dari amanat dan tanggung jawabnya sebagai pendidik. Misalnya, guru berniat melucu, tapi malah tidak lucu bagi siswa. Guru tersebut berkata ,’ eh kamu keriting, tulisan kamu jelek sekali mirip cakar ayam, balik lagi sana ke SD, belajar nulis!”

Kalimat di atas akan disambut gelak tawa sekelas. Tanpa disadari guru tersebut juga teman sekelas yang tertawa tadi, orang yang dirundung merasa terluka jiwanya. Dia merasa harga dirinya dijatuhkan. Tulisan yang kurang bagus, sebaiknya tidak menjadi alasan bagi guru untuk merundung siswa. Beri siswa tersebut latihan menulis, berulang-ulang, lihat hasilnya setelah seminggu. Terlalu cepat menyalahkan siswa, tidak membantu siswa untuk belajar menghormati gurunya (bahkan dirinya sendiri).

Guru disarankan sangat berhati-hati ketika berbicara kepada siswa. Semua ucapan guru direkam dengan baik oleh siswanya. Semuanya. Mereka menjadi perekam dahsyat yang menjual nama guru kepada masyarakat luar. Kemuliaan guru dipertaruhkan ketika siswa memutar rekaman pengalaman bersama gurunya kepada pihak ketiga. Misalnya, seorang siswa mengobrol kepada temannya di dalam angkot atas perlakuan gurunya pada hari itu. Si siswa tadi membahas kesulitan dirinya memahami pelajaran yang diberikan gurunya. Dia berucap bahwa gurunya ibarat lukisan abtrak, sulit untuk dipahami. Pembicaraan ini terdengar oleh supir angkot. Supir angkot berbicara kepada supir angkot lainnya, dia berkata bahwa guru SMA anu bukan guru yang pantas jadi guru, abstrak, dia membuat siswanya bingung, materi yang diajarkannya tidak dipahami muridnya sendiri. Supir angkot yang mendengar pembicaraan tadi berbicara lagi kepada keluarganya, dia berkata, jangan memasukkan anak-anak kita ke SMA anu, gurunya aneh-aneh, ibarat abstrak, anak-anak kita akan jadi korban guru yang tidak jelas.

Penjelasan di atas menggambarkan bahwa apa yang telah diucapkan tidak bisa kita kendalikan. Kalau menurut Pramoedya Ananta Toer seorang sastrawan hal ini dikatakan sebagai ‘apapun yang kita tulis, ketika telah dipublikasikan, itu bukan milik kita lagi.’ Artinya, ketika si penulis membuat tulisan tujuannya untuk mengabarkan berita sedih karena orangtuanya meninggal misalnya, dan tulisannya di muat di Facebook. Bagi pembaca bisa saja dipandang sebagai tindakan kurang terpuji. Meninggal dan upacara penguburan merupakan hal yang sakral, penghormatan terakhir kepada jasad si mayat. Sangat kejam ketika momen sakral tersebut dimuat di FB. Foto dan tulisan tersebut dianggap setara dengan foto dan tulisan lainnya yang kondisinya sama sekali berbeda. Misalnya foto dan tulisan ‘seperti apa kamu 20 tahun ke depan.’

Brifing secara rutin untuk menyamakan persepsi bagaimana meningkatkan prilaku baik diantara siswa dan guru ketika berada di sekolah sangat disarankan. Brifing menyoal sikap jarang dilakukan kecuali ketika ada kasus. Ada anggapan para guru semuanya telah bertindak profesional, tertib secara etika, loyal pada norma. Padahal sesungguhnya ketika guru berada di dalam kelas, dan pintu kelas tersebut di tutup, tidak seorangpun yang tahu apa yang dilakukan oleh guru tersebut. Kita hanya akan mendengar kabar berbeda-beda dari siswa dan guru itu sendiri mengenai apa yang sesungguhnya terjadi, dan tentu saja itu sudah bukan lagi gambaran kejadian asli, tapi ingatan mengenai apa yang telah terjadi. Jika diminta dijelaskan ulang, setiap orang akan menyampaikan dari sudut pandangnya masing-masing. Semoga kedepan tidak ada lagi perundungan yang terjadi di sekolah atau di tempat manapun di dunia ini.

1 comment:

  1. bagus infonya,, terimakasih banyak gan
    dan jangan lupa kunjungi link kami di http://blackwaletcare.com/

    ReplyDelete