Pages

Friday, October 20, 2017

Butuh revolusi membaca

Baru-baru ini hasil riset Bank Dunia untuk pendidikan dirilis. Hasilnya sangat menyedihkan saya, yang perkerjaannya sebagai guru. Bank Dunia melaporkan bahwa 'Indonesia dianggap butuh waktu 45 tahun untuk mengejar ketertinggalan di bidang pendidikan dalam hal membaca.'
Yang perlu kita garisbawahi dari laporan Bank Dunia tersebut adalah ketertinggalan dalam hal membaca.

Bagi beberapa orang yang statusnya guru ingin sekali menyangkal hal ini. Mereka akan membela diri dengan mengatakan bahwa para siswa sudah dibimbing, dibina, dan diajarkan membaca. Buktinya? Tidak ada anak-anak Indonesia yang buta huruf, semua bisa membaca.

Bagi sebagian guru yang mengajar di SMA akan mengatakan, urusan membaca mah urusan guru SD. Merekalah yang bertanggung jawab mengajarkan membaca dan memastikan setiap anak bisa membaca. Guru SMA mendapatkan siswa yang sudah begitu rupa dan kemampuannya ketika mereka masuk SMA. Sudah bukan tanggung jawab  guru SMA untuk ngutak ngatik urusan membaca.

Laporan Bank Dunia menyoal ketertinggalan membaca bukan untuk membuat kita saling menyalahkan, saling tuduh siapa yang harus bertanggung jawab, atau mencari kambing hitam diantara kambing putih. Kita, sebagai bagian dari bangsa ini harus ikut memikirkan bagaimana agar waktu yang dibutuhkan menjadi lebih pendek sehingga ketertinggalannya tidak terlalu jauh dan merugikan bangsa ini.

Kita harus dengan rendah hati mengakui bahwa sebagian dari kita dan anak-anak didik kita belum bisa membaca dalam arti tidak memiliki kemampuan untuk menggunakan bahasa  dan menggunakannya untuk mengerti teks (misalnya bacaan) , mendengarkan perkataan, memahami percakapan, mengungkapkannya  dalam bentuk tulisan dan lisan atau berbicara.

Keadaan kita sekarang berada pada posisi melek huruf. Kita dan anak-anak dapat membedakan huruf dan angka. Dapat pula mengeja setiap huruf yang dirangkai menjadi kata. Namun, tidak memahami apa makna dibalik huruf atau angka yang sedang diejanya.
Sebagai contoh nyata, seorang anak berusia 6 tahun belajar mengenal dan membaca huruf Arab. Setelah sekian waktu, dia bisa membaca huruf, bahkan bisa membaca AlQuran dengan lancar.
Kondisi ini belum dapat dikatakan bisa membaca, namun melek huruf.

Mampu membaca, arti sederhananya adalah mampu memahami isi dan makna (tersirat dan tersurat) yang terkandung pada tulisan tersebut.  Ketika saya tidak mengalami hambatan membaca  teks berbahasa Perancis karena menggunakan huruf-huruf Latin yang memang sudah sangat saya kenal, saya tidak dapat dikatakan bisa membaca dalam bahasa Perancis. Saya hanya melek huruf yang digunakan pada teks berbahasa Perancis namun sama sekali tidak tahu isi bacaan tersebut apa.

Contoh lain, saya membaca artikel pada  Koran Tempo tentang Ekonomi  yang didalamnya berisi tabel, grafik juga huruf-huruf Latin dan menggunakan  bahasa Indonesia. Saya bisa menghubungkan setiap huruf yang dipakai pada artikel tersebut.  Namun jika ditanya apa isi artikel tersebut,  saya tidak paham. Kondisi inilah yang dimaksud dengan tidak bisa membaca.
Saya tidak tersinggung ketika disebut tidak bisa membaca. Saya harus mengakui bahwa banyak teks yang hanya bisa saja kenali huruf-hurufnya namun tidak tahu isinya.

Kondisi siswa kita, yang termasuk tidak bisa membaca, adalah siswa yang kurang lebih sama dengan kondisi saya ketika membaca teks berbahasa Perancis dan berbahasa Indonesia dengan tema ekonomi yang saya jelaskan di atas.

Tidak sedikit dari siswa kita yang menghabiskan waktu berjam-jam untuk membaca buku (pelajaran), namun selesai membaca, mereka seperti tidak mendapatkan apapun. Tidak sedikit pula siswa kita yang memilih tidak membaca, karena walaupun mereka membaca, mereka tidak memperoleh informasi baru.
Inilah kondisi yang menyebabkan negara kita tertinggal dari negara lain dalam hal penguasaan keterampilan membaca.

Jika Bank Dunia menduga perlu waktu 45 tahun bagi negara kita bisa sejajar dengan negara lain dalam hal membaca, itu pun mungkin belum  tentu benar. Ketika kita dan siswa kita masih bergaya membaca seperti saat ini dan tidak mengubahnya, kita perlu waktu lebih dari 45 tahun sepertinya. Namun, jika kita mulai bergerak,  mulai mengajarkan membaca dalam arti mampu memahami isi bacaan, mungkin tidak harus menunggu 45 tahun untuk setara dengan bangsa lain.

Membaca adalah  keterampilan. Perlu latihan yang terus menerus dan berkelanjutan agar dapat menguasainya. Kita sering mendengar seseorang ikut kursus berbicara. Mungkin awalnya terdengar aneh. Masa sih ikut kursus berbicara. Kita semua kan bisa bicara. 

Bagi yang ingin bisa berbicara di depan publik, mereka berlatih  bicara untuk memenuhi kebutuhan ini. Presiden Sukarno pun, berlatih  berbicara di kamarnya sebelum menjadi orator ulung. Keterampilan  berbicara, diperoleh berkat latihan.

Sekarang membaca, hanya sedikit orang yang diberkahi Tuhan dengan kemampuan membaca. Sebagian besar lainnya harus berlatih dan harus belajar. Sangat sedih jika saya menemukan seseorang yang mengaku dirinya pandai membaca tanpa harus berlatih. Jangan-jangan dia hanya melek huruf; dia belum terampil membaca dan tidak memiliki kecakapan literat.

No comments:

Post a Comment