Pages

Saturday, November 4, 2017

Aku begini karena salah orangtua

Seorang siswa dengan kesal menjelaskan bahwa ayah ibunya bercerai. Dia memilih tinggal dengan lbunya dengan anggapan seorang lbu penuh kasih, tidak pernah kurang sayang, dan selalu banyak nurut pada keinginannya. Dia  tidak melirik ayahnya karena telah menikah dengan perempuan lain yang dituduh sebagai perebut bahagianya.

Baru-baru ini, lbu yang dijadikan sumber bahagia dalam keluarga,  menikah lagi. Dia tidak setuju dengan keputusan lbunya, dan dia sangat marah karena lbunya memilih pria lain ketimbang dirinya. Dia merasa dikhianati lbu yang selama ini dianggap dewi pelindung.

Dia kecewa pada ayah, kecewa pula pada lbu. Dia memilih tinggal bersama nenek. Tinggal bersama nenek tentulah lebih menyenangkan ketimbang tinggal bersama penjahat yang memakan emosi seperti lbu atau ayah.

Nenek tidak seperti harapannya, nenek cerewet, nenek selalu bilang jangan begini jangan begitu, sebentar-sebentar laporin lbu. Semua tempat seolah tidak menerima dirinya. Dia harus  mencari tempat yang memberikan kesejukan, kasih, lupa pengkhiatan lbu, Ayah,  cerewet nenek. Tempat itu,  tentu bukan sekolah. Sekolah, untuk apa? Tidak ada yang peduli lagi.

Sekolah juga merepotkan. Banyak tugas, banyak ini itu. Belum lagi teman-teman yang kadang menyebalkan. Satu-satunya yang tidak menuntut adalah game. Game selalu siap meluruhkan semua kesal kapan saja. Game seolah memberikan kesenangan baru setiap harinya. Maka, dia menghabiskan siang, juga malam untuk main game.
Neneknya khawatir karena sang cucu tidak keluar kamar, tidak sekolah, lupa makan.
Nenek lapor pada lbu, lbu datang suaranya pada telepon. Nadanya sangat tinggi, menyalahkan kenapa merepotkan nenek, kenapa tidak sekolah,  kenapa buang-buang waktu masa remaja. Suara lbu, ribut, berisik, bikin pekak telinga.  Klik, suara lbu hilang.

Ibu lapor pada ayah. Ayah datang gambarnya pada video call. Memulai percakapan dengan senyum aneh yang memaksa agar diberi waktu bicara. Ayah bicara dan bicara, beruntai-untai nasihat, kata mutiara, semua terdengar kamuflase, penuh trik, palsu. Klik, gambar ayah hilang.

Dia hanya bersama dirinya.  Menentukan pilihan sendiri. Sama seperti Ayah, lbu, Nenek, mereka menentukan pilihannya sendiri-sendiri. Diapun melakukan hal yang sama. Sayangnya, setiap keputusan yang diambilnya harus diketahui,  dan disetujui mereka. Kenapa pada saat ayah pergi dengan perempuan lain, ayah tidak meminta persetujuannya. Kenapa pada saat lbu memilih berbagi hidup dengan lelaki lain, ibunya pun tidak meminta persetujuannya. Kata adil sangat jauh dalam hidup ini, begitu gumamnya.

Tiba-tiba guru yang jadi walikelasnya pun ikut campur. Dia mengsms menanyakan apa kabar, sedang ada dimana, apakah besok sekolah atau tidak, mau ditengok atau tidak.  Tentu saja dia tidak menjawab sms wali kelasnya. Apa urusannya? Wali kelas adalah orang luar, bayaran pemerintah yang tetiba saja menambah kerepotan baginya.

Dia masih menjelaskan sisi lain dari ketidakpuasannya terhadap hidup. Ketidakpuasan yang diakibatkan orangtuanya. Semuanya, salah orang tuanya.
Sementara wali kelas, yang berani mengaku sebagai orangtua kedua di sekolah, masih menyimak penjelasannya, masih mengumpulkan informasi yang masih mengalir dari berbagai sumber.

No comments:

Post a Comment