Pages

Friday, November 24, 2017

Pulang sebentar di hari ke tujuh

Kang Markum adalah satu-satunya ojek di sekitaran pamakaman Sirnalaya. Siapapun dapat menggunakan jasanya. 24 jam.
Pada saat anak Kisrun mendadak demam, di tengah malam, perlu penanganan gawat darurat, maka  Markum mengojekkan Kisrun dan anaknya yang duduk diapit ditengah berangkat ke rumah sakit.  Namun kata Markum yang pulang duluan menjelaskan pada istri Kisrun bahwa si sakit harus menunggu sambil menggigil di IGD rumah sakit karena masuk IGD salah waktu.

Pula,  ketika istri Wa Pepeng mulas-mulas di saat magrib, Markum mengantarkan suami istri itu ke bidan Selakopi yang jadi langganannya. Wa Pepeng tidak memakai jasa becak, katanya kasihan istrinya, terlalu lama nanti di jalan, bisa-bisa melahirkan di perjalanan.

Banyak sekali jasa Kang Markum. Dia mengantarkan orang-orang pada tujuannya. Dia menggenapkan keinginan orang-orang dengan kemampuannya mempersingkat waktu dan memendekkan jarak. Selain itu, Kang Markum yang setiap pagi pasti nongkrong di warung gorengan Bi Sari, adalah sumber berita terhangat bagi warga Kebon Manggu.
Kang Markum sangat dermawan berbagi kabar setiap langganan dan konsumen yang diantarnya. Secara lengkap dan rinci dia akan menceritakan semuanya sebagai pokok obrolan pagi di warung.

Pagi ini,  Kang Markum telah ber-rompi khas ojekannya. Dia duduk sigap, di warung Bi Sari yang posisinya persis di mulut makam. Warung dadakan Bi Sari sangat strategis. Posisinya di pinggir jalan tempat lalu lalang satu-satunya jalan keluar dari makam bagi orang Kebon Manggu untuk menuju jalan raya. Warungnya buka pagi sampai ashar, menjual makanan titipan warga, dan menjadi buruan warga yang enggan membuat sarapan. Tidak heran jika warungnya selalu tidak cukup untuk menampung kerumunan orang-orang yang mencati ganjal perut juga mencari info bagaimana kabar tetangga.

Kang Markum memesan kopi Luwak kesukaannya. Sambil menunggu penumpang langganannya, dia membuka cerita bahwa dia sebetulnya sangat ngantuk, belum tidur.

"Emang semalaman ngojeknya? Khusyu amat cari duit," kata Mas Ojo menanggapi lontaran curhat Kang Markum.

"Ah saya mah mengatasnamakan tanggung jawab saja Mas. Ibarat tukang warung. Digedor tengah malam, harus bangun, padahal yang beli cuman gope hanya untuk bayar sebutir Bodrex," Kang Markum berdalih ala orang terpelajar.

"Terus, itu, gimana ceritanya sampai ga tidur Kang? Saya ikut nanya karena penasaran. Apa Kang Markum mengantar beli Bodrex juga, tanya saya dalam hati.

Kang Markum seolah enggan berbagi cerita. Matanya menerawang ke kuburan yang terpalnya sedang dibongkar, pertanda orang yang tiada henti membaca Al Qur'an selama seminggu di makam itu telah usai tugasnya.

"Subuh tadi, eh belum subuh, sekitar pukul 3 pagi, sepulang mengantar Bi Ati belanja ke pasar subuh.  Ada anak tanggung minta diantar ke Pasir Hayam. Dia berdiri di situ, " Kang Markum menunjuk dengan dagunya ke arah sekitar orang yang sedang merapikan terpal.

"Anak tadi, minta diantar ke rumahnya sekitar 200 meter sebelum belokan rel kereta,  rumahnya paling besar depan plang BTN Griya. Sesampainya di rumahnya, dia langsung masuk rumah, tidak bayar, saya nunggu. Agak lama,"
Kang Markum  berhenti berkisah dan menyesap kopi dengan khidmat.

"Setelah adzan subuh, baru ada yang membuka pintu. Rupanya lbu anak tadi. Dia terlihat kaget melihat saya nongkrong depan pintu rumahnya," Kang Markum seolah mengenang pertemuan dengan lbu konsumennya.

"Maaf, Bapak mau cari siapa?" tanya ibu si anak.

"Mau minta bayaran ongkos ojek anak ibu, tadi subuh pake ojek saya dari Sirnalaya.  Tadi dia langsung masuk tidak keluar lagi." Kang Markum mengulang jawabannya pada si ibu.

Ibunya si anak menjelaskan, "Pak, anak saya meninggal seminggu lalu, hari ini persis hari ketujuh. Dia meninggal karena kehabisan darah akibat lambat penanganan, dia tertabrak, dibawa ke IGD, tapi dia dibiarkan.  Pagi ini, saya hendak menjemput yang mengaji di makam. Kalau tadi subuh dia minta diantar ke sini, rupanya anak saya pulang dulu. Ini hari ketujuh. Kabarnya pada hari ke empat puluh dia benar-benar pergi."

Serentak, kami semua memandang ke Bapak-bapak bersorban yang sedang merapikan terpal. Pikiran kami seolah sepakat, bahwa disitulah si anak di kubur.

No comments:

Post a Comment