Pages

Monday, April 1, 2019

Kartu

Kartu

Oleh: Badriah
One-piece dress pink tua membalut tubuhmu menyembunyikan sejarah bekas kehamilan yang kamu katakan telah mencabik ramping pinggangmu. Tubuhmu tidak mengatakan bahwa telah pernah ada jabang bayi yang pernah menjadi bagian siang dan malammu selama sembilan bulan. Kamu sangat cantik. Membuatku berdebar ketika kutahu warna matamu tidak sekelam fotomu yang kulihat pada Facebook yang mempertemukan kita. Pasti kamu menghabiskan waktu berjam-jam memilih baju agar aku terpesona kepiawaianmu menyembunyikan bekas jejak kehamilan. Kamu juga pasti telah merencanakan agar aku tak bisa melepaskan pandanganku dari lekuk garis bibirmu yang kau tegaskan dengan warna pink tua senada dengan bajumu.
“Kamu harus tahu bahwa aku penasaran seperti apa wajahmu diluar kotak hape,” katamu, alismu mengangkat, memaksaku untuk mengakui bahwa akupun penasaran dengan rupamu di luar layar laptop. Kamu pasti yang lebih penasaran. Katamu tadi di WA, kamu mau buka kartu. Aku tidak pernah bermain kartu. Memang aku mengizinkan teman sekosku bermain cangkulan, 41, atau Capsa Susun, tapi aku tidak pernah gabung. Aku tidak suka asap rokok, juga tidak paham kenapa harus ribut gara-gara beda poin.
“Aku berkesimpulan kamu orang baik,”
“Maksudmu?”
“Kayanya kamu bukan laki-laki mata keranjang,” senyummu melebar, tanpa mempedulikan pelayan menyimpan air jeruk hangat yang katanya kesukaanmu, kamu berkata, “Aku bersedia jadi istrimu.”
Darahku naik ke ubun-ubun dan berebutan mendapat tempat di vena-venaku sehingga membuat pipiku kemerahan. Kamu sangat agresif, sangat berani. Aku suka perempuan yang mengambil pokok pembicaraan. Pipiku semakin panas, kamu mengetahui jika aku pemalu sehingga aku tak punya nyali menawarkan diriku sendiri untuk menjadi suami.
“Secepat ini kamu mengajak menikah?” tanyaku. Kamu pasti telah bosan mengurusi bayi sendirian. Suamimu, katamu, meninggalkanmu tanpa memberi aba-aba dan tanpa laba. Kamu bermodalkan facebook menggapai-gapai mencari ayah tiri untuk sesekali mengistirahatkanmu dari urusan bayimu. Kamu pandai membuatku trenyuh dan iba dengan memajang foto bayi yang kau peluk di dadamu.
Aku melihat diriku sendiri menjadi lelaki hebat. Sekali tepuk dua lalat. Aku menikahi seorang perempuan dan langsung menjadi ayah. Kamu akan memujiku sebagai lelaki setengah dewa yang bersedia menerima kamu apa adanya. Kamu dan anak balitamu. Kamu akan bercerita pada semua orang betapa mulianya hatiku yang menyayangi anakmu seperti darah dagingku sendiri. Kamu akan memasang foto di facebookmu, foto kita berdua dan di antara kita ada anak balita. Kamu akan mengunggah kegiatan sehari-hari kita di facebook sehingga teman-teman sekosku akan terkaget-kaget betapa beraninya aku menikahi janda beranak satu. Teman-teman sekerjaku akan tanpa pikir panjang memencet like gantu love ganti like diikuti GIF the Simpsons untuk meledekku.
Menikah tujuannya untuk berketurunan. Aku, tanpa harus bersusah payah telah disediakan anak. Mengapa kisah pernikahanku begitu sederhana. Inikah jawaban terhadap semua kenapa yang setiap malam kuajukan pada Tuhan.
“Jangan senyum sendiri,” katamu mengagetkanku. Kamu terlihat semakin cantik dengan tatapmu yang semuanya hanya tertuju padaku. Warna malam melatari bibir pink tua yang kamu pakai dengan sangat rapi, semuanya terlihat sempurna. Kamu membuatku mabuk kepayang. Tidak. Aku tidak pernah mabuk karena makan buah kepayang. Aku tahu rasa buah kapayang, ibuku memasaknya untukku. Ibuku menyebutnya keluwek, picung, dan itu tak bikin aku mabuk sama sekali.
“Aku harus mengambil keputusan.” Kamu memasang wajah serius, matamu lurus menembus jantungku. Kamu kemudian bercerita ketidakpuasanmu pada rumahtangga. Aku terpukau, lipstik pink tua menyebabkan suara yang keluar dari bibirmu terdengar memintaku untuk tampil menjadi dewa penolongmu. Sekarang aku tahu mengapa para wanita memakai lipstik. Mereka telah tahu sejak awal jika efek suara yang melewati lipstik membuat pendengarnya tersihir, mabuk tanpa makan buah kepayang.
Kamu tidak berhenti bercerita, air jeruk panas kesukaanmu telah lama dingin. Mungkin kamu tidak berencana meminumnya, khawatir air asamnya menghapus lipstikmu. Kamu suguhkan sinetron dimana kamu pelakon utamanya. Kisahmu menjejali kepalaku, tanpa jeda. Kamu tamatkan dalam satu episode yang panjang dan membuatku lupa jika malam telah larut. Terlalu larut untukmu yang meninggalkan anak balitamu sendirian di rumah. Aku tak berani menanyakan dengan siapa anakmu malam ini. Ini malam pertama kita bertemu. Tak elok jika kurusak dengan pertanyaan yang menggambarkan betapa tidak berpengalamannya aku mengurus anak.
“Sekarang bagaimana?” tanyaku sangat hati-hati khawatir kamu salah tanggap. Kamu menggigit bibirmu menyumbat agar air mata tidak sempat mengalir. Kamu menahan nafas, membuatku merasa sesak.
“Pulanglah, “jawabmu.
“Pulang?”
“Kenapa?”
“Bukankah kamu mengajakku menikah?”
Kamu menunduk, bahumu bergerak, sumbatan air matamu telah jebol. Tanggul kesabaranmu telah habis. Kamu terus menangis, tanpa jeda, membiarkanku membuat cerita dalam kepala. 
Perlahan kamu mengangkat wajahmu. Lipstikmu masih utuh, kulihat bibirmu terbuka dan berkata, “Aku belum bercerai dari suamiku, jadi aku tak dapat menikah denganmu.”
Lipstik pada bibirmu terlihat seperti kartu draw 2 yang membuatku lumpuh. Itulah yang kamu maksud dengan buka kartu pada WAmu tadi siang.

No comments:

Post a Comment