Pages

Wednesday, May 29, 2019

Kerugian di satu sisi, keuntungan di sisi lain

Membantu anggota komunitas 'guru menulis' untuk mewujudkan karya tulis mereka berupa cerita pendek dan puisi menjadi sebuah buku antologi cerpen dan puisi berISBN, bukan kisah penuh romantisme yang penuh kejutan-kejutan manis.  Kegiatan dimulai dari memberikan pelatihan mengenai apa saja yang bisa ditulis, bagaimana menulisnya dan bagaimana mempublikasinnya.

Berbulan-bulan saya mendorong dan meyakinkan bahwa setiap orang bisa menulis. Menulis adalah keterampilan,  jadi setiap orang yang berminat menguasainya pasti memperolehnya.  Namun, seperti umumnya pemerolehan keterampilan,  perlu latihan agar bisa menguasainya dengan terampil. Ibarat menguasai keterampilan naik sepeda, siapapun ketika lahir tidak ada yang menguasai naik sepeda. Namun yang berminat ingin bisa naik sepeda,  dia berlatih naik sepeda tiada henti.  Tidak memikirkan luka, lelah,  dan waktu yang dihabiskan untuk menguasainya.

Menulis pun, sama. Perlu waktu, luka dan lelah berlatih. Tidak bisa menginginkan bisa menulis tapi tidak pernah latihan. Sama dengan, ingin bisa naik sepeda, tapi hanya bicara keinginan saja tanpa pernah latihan. 

It begins from a scratch

Satu dua guru mulai menulis. Kegalauan muncul akibat anggapannya sendiri bahwa tulisannya tidak bagus, tidak punya style. Saya memberikan motivasi  bahwa tulisan siapapun awalnya dipandang tidak bagus, pun oleh penulisnya sendiri.  Wajar, karena masih ada pada tataran latihan.  Terus berlatih, itu yang saya anjurkan.

Seiring waktu, lima enam guru mulai menulis. Dua jenis yang ditulisnya: cerita pendek dan puisi. Saya terima tulisan mereka. Dengan sesekali mengajak untuk membuka PUEBI, menggunakan tanda baca dan mengenal mekanik lainnya untuk membantu tulisan dapat menyampaikan gagasan sesuai dengan yang diinginkan penulis.

Perkembangan menulis tidak secepat menanam jagung yang dalam waktu tiga bulan setengah dapat langsung dipanen. Dalam waktu tiga bulan setengah, seperempat dari keseluruhan guru yang berada di komunitas berbagi tulisannya.  Saya kumpulkan, saya edit, saya kirimkan ke penerbit. Dengan harapan, para guru bisa melihat bahwa tulisan mereka bisa dipublikasikan, bisa berISBN, bisa digunakan untuk mendapatkan poin naik pangkat.

Berbekal keinginan untuk membantu mengabadikan karya, saya kirim tulisan para guru tadi ke penerbit. Saya berjibaku sendiri untuk urusan mengedit. Setiap kali hasil tulisan yang telah diedit minta dicek ulang oleh penulisnya, tidak ada respon.  Setiap kali diminta, apakah ada yang mau menambahkan biodata, tidak ada jawab.

Akhirnya, dengan bulak balik edit sendiri,  buku itu rampung. Benar-benar menjelma sebuah buku.  Barulah ribut, minta tambah cerpennya, minta tambah puisinya, minta edit biografinya. Buku yang semula diperkirakan hanya 200 halaman,  menjadi 500 halaman. Terlalu tebal. Saya ubah menjadi dua jilid, masing-masing sekitar 250 halaman.
Perubahan terjadi karena memenuhi permintaan tambah ini tambah itu. Mungkin pihak penerbit pun bingung dengan perubahan isi yang mencolok ini.

Buku itu harus rampung. Saya ingin para guru bangga dengan karyanya yang telah menjadi buku betulan. Dan saya meminta bantuan untuk membayar biaya cetak dengan harga pre order. Tidak semua yang memesan diikuti membayar. Tapi saya membayar lunas ke penerbitnya.

Satu persatu buku diambil yang pre order. Ada kesalahan cetak. Ada yang namanya tertera sebagai penulis di jilid buku, tapi tidak ada karyanya di dalam buku. Yang menarik, dia mengembalikan buku yang dipesannya sebanyak 6 buah, yang artinya saya yang terkena tanggung jawab membayar ke-6 buku itu. Saya menyimpulkan bahwa keberanian saya membantu,  ketika ada resiko, semuanya saya yang menanggung. Saya memikirkan betapa besar uang yang harus saya tanggung hanya untuk menunjukkan pada guru bahwa merek bisa berkarya.

Menanggung biaya salah cetak, menanggung edit tanpa dibayar, saya jalani agar para guru yakin bahwa menulis bisa menjadi karya monumental. Saya menanggung itu dengan sedikit rasa sedih. Andai uang itu untuk berlebaran, untuk anak saya, uang yang bukan sedikit. Helaan nafas saya mengiyakan betapa saya telah salah perhitungan.

Dalam kesedihan saya mengajak anak saya membuat SIM. Telah dua tahun anak saya membuat SIM dan tidak pernah lulus. Pada saat lebaran, razia SIM sangat ketat. Saya pun harus membuat SIM.

Allah Maha Pembayar.
Membuat SIM dilalui dengan tanpa banyak halangan. Anak saya dan saya menjadi dua pendaftar terakhir pada saat pintu ruang foto SIM sudah ditutup lima menit sebelumnya.  Untunglah penjaga berbaik  hati membukakan pintu dan mengizinkan kami masuk.

Proses pembuatan SIM diawali dengan cap jari, tanda tangan, dan foto berjalan lancar. Hasil ujian yang dipegang Pak Polisi tidak tahu berapa nilainya.  Tapi, polisi itu berkata bahwa kami bisa membawa SIMnya hari ini juga.
Saya bersorak gembira.  Betapa Allah memberikan kemudahan untuk membuat SIM seolah membayarkan kesulitan keuangan yang harus saya tanggung akibat guru mengembalikan bukunya.

Dua hal bertentangan ini mengajarkan saya agar jangan berprasangka buruk pada takdir yang harus dialami. Di satu sisi, saya mendapatkan kerugian membayar buku yang  tidak harus saya beli. Di sisi lain, saya mendapatkan kemudahan membuat SIM. Sungguh Allah Maha Adil.

Ramadhan 2019, hari ke-24.

No comments:

Post a Comment