Pages

Monday, August 24, 2020

Berkutat dengan kesalahan yang sama

Sebagai lanjutan dari kegiatan Webinar menulis kisah inspiratif guru pada masa pandemi, saya menyediakan kesabaran dan waktu untuk membaca karya-karya para guru.  Patut saya jelaskan, setelah dibaca nama penulisnya,  ternyata ada pula tulisan yang dibuat oleh Kepala sekolah,  pengawas,  mahasiswa, juga masyarakat umum. 

Satu-satunya tulisan dari masyarakat umum adalah tulisan seorang ayah muda yang membahas bagaimana dirinya menjadi ayah rumah tangga selama masa pandemi. Inspiratif.  Tidak mudah untuk menjadi ayah pebisnis menjadi ayah rumah tangga. Housefather belum sepopuler housewife. Menjadi housefather dipandang kurang sedap di negeri ini. Ada anggapan bahwa ayah berperan sebagai satu-satunya individu yang paling tepat menjadi pencari nafkah, bukan pengurus rumah tangga.

Beberapa tulisan kepala sekolah menyoal belajar dari rumah. Saya menemukan tulisan yang membuat saya sedikit tercengang.
  
Tajuk yang ditawarkan diawali dengan kata "kisah", dengan kata lain para kontributor diharapkan berbagi kisah. Artinya dibaca dengan ringan,  tak perlu kerut alis, dan tak harus memastikan apakah tulisannya bermuatan hipotesis atau tidak.
 
Tulisan yang diberikan bernuansa ketat ilmiah. Tulisan diawali dengan latar belakang,  diikuti masalah, disusul dengan penyelesaian masalah dan kesimpulan.  Tentu saja inspiratif, namun cara penyajiannya yang kaku membuat pembaca akan megap-megap dengan kutipan peraturan menteri serta perundang-undangaan yang mengambil paling tidak sepertiga halaman dari tiga halaman paparan  bergaya ilmiah yang digunakannya. 

Tulisan para mahasiswa lebih mengetengahkan pemikiran kritisnya terhadap kondisi pandemi yang sedang dihadapi dan penggunaan pembelajaran jarak jauh dipertanyakan efektifitas dan kualitas hasil pembelajarannya. Saya merasa senang ketika bersua dengan tulisan yang mengajak pembacanya turut memikirkan huhungan sebab dan akibat.

Selain dari ketiga jenis penulis yang disebutkan di atas, gurulah yang menjadi penghuninya.  Ratusan tulisan kisah inspiratif yang dibagikan untuk menyemarakkan khazanah tulisan karya guru. Jika melihat jumlah, saya merasa tenang. Tenang karena para guru dapat menyampaikan pengalaman work from home secara tertulis. Satu per satu saya baca tulisan inspiratif yang dikirimkannya. Setiap guru memiliki pengalaman berbeda yang menarik untuk dibaca. Namun kemenarikannya menjadi pupus ketika tulisannya secara kualitas sangat memprihatinkan. Secara kosa kata masih belum taat penggunaan kamus bahasa Indonesia. Saya tuliskan beberapa kata yang saya ingat yang ditulis  tidak sesuai: tengtang, meriung, ....

Yang paling membuat pegal adalah tidak dikuasainya penggunaan awalan di, ke, ku. Kata depan yang seharusnya dipisah ditulis dipisah, ditulis serangkai, sebaliknya awalan yang seharusnya ditulis serangkai malah ditulis dipisah.  Contoh: selamam pandemi saya terus dirumah. Anak-anak tidak pernah di tinggal  apalagi di minta untuk bermain ditetangga.
Kesalahan lain yang dominan mengurangi kenyamanan membaca adalah penggunaan tanda petik untuk menunjukkan kalimat langsung. 

Semoga  sajah dengan seringnya  berpraktik menulis, para pendidik tidak lagi mengulangi kesalahan yang sama. Sehingga kelak dapat berbagi inspirasi dengan tanpa mengurangi kenyamanan pembaca pada saat menikmati inspirasi yang sedang dibagikannya.

No comments:

Post a Comment