Pages

Thursday, August 31, 2017

Hari ke-44 Jangan-jangan

Hari ini dimulai dengan meminta izin kepada siswa 12 MIPA 6 bahwa saya tidak dapat menemani literasi. Semalaman suami dan anak saya demam hebat. Saya sendiri muntah-muntah pada pukul 20, namun bisa tidur sampai akhirnya terbangun karena suami dan anak badannya meriang dan tidak tidur sampai pagi hari. 

Segera setelah pukul 6 tiba, saya bawa suami dan anak ke rumah sakit Hermina. Dengan harapan ditangani dengan segera. Entah karena besok hari Lebaran Haji,  suami dan anak saya disuruh pulang. Dengan alasan bahwa lebih baik dirawat di rumah agar tidak terkena virus rumah sakit dan menambah parah penyakit dan lagi demamnya baru satu hari. Pulang lebih baik. Saya tidak punya daya untuk menolak,  maka kami pulang. 

Di rumah,  suami demamnya  berlanjut. Malah bertambah keluhannya dengan badan pegal, kaki serasa diikat, dan nyeri dada.

Magrib tiba, semua mesjid seolah berlomba-lomba menyuarakan takbir. Ada suara kanak-kanak, ada suara remaja, suara orang dewasa, semua berbaur, memenuhi udara malam. Saya hanya bisa menemani dua orang sakit sambil berharap saya sendiri tidak jatuh sakit.
Takbir mengingatkanku pada delapan tahun silam. Dengan lantunan kalimat takbir yang sama, saya duduk disamping ibuku yang sakit parah di rumah sakit Hasan Sadikin Bandung. Berbulan-bulan lbu dirawat akibat gangguan penyakit lambung yang akut.

Tanpa sanak tanpa saudara ketika menemani lbu di rumah sakit, dunia terasa kecil dan sempit. Saya tidak berdaya menyembuhkan sakit lbu. Hanya mohon izin Tuhan dan bantuan dokter. Ketika takbir berkumandang ibuku terbangun. Seolah baru bangun dari tidur yang panjang. Ibuku bertanya, ' kenapa ada takbir, apa besok lebaran?' Saya tidak mampu menjawab, suara lbu yang menghubungkan takbir dengan lebaran menandakan beliau sudah sadar penuh.

Saya hanya bisa bersyukur lbu bisa mendengar suara takbir, lbu sadar. Saya merasakan keagungan suara takbir dan merasakan kekuasaan Tuhan bekerja dengan caraNYA. Takbir lebaran haji yang tidak akan terlupakan. Hanya dua kali takbir yang bisa lbu dan saya jalani bersama setelah lbu sadar.
Takbir itu kini berkumandang lagi. Saya duduk di samping dua orang yang sama dekatnya dengan lbu. Setelah lbu tiada, saya menghabiskan kumandang takbir lebaran hanya dengan anak dan suami. Ketika kumandang takbir bergema dan saya mengulang kejadian menemani orang sakit, saya jadi berpikir. Berapa kali lagi saya bisa berkesempatan mendengar takbir?

Takbir bisa jadi pengingat untuk sadar. Bangun dari kecintaan pada hidup. Dan beritikaf, berapa kali lagi takbir itu  bisa didengar dengan sadar. 

Semoga takdir memberikan kesempatan saya juga siapapun untuk selalu sadar pada hidup. Hidup yang dihiasi sakit dan ditunggu kematian sehingga dalam hidup selalu berbuat baik. Selalu mengagungkan kebesaran Tuhan, karena kasihNYAlah kita diberi kesempatan mendengar takbir.

No comments:

Post a Comment