Pages

Monday, July 30, 2018

Perubahan itu keniscayaan

Bagi beberapa orang guru ketika disodori perubahan, jawabannya langsung kernyit dahi. Spontan berkomentar buat apa repot-repot begini begitu,  toh begini saja kita sudah nyaman. Kurang-kurang sedikit mah, biasalah, manusia mah ga pernah ada yang puas.

Saya mengajukan perubahan yang kecil tapi berdampak besar untuk lingkungan sekolah, yakni pengurangan penggunaan botol plastik dan stereoform. Momen penunjukkan sekolah rujukan dapat menjadi alat untuk mewujudkan itu. Saya memanfaatkan momen untuk mengubah wajah lingkungan yang secara perlahan kuantitas plastik di lingkungan sekolah semakin berkurang.

Perubahan ini disangsikan keberhasilannya oleh beberapa rekan guru, tapi tidak sedikit juga yang melihatnya sebagai tantangan. Respon kekanak-kanakkan adalah dengan menunjukkan retensi melalui hal yang sebetulnya berpotensi  mengagalkan perubahan itu. Retensi itu dengan menantang bahwa sebelum siswa diminta melakukan perubahan, bisakah gurunya melakukannya terlebih dahulu.

Para siswa, sesungguhnya, lebih mudah diatur. Mereka akan  takut pada sangsi yang diberikan jika suatu hal yang sudah disepakati bersama dilanggar. Pada inplementasi pengurangan botol plastik dengan membawa botol sendiri dari rumah, dipandang tidak ramah. Ketidakramahan itu dilihat dari unsur pedagang kantin. Dikhawatirkan pedagang kehilangan penghasilan dari tiadanya pembeli air mineral botolan. Saya sodorkan bahwa siswa tetap membeli air mineral, namun yang dibeli airnya saja. Caranya kantin menyediakan galon, dan siswa mengisi botol air minumnya kemudian bayar. Dengan cara ini tidak ada lagi botol-botol plastik ngumpet di kolong meja, berserak di bawah meja, tergeletak di luar tong sampah, atau menggelinding di lapangan tertiup angin.

Ketidakramahan kedua adalah bagi penjaga sekolah. Semula botol-botol plastik bisa dikumpulkan, dikilo, dan dijual untuk sekadar nambah uang saku.

Kekhawatiran itu bisa teratasi jika semua pihak yang berkepentingan duduk bersama dan mencari solusi. Pedagang kantin, tetap menjual air mineral namun menggunakan galon. Mereka diperbolehkan menjual air minum botolan tapi dengan perlahan jumlahnya dikurangi.  Sementara untuk penjaga sekolah masih bisa mendapatkan uang saku yakni dengan membantu siswa mengilo sampah dari kelas-kelas kemudian disimpan di tempat penampungan sementara sebelum sampah itu diolah menjadi barang bernilai ekonomis atau bernilai seni.

Sekolah ini menampung paling tidak 1.200 orang perhari. Jika setengah saja dari jumlah tersebut membeli botol air mineral, maka ada 600 sampah botol plastik dalam sehari. Jumlah yang bukan sedikit!

Perlu aksi nyata untuk membuat sampah botol plastik berkurang. Aksi itu adalah perubahan. Perubahan yang dilakukan individu-individu yang ada di dalam sekolah.  Tidak apa-apa perubahan itu dimulai dari guru terlebih dahulu.  Karena disukai atau tidak, guru lebih cenderung retensi pada perubahan. Seperti dikatakan ahli pendidikan Katherine Sellgrene (2018) bahwa guru yang memandang perubahan bukan keniscayaan maka dia akan memilih diam dalam arti tidak ambil bagian dalam perubahan tersebut,  pindah ke sekolah lain, meninggalkan profesi guru, atau minta pensiun dini.

Langkah awal yang meminta guru terlebih dahulu yang mengurangi sampah botol plastik sebetulnya menjadi keputusan yang menguntungkan saya yang menggagas ide ini. Cara ini secara tidak langsung akan memberitahukan pada saya guru  mana yang retensi. Tentu saya tidak memiliki kekuasaan untuk melakukan pembinaan untuk guru retensi. Tapi paling tidak,  saya akan tahu siapa yang melakukan pengereposan dari dalam.

Hari ini menjadi hari pertama para guru membawa alat makan dan minum sendiri. Kita cermati mana yang retensi dan gerah dengan perubahan.  Waktu yang akan mengabarkan itu.
(30 Juli 2018)

No comments:

Post a Comment