Pages

Tuesday, July 31, 2018

Semua pasti ada awalnya

Walaupun gerakan literasi sekolah telah diperkenalkan sejak lima tahun lalu, namun SMAN 2 Cianjur melaksanakan GLS baru setahun lalu. Itupun dengan hasil yang sangat menyedihkan.

Menyedihkan dalam segala aspeknya: dukungan, tanggung jawab,  sarana, kepedulian, dan terutama niat.
Dari segi dukungan, hanya sebagian kecil guru yang mendukung. Alasan yang teguh untuk tidak mendukung disampaikan melalui seloroh, "Ah untuk apa membaca, kita kan sudah pandai membaca, sejak SD sudah bisa membaca." Kemudian seloroh itu diikuti aksi diam. Aksi diam bisa dipandang  lebih baik karena tidak mengakibatkan yang lain melakukan aksi yang sama. Yang berbahaya adalah mengajak kemudian mengompori yang lain untuk tidak bersetuju dan berse-ide dengannya. Virus negatif.

Pengakuan telah "bisa membaca" menjerumuskan bangsa ini ke posisi terendah dalam kemampuan pemahaman isi bacaan. Dari berbagai hasil tes untuk mengecek kemampuan membaca, bangsa kita berada pada posisi yang masih perlu paksaan untuk kebiasaan membaca.
Pengakuan telah bisa membaca diartikan secara sederhana sebagai telah mengenal huruf beserta rangkaiannya. Pada saat membaca koran Republika misalnya,  ditemukan banyak kosa kata yang tidak dipakami padahal koran  itu berbahasa Indonesia.  Artinya baru bisa mengenal huruf, belum memahami isi bacaan.

Pada aspek tanggung jawab, sebagian besar guru (dan terutama guru pria) memandang bahwa membiasakan  membaca bukan tanggung jawabnya. Yang harus membaca itu siswa. GLS sebetulnya berlaku untuk guru dan siswa, bukan untuk siswa saja. Ketika guru memandang dirinya tak lagi punya tanggung jawab untuk membaca, dengan sendirinya memberikan tanda bahwa dia telah berhenti belajar. Bahaya sekali jika guru sebagai role model, tauladan, inspirator, datang ke kelas menggunakan pengetahuan yang diperolehnya 30 tahun lalu dan sejak saat itu tidak lagi membaca untuk meningkatkan keprofesionalannya. Padahal pada era digital ini, informasi berubah dalam hitungan detik. Profesi dituntut kinerja dengan pengetahuan yang mumpuni, jika tidak membaca hasil praktik baik orang lain untuk inspirasi, bagaimana bisa mengukur praktik dirinya sendiri. 

Pada saat siswa mengetahui bahwa sekolah memiliki program membaca dan para guru tidak acuh dalam pelaksanaannya, maka para siswa meniru ketidakacuhan tersebut. Sedikit siswa yang sadar sendiri membaca.  Untuk kelas yang langsung dibimbing dan didampingi guru pada saat GLS ditemukan bahwa para siswa merasa mendapat banyak manfaat dari hadirnya GLS. Miskin kepedulian dari pihak guru karena ada tuduhan bahwa penggagas program GLS dipandang ornag yang "hanya ngomong". Secara personal menilai bahwa si penggagas sendiri jarang di sekolah karena banyak mengikuti pelatihan,  jarang ngajar karena banyak menjalankan surat tugas di luar jam ngajar.  Pandangan personal ini benar jika didengar sepihak. Jika jeli melihat fakta, bukan satu dua guru yang setiap hari berada di sekolah tapi tidak mengajar, dan itu aman-aman saja. Sedangkan orang yang mendapat surat tugas, dipandang salah karena meninggalkan kelas. Pandangan personal yang tidak berlandaskan analisis profesionalisme mengakibatkan munculnya simpulan guru yang sering menjalankan surat tugas, salah; guru yang setiap hari ada di sekolah, walaupun ngajarnya hanya satu kali dalam satu semester  itu benar.

Hal lain adalah kepedulian. Ketika sebuah gagasan datang dari orang yang tidak diharapkan, atau malah bukan dari dirinya, maka secara serta merta mengambil sikap tak peduli. Ketika ditanya kanapa tidak ikut menyukseskan program, jawabnya "itu kan bukan ide saya." Jawaban kekanak-kanakan karena egonya merasa terganggu atau tidak terperhatikan. Pada sebuah institusi seperti sekolah,  sebuah gagasan bisa saja keluar dari seseorang yang diharapkan miskin ide. Namun ketika ide itu disepakati bersama, sangat janggal jika bersikukuh itu bukan ideku. Keberhasilan sebuah program dalam level institusi harus didukung semua warganya.  Ada satu saja yang tidak peduli, tunggulah beberapa saat kemudian, dua tiga orang lainnya ikut bersuara sumbang dan menggembor-gemborkan bahwa gagasan baru itu merepotkan, nambah kerjaan,  bikin cape.

Terakhir,  niat untuk menjadi bagian dari sebuah program tidak ada. Melihat apa yang sudah ada sebagai sebuah capaian yang cukup bisa menjadi penghalang. Mengajak merefleksikan fakta dengan berkata, "Coba lihat sekolah lain,  mereka masih merayap, masih terseret-seret  terseok-seok, untuk apa kita lelah berpayah-payah membuat kerepotan baru." Niat mendukungpun tak kentara jika melihat kalimat itu. Apalagi niat untuk turut serta,  sudah jelas makin tak kentara.

Macam polah dan tingkah terhadap GLS sebagai sebuah program baru dalam bentuk aksi membaca, kata kerja,  artinya ada yang harus dikerjakan menjadikan gerakan ini mati perlahan dalam sakit yang tak terperikan. Senyum kemenangan orang-orang yang mengaku telah pandai membaca sejak SD mengembang dan menepuk dada sendiri sambil berucap, "kata saya juga apa, sok bikin program baca, dia harus sadar bahwa dia juga tidak bisa jadi contoh baik, ini mau bikin-bikin gerakan membaca, dikiranya cuman dia aja yang bisa baca."

No comments:

Post a Comment