Pages

Sunday, May 24, 2020

Harapan

Dia biarkan tubuhnya terlentang di ruang tengah rumah dimana dirinya dibawa seorang pedagang nasi. Dia memandang dirinya lebih tinggi derjatna dari bibi yang membawanya ke tempat itu. Sebuah tempat yang tidak dipahaminya. Sebuah tempat yang dikunjunginya tapi tanpa diketahui apa tujuannya.

Kembali dia tersadar akan dirinya yang terlentang pura-pura tidur. Dia bisa mendengar suara-suars komentar dari oeang-orang di sekelilingnya. Mungkin ada suara remaja lelaki yang sedang terdorong hormonal kelelakiannya. Dia merasa, dirinya tidaklah seburuk penilaiannya sendiri pada dirinya  

Bisikan kecil sampai ke telinganya yang tidak pernah tidur. Dia mendengar suara pujian untuk kecantikan rambut dan tubuhnya. Hatinya sangat gembira. Inilah yang dibutuhkannya. Sebuah pujian. Dari mulut siapapun. Asal pujian yang membuatnya merasa pantas untuk membiarkan ruhnya bersemayam dalam dirinya.

Sesaat dia terlena dengan rasa puji yang ditujukan hanya untuk sebagian dari tubuhnya. Dia enggan membuka matanya. Dia tidak mau melihat kekecewaan yang akan dialaminya sendiri pada saat dia sadar banyak hal yang membuat bisikan puji itu ditarik ke penyesalan. Dia tersenyum menikmati indahnya ketidaktahuan mereka yang memuji bahwa dirinya papa akan keindahan. Semuanya tak ada saat mereka menemukan setengah kematian dari balik matanya.

Mereka akan  berlari saat bersitatap dengan kuburan yang dibawa-bawanya di setiap tatapannya. Mereka juga akan menggosipkan kejanggalan kebiasaanya yang mengakrabi setengah mati selama hidup. Semua jadi bahan untuk cemooh yang menusuk-nusuk tulang iga dan melukai tulang-tulang penyangga hidup yang dipaksanya terus berjuang menyelesaikan perjanjian masa hidup. 

Dia berharap mereka memuji dirinya apa adanya. Bukan seperti yang mereka inginkan. Dia menyadari bahwa dirinya tidak dapat memenuhi permintaan siapapun,  tidak juga permintaan dirinya untuk menanggalkan sedetik saja pusara kosong itu dari wajahnya. 

Walaupun pujian itu nikmat, dia harus mengakhirinya dengan membuka matanya dan terbangun dari impian utopisnya. Saat itu pulalah dia sadar  harapan itu hancur. Semua bisik berbalik menjadi cekikik dan cekik pekik. Mereka melontarkan kejijkan betapa tidak indahnya ketika seorang dara lupa membawa bola mata indahnya. 

No comments:

Post a Comment