Wednesday, February 10, 2021

Mereka mengira itu adalah pelajaran

Saat saya menghadiri pernikahan anak teman-suami (pusing?) di sebuah vila, saya disuguhi hiburan organ tunggal. Lagu yang disuguhkan mulai dari dangdut, kemudian menjadi dangdut yang terdengar seperti dangdut jenis baru. Saya sebut jenis baru karena penonton dan penyanyi menarinya dengan gaya yang tidak begitu sama dengan dalam pikiran saya. Penari berkesan mengumbar gerakan pantat mengarah pada mengajak berkegiatan seks. 
Diantara mencerna setiap sendok makan, saya mencoba menikmati suguhan musik yang hingar bingar menggelegak di ruang pelaminan.
Usai lagu pertama,  naik penyanyi dari tamu undangan. Anaknya sekitar usia 8 tahun turut serta.  lbunya mulai bernyanyi,  entah apa judulnya. Musik pengiring berbaur kendang yang membuat gerakan penyanyi dan penonton mempertontonkan goyang seputar daerah kelamin. Ketika keteplak kendang berbunyi,  bagian depan daerah kelamin juga digerakkan ke depan.  Sangat seronok.
Menjadi menyedihkan saat gerakan itu ditiru anak-anak.  Dengan wajah polos, anak si penyanyi menirukan gerakan goyang sensual. 
Untuk sementara waktu, saya memandangnya sebagai hal lucu.  Lucu, anak-anak dengan suka cita dan tanpa paksaan menirukan gerakan goyang dangdut dan mulutnya dengan hiasan gigi ompongnya, menirukan syair lagu. 
Tapi lama-lama, saya merasa sedih. Anak-anak  menirukan gerakan  goyang sensual para orang tua dan menganggap itu adalah bagian dari keseharian atau ritual saat mengunjungi pesta nikahan. 
Pemberian pelajaran yang diberikan secara turun temurun yang tidak disadari para orang dewasa. Anak-anak menerimanya sebagai sebuah pelajaran yang berlaku dalam kehidupan sehari-hari.
(Asgo, Landbau, Cipanas) 

No comments:

Post a Comment