Sebagai seorang guru muda, yang baru saja pindah ngajar dari SMP dan mendapat tugas mengajar ke SMA, saya merasa sangat tertantang untuk memberikan yang terbaik bagi murid-murid saya. Diam-diam saya ingin membuktikan bahwa guru dapat mengajar di jenjang manapun dan tidak akan jadi guru yang ditinggalkan siswa apabila dia terus belajar dan memperbaiki cara mengajarnya. Dengan keyakinan seperti itu, penuh percaya diri, saya jejakkan kaki bersepatu baru potongan 50% yang dibeli di Ramayana ke halaman sekolah. Hari ini terasa hangat dan penuh aura positif. Ayunan kaki terasa ringan. Sepatu baru diskonan ternyata dapat memengaruhi kelincahan kaki seorang guru.
Kelas yang akan saya masuki, SMA, kelas 10. Materi yang akan diberikan 'Jati diri'. Materi ajar yang menarik. Membicarakan diri sendiri, dalam bahasa Inggris, pasti seru sekali. Dalam bayangan saya tergambar jelas para siswa mengenalkan siapa mereka, mulai dari di mana mereka tinggal, dengan siapa mereka tinggal, siapa keluarganya, apa cita-citanya. Dengan senyum dikulum, saya berjalan menuju ke ruangan kelas. Materi ajar kali ini benar-benar membantu saya. Saya seolah diberi ruang untuk mengenal para siswa secara personal tanpa harus melakukan survei ataupun nanya-nanya hal pribadi yang mungkin bisa menimbulkan kecurigaan para siswa.
Seperti biasa saya buka pertemuan dengan mengucapkan Good morning class dengan suara yang riang dan antusias. Saya selalu menanamkan pada diri saya sendiri bahwa para murid saya tidak perlu tahu keruwetan kehidupan pribadi saya. Para murid harus bertemu dengan saya sebagai guru yang selalu siap mengajar, penuh perhatian pada siswa, dan selalu masuk kelas tepat waktu.
"Good morning, Ms and how are you?" para siswa serempak menjawab seperti sudah otomatisnya begitu. Saya kembali tersenyum. Pola pembuka pelajaran Bahasa Inggris, mungkin se-Indonesia, bagaikan sudah template, good morning-how are you- I am fine thank you-and you.
Jam pertama, materi seru, dan sepatu baru membuat udara dalam kelas terasa segar. Wajah para siswa usia empat-lima belasan yang mulai muncul jerawat terlihat bercahaya. Di antara wajah-wajah ini, kelak, mungkin ada yang jadi guru, seperti saya, ada yang jadi perawat, ada yang jadi pedagang, ada yang jadi bupati. Mereka bisa jadi apa saja. Teringat mereka bisa jadi tokoh apapun nantinya, saya merasa terdorong untuk memberikan kontribusi kecil pada kehidupan mereka. Sumbangan kecil saya adalah mereka dapat mengenalkan dirinya sendiri dengan baik dalam Bahasa Inggris. Siswa saya yang menjadi bupati, akan lebih dipandang educated jika pada sebuah acara formal dia mengenalkan dirinya dalam bahasa Inggris dengan baik. Orang-orang akan berkomentar, "Inilah hasil pendidikan SMA, bisa mengenalkan diri dalam Bahasa Inggris. Pendidikan SMAnya Pak Bupati pasti bagus." Tentu saja masyarakat tidak akan tahu bahwa bagusnya pendidikan SMA bapak bupati itu karena seorang guru yang ngajarnya memakai sepatu diskonan.
Lamunan tidak saya biarkan menggila. Saya segera memanggil nama siswa satu per satu. Pengabsenan menjadi momen yang ditunggu para siswa. Mereka menanti kata "take off your name card". Jika saya mengatakan ini artinya saya sudah hafal kepada siswa tersebut dan kartu namanya dicopot. Teknik ini saya buat sendiri. Belajar dari pengalaman sebelumnya, saya sering lupa nama siswa, atau salah panggil nama siswa. Dengan teknik "take off your name card" ini, saya terbantu relatif lebih cepat mengahafal nama-dan-wajah siswa dan siswa bahagia karena menganggap saya telah mengenalnya.
Cara menerapkan teknik "take off your name card" itu sederhana. Saya awali dengan kesepakatan dan meminta para siswa memakai kartu nama setiap kali pelajaran saya dimulai. Saya sendiri, sebagai guru, menghafal nama tiga atau empat orang siswa per kelas untuk setiap minggunya. Pengabsenan yang pertama, saya gunakan untuk memastikan nama dan wajah sesuai, saya mengabsen sesuai urutan abjad. Pada pengabsenan selanjutnya saya akan memangil nama siswa secara acak. Setiap minggu ada siswa yang saya minta untuk mencopot kartu namanya. Para siswa yang diminta mencopot kartu nama biasanya bertepuk senang karena saya sudah kenal dia. Mengingat nama siswa perlu ada usaha. Penanggalan kartu nama memaksa saya terus mengingat nama siswa tersebut. Cara lain yang membantu saya adalah dengan meminta siswa memasang foto pada buku tugas. Pada akhir tahun ajaran, tidak semua siswa saya ingat namanya, tapi paling tidak saya telah berupaya keras untuk bisa memanggil nama pada wajah yang tepat untuk 300an siswa saya.
Usai mengecek kehadiran siswa, saya lanjutkan dengan mengenalkan siapa saya, latar belakang pendidikan, dan hal-hal lain yang menjadi jati diri saya. Para siswa ada yang terlongo-longo, mungkin tidak menyangka kalau saya, guru bahasa Inggris berasal dari Kadupandak. Maksudnya kampung gitu. Ada murid yang nyeletuk rasanya tidak mungkin orang Kadupandak, eh kampung, bisa jadi guru bahasa Inggris. Saya menanggapinya dengan cengar cengir tanpa dosa. Dalam pandangan saya, tidak ada kaitan antara kampung dilahirkan dengan kemampuan berbahasa Inggris. Kadang para siswa itu pikirannya konyol, tapi itulah yang membuat saya senang menjadi teman belajar mereka.
*Maaf, Tidak Semua Orang Punya Ibu, Ms*
#2
Oleh Badriah
Pada materi 'jati diri' saya mengenalkan silsilah keluarga saya sebagai contoh. Saya ambil spidol warna hitam untuk menggambar pohon keluarga. Tak lama, saya ambil lagi spidol warna hijau, kemudian saya tulis nama Bapak saya. Mudah-mudahan dengan menuliskan nama Bapak saya, para siswa sadar, bahwa gurunya itu juga manusia, dalam arti punya ayah-ibu. Kelas mendadak senyap. Jangan-jangan bahasa Inggris-Kadupandak saya tidak dipahami murid. Kekhawatiran menyelimuti pikiran saya.
Segera saya berkata dalam bahasa Inggris yang kalau diterjemahkan kurang lebih begini padanannya.
"Ini Bapak saya. Bapak saya punya istri tiga," tangan saya langsung menyambar spidol warna hitam, kemudian membuat garis tiga. Selanjutnya, tangan saya otomatis mengambil spidol warna ungu untuk menuliskan nama perempuan sambil berkata, "Bapak saya, pria ganteng pada zamannya, makanya laku keras!"
Para siswa tertawa, mereka yakin bahwa ayah saya tidak mungkin beristri tiga. Salah satu siswa bertanya seolah ingin kepastian, "Is it true, Ms?"
"Was it true? It's true, 100%" kata saya yang diikuti derai tawa para siswa. Suasana kelas menjadi ramai. Kondisi ini saya manfaatkan untuk mengenalkan bagaimana cara membuka jati diri ala anak SMA untuk kebutuhan bersosialisasi, melamar kerja, mengisi formulir untuk kuliah.
Bel jam pertama berbunyi, menyadarkan saya untuk segera melakukan asesmen formatif. Saya harus memeriksa apakah para siswa yang ramai tertawa-tawa, terkaget-kaget karena saya dari kampung dan ayahnya beristri tiga paham maksud dibalik pemodelan yang saya berikan. Saya berharap para siswa dapat mengenalkan dirinya dengan bantuan pohon keluarga.
Spidol saya simpan di atas meja. Kemudian saya berkata, "Saya akan menyetel instrumental The Last of the Mohican, awas jangan nangis ya. Saya berharap, saat lagu ini selesai, kalian selesai membuat pohon keluarga dan penjelasan singkat mengenai korelasi orang-orang yang ada pada pohon keluarga. Gunakan spidol warna untuk menunjukkan relasi kekeluargaan."
Mengajar pada jam pertama relatif tanpa kendala. Konsentrasi para siswa masih bisa dikatakan berada di posisi 90-100%. Mendengar perintah saya, para siswa mengeluarkan buku tulisnya masing-masing dan spidol. Untuk pelajaran saya, saya bersepakat dengan para siswa untuk menggunakan spidol warna jika diperlukan. Urusan spidol ini tidak ujug-ujug. Ada sejarahnya juga. Pada awal semester saya membuat MoU dengan siswa bahwa siswa harus membawa spidol sesuai jadwal pertemuan yang disepakati. Tapi namanya juga siswa, tidak seru kalau tidak beralasan. Alasan paling klise adalah lupa. Sebagai antisipasi, saya selalu membawa spidol yang siap dipinjamkan. Spidol yang kadang dikembalikan, kadang tidak dikembalikan, kadang kembali lebih.
The last of the Mohican habis. Para siswa saling menatap. Wajah bersinar yang sedikit ada jerawat itu terlihat mennguarkan bau kerut khawatir. Khawatir namanya dipanggil dan diminta menjelaskan pohon keluarganya.
Saya tanya, "Sudah selesai belum?"
"Sudah," lagi-lagi para siswa menjawab serempak. Rasa bahagia memenuhi setiap rongga yang ada dalam diri keguruan saya. Saya berhasil, kata saya dalam hati dengan bangga. Belum lagi saya berbicara untuk mengungkapkan rasa bangga saya, tetiba suara seorang siswa memporak-porandakannya.
"Saya belum, Ms."
Perhatian dan mata siswa sekelas seolah diarahkan ke sumber suara. Seorang siswi, duduk di barisan pinggir kanan, sendiri, nampak sedang memegang spidol warna ungu tapi buku tulisnya masih kosong.
Pertanyaan memenuhi pikiran saya, apakah saya kurang jelas tadi memaparkan jati dirinya? Apakah saya terlalu cepat menjelaskannya? Apakah perintah yang diberikan tidak dipahami?
Saya agak panik. Kelas menjadi sunyi. Kesenyapan yang membuat jeritan suara seruling pada lagu the Last of the Mohican seolah tergiang mengulang memenuhi seluruh ruang telinga saya. Kenapa dia belum selesai mengerjakan tugas yang menurut saya sendiri bisa dilakukan anak SMA kelas 10. Saya tatap siswi itu. Terlihat dia menunduk.
"Saya akan ulang lagi lagu The Last of the Mohican, tugas yang kedua adalah membuat deskripsi pohon keluarga menggunakan 200 kata."
Saya ambil keputusan seperti itu. Maksud saya agar para siswa yang sudah selesai membuat pohon keluarga terus menulis, dan saya punya kesempatan untuk bertanya pada siswa yang belum selesai menuliskan pohon keluarga tanpa menjadi perhatian para siswa sekelas.
Perlahan-lahan saya mendekati siswi yang seolah mematung semenjak tadi saya memandang padanya.
"Apa yang bisa Ms bantu agar kamu bisa membuat pohon keluarga?" Suara saya lembut untuk membuat siswi yang memegang erat spidol warna merah berbicara.
"Eu ..., tidak ada." Dia menjawab hampir tidak terdengar, suaranya lebih rendah dari suara The Last of the Mohican yang tidaklah keras.
"Tidak ada bagaimana?" Keheranan menerjang kepanikan saya yang tadi hinggap.
"Apa yang harus saya tulis, Ms? Saya tidak tahu lbu saya." Suaranya nyaris tidak dapat saya tangkap andaikan saya tidak duduk di sampingnya dan memusatkan perhatian pada wajahnya.
Saya terhenyak. Tidak tahu ibu? Bagaimana ini bisa terjadi? Bukankah setiap manusia kodratnya terlahir dari seorang ibu? Siswi ini mengaku tidak tahu ibu, terus yang mengurus dia, yang membesarkan dia, yang menyekolahkan dia, siapa? Pasti ada seorang ibu dibaliknya kan?
"Kata mamah yang mengurus dan membesarkan saya, saya bukan anaknya. Saya diberikan seorang ibu kepada bidan yang membantu lahiran saya. Saya diserahkan kepada ibu bidan sebagai pengganti ongkos bayaran melahirkan. Setelah itu, ibu saya pergi."
Suara seruling pada lagu the Last of the Mohican mendadak seperti suara sayatan perih yang melukai jiwa siapapun yang mendengarnya. Saya telah membuat luka lama yang telah kering dan tidak lagi bisa menangis berair mata, kembali menganga. Saya merasa bersalah ketika tertawa bersama seisi kelas pada saat mengatakan ayah saya ganteng dan laku keras. Mungkin siswi ini pada saat saya berkata seperti itu, dia sedang mencari-cari seperti apa wajah ayahnya. Apakah dia lelaki ganteng sehingga ibunya bersimpuh kalah dan mengizinkan rahimnya sebagai tempat buah kasih? Ataukah dia lelaki laknat yang merobek kehalusan jiwa ibunya dan menjadikkan ibunya perempuan tertega sealam raya? Lebih sedih lagi, dia meraba-raba seperti apa wajah ibunya, yang dia sendiri pun, tidak tahu namanya.
Suara lagu the Last of the Mohican terus mengalun, kini suaranya menjadi bisikan nelangsa anak usia belasan yang harus menanggung duka sepanjang hayatnya. Kesedihan pada lagu ada titik hentinya. Apakah kesedihan tidak tahu ibu dan tidak tahu ayah ada titik hentinya?
Saya tenggelam dalam kepedihan yang tidak dapat saya pahami sendiri. Empat-lima belas tahun siswi ini membawa diri dan meraih impiannya, dan itu tidak untuk diceritakan kepada ibunya. Kepada siapa bercerita? Kepada kekosongan dirinya? Sekosong bangku sebelahnya yang hari ini sedang dia duduki.
"Ms turut prihatin dengan pohon keluarga yang kamu miliki. Jangan mencari pohon itu ada di mana. Kamu bisa mencintai dan bahkan menanam pohon baru dengan harapan baru. Untuk tugas, kamu gunakan pohon keluarga yang ada di buku." Suara saya dipaksa tegar dan jernih disela pertahanan rasa keibuan saya yang hampir runtuh. Genangan air mata segera saya hapus dengan terburu-buru.
Materi ajar jati diri hari ini memberikan banyak pelajaran bagi saya. Saya terlalu melihat ke dalam diri saya sendiri yang memiliki silsilah keluarga yang jelas. Saya lupa bahwa ada orang lain yang sedang membuka-buka lembaran nasib dan buku kehidupannya untuk sekadar mengetahui nama ibunya sendiri. Saya tidak dewasa dalam menyajikan contoh. Sangat tidak tepat menjadikan kisah keluarga diri sendiri sebagai model pohon keluarga. Ke depan, saya harus menggunakan pohon keluarga yang bisa diterima semua siswa. Keluarga Tuan Krab pada film Spongebob misalnya. Tuan Krabs punya anak Pearl Krab, dan punya kekasih Nyonya Puff. Tuan Krabs punya ayah Senior Krabs, dan ibunya Betsy Krabs.
Sebagai seorang guru muda, saya banyak belajar dari murid saya terutama. Mereka adalah guru-guru sejati yang mengajar dengan kesunyian jiwanya dan keramaian impiannya.