Friday, March 7, 2025

SMAN 1 Cipatat

Acara dimulai dengan ikut serta salat Dhuha di lapangan. kemudian memberikan sedikit kuliah 3 menit atau kutil, ada kata pacaran yaitu pagi-pagi baca Quran. Istilah-istilah yang menurut saya terdengar lucu dan unik. semoga makna-makna ini memberikan kesempatan kepada para siswa bahwa apa yang diistilahkan tadi tidak selalu bermakna negatif.

Selanjutnya bersama Bapak Amiruddin melihat bangunan rkb yang akan mendapatkan bantuan nanti sebanyak 5 kelas. Sedangkan ada kelas-kelas lain yang rusak sebanyak 4 kelas yang kemudian nanti Akan diperbaiki juga.

Sesekali mampir sekelas untuk mengucapkan salam dan menyampaikan bahwa untuk menulis mushaf Alquran Sebaiknya dikumpulkan dan dijadikan Quran yang bisa diakses oleh para peserta didik tidak hanya dibuat kemudian ditinggalkan.

Kemudian kumpul di ruang Kepala Sekolah untuk membahas rencana kerja kepala sekolah yang diawali dengan konsulting menjelaskan mengenai Apa itu konsulting. Kemudian dilanjutkan dengan membedah rapor.
Untuk kepala sekolah masih bermasalah di visi misi sekolah titik sehingga dengan visi misi sekolah ini diharapkan sekolah membuat jargon yang mudah diingat murid, kalau perlu membuat maskot dalam bentuk boneka atau gantungan kunci sehingga itu tahu bahwa itu adalah visi misi sekolah. selanjutnya membuat program yang mendorong guru untuk mengubah di metode pembelajaran, dan btu itu penguatan dtik yaitu berkaitan dengan visi unggul, digital, dan cerdas.
Kemudian datang Bapak Husni Kepala Sekolah yang lain. Saya tidak tahu apakah penjelasan saya itu menghalangi pertemuannya dengan Ibu Titin atau tidak.
Penjelasan saya sampaikan kepada para wakil kepala sekolah dan juga Ibu Neneng Titin yang sesekali menerima telepon dan yang lain-lainnya karena mungkin pohon kepala sekolah tidak bisa sesantai para wakil kepala sekolah.
Yang ada dalam rapat kecil itu bapak Irwan, Bapak rubah, bapak Amin, dan ibu eRNA. Atau Ibu Erni. Saya lupa nama benernya siapa.
Dari pertemuan ini dihasilkan program permisi pencapaian visi misi melalui tiga pintu tadi kemudian saya sampaikan bahwa nanti timeline lainnya itu berakhir di bulan November dan di bulan Desember sudah dilakukan penilaian kinerja kepala sekolah. Filenya kemudian saya berikan ke Ibu Titin. Semoga saja file ini tidak menyebar, karena tidak cocok untuk diberikan ke sekolah lain dengan keunikan dan persoalan yang harus dibenahi di sekolah itu berbeda-beda, dengan kondisi dan tuntutan juga yang berbeda-beda titik sehingga tidak bisa diberikan ke sekolah-sekolah lain. Semoga.

Thursday, March 6, 2025

Maaf, Tidak Semua Orang Punya Ibu, Ms


Sebagai seorang guru muda, yang baru saja pindah ngajar dari SMP dan mendapat tugas mengajar ke SMA, saya merasa sangat tertantang untuk memberikan yang terbaik bagi murid-murid saya. Diam-diam saya ingin membuktikan bahwa guru dapat mengajar di jenjang manapun dan tidak akan jadi guru yang ditinggalkan siswa apabila dia terus belajar dan memperbaiki cara mengajarnya. Dengan keyakinan seperti itu, penuh percaya diri, saya jejakkan kaki bersepatu baru potongan 50% yang dibeli di Ramayana ke halaman sekolah. Hari ini terasa hangat dan penuh aura positif. Ayunan kaki terasa ringan. Sepatu baru diskonan ternyata dapat memengaruhi kelincahan kaki seorang guru.

Kelas yang akan saya masuki, SMA, kelas 10. Materi yang akan diberikan 'Jati diri'. Materi ajar yang menarik. Membicarakan diri sendiri, dalam bahasa Inggris, pasti seru sekali. Dalam bayangan saya tergambar jelas para siswa mengenalkan siapa mereka, mulai dari di mana mereka tinggal, dengan siapa mereka tinggal, siapa keluarganya, apa cita-citanya. Dengan senyum dikulum, saya berjalan menuju ke ruangan kelas. Materi ajar kali ini benar-benar membantu saya. Saya seolah diberi ruang untuk mengenal para siswa secara personal tanpa harus melakukan survei ataupun nanya-nanya hal pribadi yang mungkin bisa menimbulkan kecurigaan para siswa. 

Seperti biasa saya buka pertemuan dengan mengucapkan Good morning class dengan suara yang riang dan antusias. Saya selalu menanamkan pada diri saya sendiri bahwa para murid saya tidak perlu tahu keruwetan kehidupan pribadi saya. Para murid harus bertemu dengan saya sebagai guru yang selalu siap mengajar, penuh perhatian pada siswa, dan selalu masuk kelas tepat waktu. 

"Good morning, Ms and how are you?" para siswa serempak menjawab seperti sudah otomatisnya begitu. Saya kembali tersenyum. Pola pembuka pelajaran Bahasa Inggris, mungkin se-Indonesia, bagaikan sudah template, good morning-how are you- I am fine thank you-and you. 

Jam pertama, materi seru, dan sepatu baru membuat udara dalam kelas terasa segar. Wajah para siswa usia empat-lima belasan yang mulai muncul jerawat terlihat bercahaya. Di antara wajah-wajah ini, kelak, mungkin ada yang jadi guru, seperti saya, ada yang jadi perawat, ada yang jadi pedagang, ada yang jadi bupati. Mereka bisa jadi apa saja. Teringat mereka bisa jadi tokoh apapun nantinya, saya merasa terdorong untuk memberikan kontribusi kecil pada kehidupan mereka. Sumbangan kecil saya adalah mereka dapat mengenalkan dirinya sendiri dengan baik dalam Bahasa Inggris. Siswa saya yang menjadi bupati, akan lebih dipandang educated jika pada sebuah acara formal dia mengenalkan dirinya dalam bahasa Inggris dengan baik. Orang-orang akan berkomentar, "Inilah hasil pendidikan SMA, bisa mengenalkan diri dalam Bahasa Inggris. Pendidikan SMAnya Pak Bupati pasti bagus." Tentu saja masyarakat tidak akan tahu bahwa bagusnya pendidikan SMA bapak bupati itu karena seorang guru yang ngajarnya memakai sepatu diskonan.

Lamunan tidak saya biarkan menggila. Saya segera memanggil nama siswa satu per satu. Pengabsenan menjadi momen yang ditunggu para siswa. Mereka menanti kata "take off your name card". Jika saya mengatakan ini artinya saya sudah hafal kepada siswa tersebut dan kartu namanya dicopot. Teknik ini saya buat sendiri. Belajar dari pengalaman sebelumnya, saya sering lupa nama siswa, atau salah panggil nama siswa. Dengan teknik "take off your name card" ini, saya terbantu relatif lebih cepat mengahafal nama-dan-wajah siswa dan siswa bahagia karena menganggap saya telah mengenalnya.

Cara menerapkan teknik "take off your name card" itu sederhana. Saya awali dengan kesepakatan dan meminta para siswa memakai kartu nama setiap kali pelajaran saya dimulai. Saya sendiri, sebagai guru, menghafal nama tiga atau empat orang siswa per kelas untuk setiap minggunya. Pengabsenan yang pertama, saya gunakan untuk memastikan nama dan wajah sesuai, saya mengabsen sesuai urutan abjad. Pada pengabsenan selanjutnya saya akan memangil nama siswa secara acak. Setiap minggu ada siswa yang saya minta untuk mencopot kartu namanya. Para siswa yang diminta mencopot kartu nama biasanya bertepuk senang karena saya sudah kenal dia. Mengingat nama siswa perlu ada usaha. Penanggalan kartu nama memaksa saya terus mengingat nama siswa tersebut. Cara lain yang membantu saya adalah dengan meminta siswa memasang foto pada buku tugas. Pada akhir tahun ajaran, tidak semua siswa saya ingat namanya, tapi paling tidak saya telah berupaya keras untuk bisa memanggil nama pada wajah yang tepat untuk 300an siswa saya.

Usai mengecek kehadiran siswa, saya lanjutkan dengan mengenalkan siapa saya, latar belakang pendidikan, dan hal-hal lain yang menjadi jati diri saya. Para siswa ada yang terlongo-longo, mungkin tidak menyangka kalau saya, guru bahasa Inggris berasal dari Kadupandak. Maksudnya kampung gitu. Ada murid yang nyeletuk rasanya tidak mungkin orang Kadupandak, eh kampung, bisa jadi guru bahasa Inggris. Saya menanggapinya dengan cengar cengir tanpa dosa. Dalam pandangan saya, tidak ada kaitan antara kampung dilahirkan dengan kemampuan berbahasa Inggris. Kadang para siswa itu pikirannya konyol, tapi itulah yang membuat saya senang menjadi teman belajar mereka.

*Maaf,  Tidak Semua Orang Punya Ibu, Ms*
#2
Oleh Badriah

Pada materi 'jati diri' saya mengenalkan silsilah keluarga saya sebagai contoh. Saya ambil spidol warna hitam untuk menggambar pohon keluarga. Tak lama, saya ambil lagi spidol warna hijau, kemudian saya tulis nama Bapak saya. Mudah-mudahan dengan menuliskan nama Bapak saya,  para siswa sadar, bahwa gurunya itu juga manusia, dalam arti punya ayah-ibu. Kelas mendadak senyap. Jangan-jangan bahasa Inggris-Kadupandak saya tidak dipahami murid. Kekhawatiran menyelimuti pikiran saya.

Segera saya berkata dalam bahasa Inggris yang kalau diterjemahkan kurang lebih begini padanannya.

"Ini Bapak saya. Bapak saya punya istri tiga," tangan saya langsung menyambar spidol warna hitam,  kemudian membuat garis tiga. Selanjutnya, tangan saya otomatis mengambil spidol warna ungu untuk menuliskan nama perempuan sambil berkata, "Bapak saya, pria ganteng pada zamannya, makanya laku keras!"

Para siswa tertawa, mereka yakin bahwa ayah saya tidak mungkin beristri tiga. Salah satu siswa bertanya seolah ingin kepastian, "Is it true, Ms?" 

"Was it true? It's true, 100%" kata saya yang diikuti derai tawa para siswa. Suasana kelas menjadi ramai. Kondisi ini saya manfaatkan untuk mengenalkan bagaimana cara membuka jati diri ala anak SMA untuk kebutuhan bersosialisasi, melamar kerja,  mengisi formulir untuk kuliah.

Bel jam pertama berbunyi,  menyadarkan saya untuk segera melakukan asesmen formatif. Saya harus memeriksa apakah para siswa yang ramai tertawa-tawa, terkaget-kaget karena saya dari kampung dan ayahnya beristri tiga paham maksud dibalik pemodelan yang saya berikan. Saya berharap para siswa dapat mengenalkan dirinya dengan bantuan pohon keluarga.

Spidol saya simpan di atas meja. Kemudian saya berkata, "Saya akan menyetel instrumental The Last of the Mohican, awas jangan nangis ya. Saya berharap, saat lagu ini selesai,  kalian selesai membuat pohon keluarga dan penjelasan singkat mengenai korelasi orang-orang yang ada pada pohon keluarga. Gunakan spidol warna untuk menunjukkan relasi kekeluargaan."

Mengajar pada jam pertama relatif tanpa kendala. Konsentrasi para siswa masih bisa dikatakan berada di posisi 90-100%. Mendengar perintah saya, para siswa mengeluarkan buku tulisnya masing-masing dan spidol. Untuk pelajaran saya, saya bersepakat dengan para siswa untuk menggunakan spidol warna jika diperlukan. Urusan spidol ini tidak ujug-ujug. Ada sejarahnya juga. Pada awal semester saya membuat MoU dengan siswa bahwa siswa harus membawa spidol sesuai jadwal pertemuan yang disepakati. Tapi namanya juga siswa, tidak seru kalau tidak beralasan. Alasan paling klise adalah lupa. Sebagai antisipasi,  saya selalu membawa spidol yang siap dipinjamkan. Spidol yang kadang dikembalikan,  kadang tidak dikembalikan, kadang kembali lebih. 

The last of the Mohican habis. Para siswa saling menatap. Wajah bersinar yang sedikit ada jerawat itu terlihat mennguarkan bau kerut khawatir.  Khawatir namanya dipanggil dan diminta menjelaskan pohon keluarganya. 
Saya tanya, "Sudah selesai belum?"

"Sudah," lagi-lagi para siswa menjawab serempak. Rasa bahagia memenuhi setiap rongga yang ada dalam diri keguruan saya. Saya berhasil, kata saya dalam hati dengan bangga. Belum lagi saya berbicara untuk mengungkapkan rasa bangga saya, tetiba suara seorang siswa memporak-porandakannya. 

"Saya belum, Ms."
Perhatian dan mata siswa sekelas seolah diarahkan ke sumber suara. Seorang siswi, duduk di barisan pinggir kanan, sendiri, nampak sedang memegang spidol  warna ungu tapi buku tulisnya masih kosong.
Pertanyaan memenuhi pikiran saya,  apakah saya kurang jelas tadi memaparkan jati dirinya? Apakah saya terlalu cepat menjelaskannya? Apakah perintah yang diberikan tidak dipahami? 

Saya agak panik. Kelas menjadi sunyi. Kesenyapan yang membuat jeritan suara seruling pada lagu the Last of the Mohican seolah tergiang mengulang memenuhi seluruh ruang telinga saya. Kenapa dia belum selesai mengerjakan tugas yang menurut saya sendiri bisa dilakukan anak SMA kelas 10. Saya tatap siswi itu. Terlihat dia menunduk. 

"Saya akan ulang lagi lagu The Last of the Mohican, tugas yang kedua adalah membuat deskripsi pohon keluarga menggunakan 200 kata." 

Saya ambil keputusan seperti itu. Maksud saya agar para siswa yang sudah selesai membuat pohon keluarga terus menulis, dan saya punya kesempatan untuk bertanya pada siswa yang belum selesai menuliskan pohon keluarga tanpa menjadi perhatian para siswa sekelas.

Perlahan-lahan saya mendekati siswi yang seolah mematung semenjak tadi saya memandang padanya.

"Apa yang bisa Ms bantu agar kamu bisa membuat pohon keluarga?" Suara saya lembut untuk membuat siswi yang memegang erat spidol warna merah berbicara. 

"Eu ..., tidak ada." Dia menjawab hampir tidak terdengar, suaranya lebih rendah dari suara The Last of the Mohican  yang tidaklah keras. 

"Tidak ada bagaimana?" Keheranan menerjang kepanikan saya yang tadi hinggap. 

"Apa yang harus saya tulis, Ms? Saya tidak tahu lbu saya." Suaranya nyaris tidak dapat saya tangkap andaikan saya tidak duduk di sampingnya dan memusatkan perhatian pada wajahnya. 

Saya terhenyak. Tidak tahu ibu? Bagaimana ini bisa terjadi? Bukankah setiap manusia kodratnya terlahir dari seorang ibu? Siswi ini mengaku tidak tahu ibu, terus yang mengurus dia, yang membesarkan dia, yang menyekolahkan dia, siapa? Pasti ada seorang ibu dibaliknya kan? 

"Kata mamah yang mengurus dan membesarkan saya, saya bukan anaknya. Saya diberikan seorang ibu kepada bidan yang membantu lahiran saya. Saya diserahkan kepada ibu bidan sebagai pengganti ongkos bayaran melahirkan. Setelah itu, ibu saya pergi."

Suara seruling pada lagu the Last of the Mohican mendadak seperti suara sayatan perih yang melukai jiwa siapapun yang mendengarnya. Saya telah membuat luka lama yang telah kering dan tidak lagi bisa menangis berair mata, kembali menganga. Saya merasa bersalah ketika tertawa bersama seisi kelas pada saat mengatakan ayah saya ganteng dan laku keras. Mungkin siswi ini pada saat saya berkata seperti itu, dia sedang mencari-cari seperti apa wajah ayahnya. Apakah dia lelaki ganteng sehingga ibunya bersimpuh kalah dan mengizinkan rahimnya sebagai tempat buah kasih? Ataukah dia lelaki laknat yang merobek kehalusan jiwa ibunya dan menjadikkan ibunya perempuan tertega sealam raya? Lebih sedih lagi, dia meraba-raba seperti apa wajah ibunya, yang dia sendiri pun, tidak tahu namanya. 

Suara lagu the Last of the Mohican terus mengalun, kini suaranya menjadi bisikan nelangsa anak usia belasan yang harus menanggung duka sepanjang hayatnya. Kesedihan pada lagu ada titik hentinya. Apakah kesedihan tidak tahu ibu dan tidak tahu ayah ada titik hentinya? 

Saya tenggelam dalam kepedihan yang tidak dapat saya pahami sendiri. Empat-lima belas tahun siswi ini membawa diri dan meraih impiannya, dan itu tidak untuk diceritakan kepada ibunya. Kepada siapa bercerita? Kepada kekosongan dirinya? Sekosong bangku sebelahnya yang hari ini sedang dia duduki. 

"Ms turut prihatin dengan pohon keluarga yang kamu miliki. Jangan mencari pohon itu ada di mana. Kamu bisa mencintai dan bahkan menanam pohon baru dengan harapan baru. Untuk tugas, kamu gunakan pohon keluarga yang ada di buku." Suara saya dipaksa tegar dan jernih disela pertahanan rasa keibuan saya yang hampir runtuh. Genangan air mata segera saya hapus dengan terburu-buru. 

Materi ajar jati diri hari ini memberikan banyak pelajaran bagi saya. Saya terlalu melihat ke dalam diri saya sendiri yang memiliki silsilah keluarga yang jelas. Saya lupa bahwa ada orang lain yang sedang membuka-buka lembaran nasib dan buku kehidupannya untuk sekadar mengetahui nama ibunya sendiri. Saya tidak dewasa dalam menyajikan contoh. Sangat tidak tepat menjadikan kisah keluarga diri sendiri sebagai model pohon keluarga. Ke depan, saya harus menggunakan pohon keluarga yang bisa diterima semua siswa. Keluarga Tuan Krab pada film Spongebob misalnya. Tuan Krabs punya anak Pearl Krab, dan punya kekasih Nyonya Puff. Tuan Krabs punya ayah Senior Krabs, dan ibunya Betsy Krabs. 

Sebagai seorang guru muda, saya banyak belajar dari murid saya terutama. Mereka adalah guru-guru sejati yang mengajar dengan kesunyian jiwanya dan keramaian impiannya.


Pendampingan Sekolah

Diawali dengan memastikan Apakah rencana hasil kerja untuk tahun 2025 dapat di copy dari rhk tahun 2024. 
Ternyata bisa hanya tinggal mengganti data Kepala Sekolah yang sebelumnya dengan yang baru.
Tetapi muncul kendala karena data-data rapor pendidikan dari para kepala sekolah belum dikumpulkan. akhirnya saya mengirimkan WhatsApp kepada para wakil kepala sekolah satu persatu agar mereka mengirimkan data rapor pendidikannya. Padahal sudah diminta sejak 2 bulan lalu.
Selanjutnya memastikan tulisan yang dikirim oleh Rizal sebagai kumpulan tulisan dari para guru untuk pendukung kegiatan Bapak Haruman selesai. paharuman sudah menelepon berkali-kali Bahkan dia sudah mengirimkan kata sambutan untuk ibu kepala dinas, yang sebelumnya saya rencanakan akan bantu buatkan. tetapi Alhamdulillah dia menyodorkan yang sudah jadi, jadi mengurangi beban saya untuk membantunya menulis.
Tulisan guru yang menurut saya buatan eai, sudah tidak ada lagi. mungkin guru tersebut sudah mengubahnya dengan yang lain yang sesuai dengan yang dialami. tidak seperti yang dibuatkan oleh AI.
Saya beritahukan kepada Rizal bahwa naskahnya sudah bisa diberikan kepada kepala sekolah untuk kemudian diterbitkan. ketika Rijal bertanya apakah perlu ada yang diedit saya jawab tidak perlu ada editan lagi karena tugas saya adalah pemateri bukan editor titik urusan pengeditan dapat dilakukan oleh pihak penerbit.
Kadang saya harus bersepakat kepada pandangan suami saya memandang bahwa saya terlalu baik. dalam arti mengerjakan sesuatu yang seharusnya Bukan saya yang mengerjakannya, tetapi saya yang melakukannya. Dengan demikian saya kerugian waktu dan tenaga juga pikiran tetapi tidak untuk apa-apa.
Seperti kali ini di MKKS, peran saya adalah pemateri menulis, maka saya tidak harus memikirkan melakukan pengeditan atau hal-hal lain. Karena peran saya sebagai narasumber sudah selesai ketika kegiatan workshop itu selesai.
Selanjutnya saya memastikan bahwa indikator-indikator untuk akreditasi yang akan digunakan oleh ibu Liani sudah tersedia file-filenya. Saya mengerjakan file itu selama 3 hari titik diiringi dengan rasa sakit mata dan sakit kepala yang luar biasa. Mungkin karena tidak mudah untuk membuktikan data-data pendukung untuk akreditasi walaupun Ketika dilihat pada kolom-kolom itu tidaklah seperti sesuatu yang berat, hanya lembaran-lembaran saja yang diisi oleh sedikit-sedikit petunjuk.

Untuk jadwal monev, ternyata para kepala sekolah itu tidak membaca wa titik terbukti dengan dia mengirimkan dokumen kepada saya bukan ke link. Kemudian juga ada kepala sekolah yang mengatakan bahwa Wakil Kepala Sekolahnya belum tergabung di grup WhatsApp
 Para kepala sekolah swasta lagi pusing memikirkan bpmu yang katanya diubah menjadi beasiswa..

Wednesday, March 5, 2025

Pendampingan Bulan Maret 2025

Pada saat akan memulai membuat daftar hadir online menggunakan zoho form, tetiba akun yang di biasanya dipakai tidak bisa diakses. Sehingga dengan terpaksa menggunakan akun baru dan daftar lagi. Lebih celaka lagi ternyata dengan akun yang baru ternyata zohoformnya menggunakan bentuk yang terbaru juga, sehingga membingungkan ketika mau mencari Bagaimana cara memasukkan tanda tangan.

Ternyata di aplikasi yang baru, selalu perintah itu ada di sebelah kiri. Setelah dilihat dengan lebih seksama akhirnya ditemukan bagaimana untuk menginputkan tanda tangan.

Sesuai undangan, pukul 08.00 saya mulai masuk ke dalam ruangan virtual. Telah berada beberapa orang kepala sekolah yang ada di dalamnya. Tetapi kemudian saya merasa sedikit heran karena peserta yang hadir amat sangat banyak. ternyata katanya undangan itu muncul di grup wakil kepala sekolah di bidang kurikulum. Pada saya sendiri tidak mengundang mereka Tetapi entah siapa yang mengundangnya sehingga mereka hadir di kegiatan tersebut. Saya sampaikan bahwa saya tidak mengundang mereka.

Pembahasan kali ini membahas banyak hal, dimulai dari pelaksanaan Smartfren masuk pada pukul 06.30 pemeriksaan penilaian semua tipe air jenjang Dapodik jumlah peserta di, Dapodik dak, dan kemudian mengenai sptjm-nya diikuti dengan penjelasan mengenai pembelajaran coding dan pembelajaran mendalam, serta kecerdasan buatan.
Saya lihat yang hadirnya Ada 55 orang titik Tentu saja Ini aneh karena saya mengundang hanya 14 kepala sekolah kak ditambah 14 orang wakil kepala sekolah ditambah 14 orang operator berarti hanya 42 orang.