Pages

Sunday, July 30, 2017

Hari ke-11

Waktu belum menunjukkan pukul 5 ketika saya bangun pagi ini. Memulai pagi, mengikuti ritual dan jam gelombang hidup saya, pukul 6. Saya siap belajar hari ini. Pukul 6.10 saya sudah berangkat sekolah.

Pukul 6.30 saya tiba di sekolah dan menuju kelas 12 MIPA 6. Berniat akan melanjutkan literasi. Namun, niat itu hari ini tidak dapat terlaksana. Guru yang mengajar pada jam pertama telah berada di kelas, dia mendapat amanat untuk mengisi literasi dari Kepala Sekolah. Katanya guru jam pertama bertanggung jawab untuk mendampingi literasi. Saya merasa bahagia dengan kabar ini.  Artinya para siswa akan mendapatkan pengalaman berliterasi dengan langsung pengawasan guru.

Saya sangat berharap para guru jadi contoh hidup individu yang mampu menjadi bagian masyarakat penikmat membaca. Juga, saya berharap para guru-pembaca bersedia berbagi hasil bacaannya dengan siswa. Dengan demikian banyak nilai-nilai yang bisa disampaikan kepada siswa tanpa harus menunggu mengalaminya terlebih dahulu.

Pada saat guru jam pertama bersedia mengisi literasi di kelas 12 MIPA 6, saya sangat bangga karena diam-diam rekan guru yang lain juga memiliki niat mulia untuk membangun kebiasaan membaca pada kalangan siswa SMA. Bagi saya, walaupun saat ini mereka berada di kelas 12, tidak ada kata terlambat untuk memulai sesuatu yang baik.

Ketika pertama kali bertemu kelas 12 MIPA 6 mereka menjawab dengan senyum waktu ditanya 'buku (non pelajaran) apa yang sedang kamu baca saat ini.'
Senyum itu saya maknai sebagai 'kami tidak sedang membaca buku apapun, maklum kemarin libur dan hari ini baru masuk sekolah.'

Tanpa ragu saya menunjukkan buku Dan Brown 'Angels and Demons' yang sedang saya baca. Saya beri mereka bocoran isi bukunya. Mereka terlihat penasaran. Sebuah reaksi yang sangat menggembirakan. Semoga dengan diberi bocoran isi buku, mereka ingin membacanya sendiri.

Literasi diartikan membaca di lingkungan sekolah tempat saya mengajar. Mungkin ini seperti  pendefinisian yang disederhanakan. Definisi ini bagi saya untuk saat ini, tepat.  Anak-anak SMA tahun lalu mengeluhkan enggan mengikuti ujian lantaran soal diberikan dalam bentuk bacaan. Menurut mereka, soal yang disajikan dalam bacaan, sulit. Matematika, jika soalnya bacaan susah katanya. Jangan tanya teks bahasa Inggris,  teks berbahasa Indonesia saja, katanya capek baca.  Hal ini menyiratkan bahwa mereka tidak biasa membaca.
Mereka yang biasa membaca, tidak akan menemukan kesulitan ketika diberi teks  panjang, karena kecepatan membacanya sudah tinggi.  Tidak pula kesulitan memahami isi bacaan, karena kosa kata mereka juga telah sedemikian kaya. Maka, jadilah literasi adalah membaca.

Hari ini saya tidak punya jadwal mengajar,  niat ke sekolah hanya untuk bersilaturahmi  lewat bacaan dengan siswa. Namun, kelasnya telah diisi guru lain, saya masuk ruang guru dan mulai mengerjakan analisis materi ajar.

Saya mengajar dengan komposisi kelas yang luar biasa menantang. Ada 4  kelas 12 bahasa Inggris wajib, ada 1 kelas 12 peminatan,  1 kelas 11 peminatan,  1 kelas 11 bahasa inggris wajib, dan 2 kelas 10 peminatan. 
Akibat dari jadwal ini, mengajar pun, sama menantangnya.  Senin sebagai contoh, jam 1-2 kelas 12 wajib, jam 3-4-5 kelas 10 peminatan,  jam 7-8 kelas 11 wajib  jam 9-10 kelas 12 wajib.

Pekerjaan belum selesai  ketika telepon berbunyi. Saya angkat dan terdengar suara asing yang mengaku dari Direktorat Guru dan Tenaga Kependidikan meminta saya hadir pada kegiatan Penulisan Ilmiah dan Karya Ilmiah,  di Jakarta hari ini  juga.  Lanjut suara dari seberang menerangkan bahwa kegiatan sudah dimulai sejak Rabu, dan saya bisa ikut  mulai hari Kamis malam, tidak apa-apa.  Saya pikir-pikir. Sekolah baru buka,  sudah harus meninggalkan kelas. Saya merasa tidak tega meninggalkan anak-anakku yang mulai tertarik literasi.

Telepon berdering  lagi, katanya surat undangan,  SPPD, Biodata, sudah dikirim. Ditunggu.  Call ended.

Dengan raaa enggan saya meminta izin kepada Kepala Sekolah untuk mengikuti kegiatan. Beliau mengizinkan, artinya, saya tidak dapat mengajar pada hari Jumat. Izin dari KS menyebabkan saya berkoordinasi dengan rekan sesama pengajar untuk membantu mengawasi kelas saya. Saya sendiri, meninggalkan sekolah pukul 12 siang dan berangkat menuju Jakarta pukul 13.

Setiap hari, penuh  kejutan,  banyak hal di luar rencana.  Semoga apapun yang saya lakukan menjadi kebaikan dan kelak menjadi penukar segala kesulitan.

Hari ke-10

Hari ini saya masih tertahan di Jakarta untuk menyelesaikan pengurusan administrasi anak saya. Saya merasa sangat tidak tenang. Hari ini saya memiliki jadwal mengajar 2 jam di kelas 12 MIPA 6. Jadwal mengajar saya hari ini hanya 2 jam saja.

Ketidakmampuan saya hadir pada 2 tempat sekaligus membuat saya harus belajar menerapkan  pilihan  mana yang harus dilakukan berdasarkan skala prioritas. Sekaligus, memikirkan solusi agar 2 pekerjaan yang terpaut jarak 125Km dapat terlaksana tanpa ada kerugian pada salah satu pihak.

Pilihan jatuh pada saya tidak berada di kelas hari ini. Pertama, secara fisik saya masih berada di Jakarta,  perlu 6 sampai 7 jam untuk tiba di kelas. Sangat rasional untuk saya menyelesaikan segala urusan di Jakarta terlebih dahulu. Kalaupun memaksa pulang, saya tetap tidak akan bisa mengajar.

Kedua, pengurusan administrasi di Kedutaan menyangkut penyerahan tanggung jawab anak saya kepada notaris bukan hal sederhana yang bisa dilakukan pihak Kedutaan saja. Kehadiran notaris yang menjadi pelindung secara hukum untuk penyerahan tanggung jawab ini, menunjukkan keseriusan pemindahan tanggung jawab anak kepada pihak ketiga.

Ketiga, untuk mengajar saya bisa meminta bantuan guru kolega untuk menggantikan kehadiran saya. Kolega saya hari Senin dan Selasa tidak mengajar. Sangat memungkinkan baginya untuk berdiri depan kelas atas nama saya. Saya dan guru kolega telah membangun kerjasama untuk saling membantu ketika kelak salah satu dari kami tidak dapat hadir di kelas. Guru substitusi tidak diakui dalam sistem penyediaan guru di Indonesia namun saya melakukan hal itu demi tersedianya guru yang mendampingi siswa di dalam kelas. Saya mengasumsikan pemerintah tidak mengakui keberadaan guru substitusi terkait pembayaran tambahan untuk guru substitusi  dan anggapan bahwa guru tidak boleh meninggalkan kelas pada saat jam kerja.

Pikiran saya jadi berjalan kemana-mana. Kini pikiran saya masih kembali ke saat malam tadi. Setiap keluarga hadir untuk berselamat jalan kepada anaknya. Haru biru khawatir dan bangga bercampur menjadi butiran do'a. Semua karena karuniaNYA maka anak-anak kami bisa terpilih. Saya hanya mampu berbisik mengajukan permohonan pada illahi, " Tuhan selamatkan mereka dalam berangkat, selama berkegiatan negeri Tirai Besi, negara Beruang Merah, dan mereka kembali ke tanah air."

Saya dan anak saya berkesempatan bertemu di bandara dalam waktu kurang dari 4 jam. Itupun waktunya bukan sepenuhnya milik orang tua. Waktu tersebut diisi brifing, pengecekan paspor, pemasangan tanda pada koper, memastikan barang bawaan tidak lebih dari 20Kg, dan hal-hal lain yang membuat kami, sebagai orang tua yakin bahwa anak-anak kami benar-benar akan terpisah secara waktu dan jarak selama hampir 3 minggu. 

Sebelum anak saya berangkat,  anak-anak dan orang tua berkumpul untuk berdoa bersama. Sebelumya saya bertemu Bapak Vitaly, pemimpin kegiatan yang menanganidan bertanggung jawab atas anak-anak mulai dari pemilihan sampai anak-anak kembali ke tanah air. Saya juga bertemu dengan pembimbing sekaligus pendamping anak saya. Anak-anak dibagi 2 kelompok. Anak saya dibimbing Aloyna, seorang Rusia yang pekrjaan utamanya adalah guru di pusat kebudayaan dan ilmu pengetahuan Rusia di Jakarta. Kelompok lainnya didampingi Rosa.

Waktu menunjukkan pukul 22, anak saya dan rombongan masuk ke bandara untuk pengambilan tiket. Itu artinya saya tidak akan bertemu secara langsung dengan anak saya selama beberpa minggu  ke depan.  

Saya menjalani hari sebaik mungkin semampu yang dapat saya lakukan.  Saya tidak memiliki kemampuan untuk menyenangkan semua orang. Yang dapat saya lakukan adalah melakukan yang terbaik yang terjangkau secara akal, waktu  tenaga dan pikiran saat ini.

Friday, July 28, 2017

Excel, selamat menjadi warga negara internasional

Ketika mendengar kata 'perkemahan remaja' atau 'youth camp' bagi sebagian besar kita acuannya adalah kegiatan berbau kepramukaan. Sebuah kegiatan dimana anak-anak berkemping, berlatih hidup mandiri dan menghabiskan waktu dengan serangkaian kegiatan yang disediakan oleh panitia. Mereka jauh dari rumah, memasak sendiri, menyelesaikan beragam masalah yang dirancang panitia, dan menyesuaikan diri dengan situasi serta kondisi yang sama sekali berbeda dengan rumah.
Pemikiran seperti di atas tidak semuanya salah. Perkemahan remaja yang diselenggarakan di Indonesia,  salah satunya yang telah biasa sebagai penyelenggara adalah sangga kerja pramuka. Dengan sendirinya kegiatannya sesuai dengan tujuan kepramukaan.  Membangun kemandirian, menjadi individu toleran, memlineercayai kemampuan diri sendiri, dan sederetan hal positif lain yang dapat terwujud dari keikutsertaan dalam kepramukaan.
Berbeda dengan kegiatan perkemahan remaja yang disebutkan di atas, International Youth Camp yang diselenggarakan Rosatom School di Vladivostok, Rusia adalah kegiatan yang melibatkan anak-anak dan remaja (usia 10 sampai 17 tahun) untuk meningkatkan pengetahuan dan komunikasi secara profesional. Kegiatan ini dilaksanakan mulai 18 Juli sampai 8 Agustus 2017.
Indonesia menjadi salah satu negara yang mendapatkan undangan untuk mengirimkan peserta dalam kegiatan berskala internasional ini. Indonesia mengirimkan 15 orang remaja terpilih yang sebelumnya diseleksi oleh Pusat Kebudayaan dan llmu Pengetahuan Rusia di Jakarta.
Salah satu peserta kegiatan ini adalah Excel Nalendra Nugraha, siswa Kelas 7 SMPN 2 Cianjur Jawa Barat.  Keberangkatan Excel untuk ikut serta pada sub kegiatan Camp Anak Internasional Sekolah Rosatom di pusat perkumpulan anak-anak seRusia di tempat bernama "Okean".
Program International  Youth Camp memberikan kesempatan kepada Excel untuk mengikuti berbagai aktivitas menarik sekaligus menantang termasuk kuliah interaktif  misalnya Rahasia Diplomat Muda, Seni Berbicara, Pendidikan Budaya Asia, Protokol,  dan Etika Diplomatik.
Kegiatan lainnya yang memberikan kesempatan untuk merasakan bangganya sebagai bangsa Indonesia adalah "lbu Pertiwiku Sayang". Program yang memberikan kesempatan untuk anak dari seluruh dunia berbagi dan menjadi warga negara internasional diantaranya debat "Model PBB Okean, Pendidikan Ekspresi Budaya, dan Sesi Permainan."
Kegiatan ini mempertemukan Excel juga  seluruh peserta dari seluruh dunia dengan tantangan dan permainan edukatif sehingga tidak lagi perbedaan suku, agama, asal negara,  dan warna kulit menjadi penghalang. Mereka bersama-sama membangun nilai-nilai persahabatan,  sikap inklusif  (tidak bersikap pilih-pilih), tanggung jawab dan kooperatif.

Membangun persahabatan antar bangsa yang dimulai sejak kanak-kanak memungkinkan mereka memeroleh cara pandang baru mengenai pertemanan dan bagiamana caranya berteman yang sehat.  Selama berada di camp, mereka berkesempatan pula untuk dapat mempraktikan nilai-nilai dan budaya positif dimana dia dibesarkan, namun mereka belajar pula bagaimana berdampingan dengan kultur dan nilai-nilai yang dibawa anak-anak lain juga adat istiadat yang berlaku setempat.

Keikutsertaan seorang anak dari kota kecil yang dilahirkan dan dibesarkan dengan budaya lokal Cianjur dalam kegiatan berskala internasional menginspirasi kita bahwa setiap anak  dari manapun dia berasal berkesempatan yang sama untuk menjadi warga negara internasional, mendunia, dan memliki wawasan global. Semoga partisipasi Excel pada kegiatan International Youth Camp, Vladivostok, bersama Rosatom School menginspirasi anak-anak lain di Cianjur khususnya, dan anak-anak lain di manapun dia berada untuk terus melakukan yang terbaik dan tidak pernah berhenti bermimpi.

Thursday, July 27, 2017

Hari ke-9

Hari Senin ini akan dihabiskan di lbukota Indonesia,  Jakarta. Kehadiran saya di Jakarta, tidak mengubah wajah Jakarta,  atau membuat Cianjur berkurang satu penduduknya. Semuanya terdengar dan terlihat biasa. Namun jika ditelusuri,  sama sekali, tidak biasa.

Subuh buta saya dan anak saya telah membelah jalan raya menuju Bogor. Kabut dan temaram jalan yang sebagian tanpa penerangan membuat kami selalu waspada. Banyak tersiar kabar banyak kejahatan di jalan raya demi untuk mendapatkan kendaraannya, harta yang dibawanya, dan nyawa tidak dimasukkan sebagai sesuatu yang berharga. Perjalanan sunyi,  sesekali pecah ketika anak saya yang sulung mengajak berbicara. Mungkin sekedar menghilangkan kantuk, karena dia menyetir.

Hampir pukul 5 pagi kami tiba di stasiun Bogor. Kendaraan disimpan diparkiran yang disediakan pihak stasiun keret api.
Kami naik kareta api menuju Jakarta. Mulanya, kami duduk, dan bisa membayar kantuk dengan tidur tanpa mimpi.
Saya terbangun ketika insting mengatakan kereta penuh sesak. Benar, ketika membuka mata, tak ada daerah kosong, lorong penuh orang. Mungkin semua orang ini bekerja di Jakarta, pikirku.
Saya lihat ada 2 orang lbu-lbu hamil. Saya persilakan dia duduk. Anak saya melakukan hal yang sama. Kami berdua berdiri menahan diri agar bisa berdiri di belantara kaki dan tubuh yang mendorong dan menghimpit kami dari berbagai arah.

Menurut perhitungan saya, gerbong kereta telah melebihi kapasitas yang mampu ditampungnya. Sayangnya, masih saja ada orang yang memaksa masuk. Maka, makin sesaklah lorong tempat dimana saya dan anak saya berdiri. Saya koreksi, bukan berdiri. Berdiri ditandai dengan kaki tegak lurus 90°. Saya menopang badan dengan kaki miring 45° karena terdorong dari belakang.

Seorang gadis di belakang saya terlihat meringis karena badannya yang kecil terjepit dari semua arah. Tangannya menggapai-gapai mencari pegagan. Seorang lbu mengeluh, dan meminta gadis di samping saya untuk membuka jendela. Sepertinya dia merasa tidak lagi bisa bernafas karena sesak. Jendela dibuka, wush...angin polusi masuk. Kami menghirup udara kotor dengan ikhlas. Tidak ada pilihan. Kaki sakit menahan beban badan sendiri dan tubuh orang lain. Setiap kali kereta api berhenti, bertambah pula orang yang naik. Memaksa naik.

Terdengar suara pengumuman di dalam kereta api, ' Untuk keselamatan,  penumpang yang tidak dapat naik jangan memaksakan diri.'
Saya seperti sedang mengalami apa yang disebut Richard K Coleman sebagai 'paradoks tragis.'
Pengumuman bergema didalam kereta api. Penumpang yang tidak dapat naik, berada di luar kereta. Teriak-teriak himbauan untuk keselamatan tidak terdengar oleh yang seharusnya mendengarnya. Persis seperti guru yang memarahi siswa yang sering bolos kepada siswa yang hadir, sementara siswa yang bolosnya tidak mendengar luapan marah sang guru. Paradoks tragis.

Perjalanan dengan kereta api sejatinya sangat nyaman, paradoks tragisnya, perjalanan jauh dari nyaman. Lebih dekat kepada pengalaman traumatik.
Badan terjepit, kaki hampir mati rasa karena terlalu lama menahan tubuh, udara yang terasa tipis, dan tulang rusuk terasa akan patah terdorong ransel mungkin berisi setrikaan.

Untunglah setiap perjalanan memiliki akhir. Saya bernafas lega pada saat kereta mengumumkan kereta api telah tiba di akhir perjalanan. Saya meninggalkan gerbong yang menyodorkan pengalaman tragis.

Syukurlah segala haru biru gerbong kereta api, sirna ketika bertemu anak saya. Saya mencoba memahami makna gerbong dan penumpangnya yang tidak berdaya didera desakan kelebihan penumpang. Saya ibaratkan gerbong itu kelas, di dalamnya berdesak-desakan mimpi-mimpi siswa, juga mimpi gurunya. Setiap pemimpi terombang-ambing, terseok-seok, menahan beban dorongan dari mimpi orang-orang di sebelahnya. Semuanya harus sabar, harus bekerjasama sampai ujung perjalanan yang telah di tetapkan.
Tidak bisa siswa atau saya menyerah dan meminta mundur di tengah perjalanan karena merasa terlalu kesempitan dan terdesak mimpi-mimpi orang lain. Semua harus ikut aturannya, ikut takdirnya. Nanti, ada masanya semuanya berakhir dan bertemu dengan mimpinya.

Hari Ke-8

Minggu disepakati sebagai hari libur ditandai dengan warna merah pada kalender. Disikapi dengan bangun siang oleh anak-anak sekolah. Katanya balas dendam. Entah  balas dendam untuk apa. Apakah selama seminggu mereka tidak tidur atau mereka tidak bisa semena-mena tidur di pagi hari? Sehingga hari Minggu harus menjadi korban dendam.

Hari Minggu ini saya tidak memiliki rencana yang terkait langsug dengan kehadiran saya di kelas dan bertemu siswa. Dalam benak, saya berniat akan tetap mendampingi mereka dari jauh. Adanya grup pada LINE, memfasilitasi niat saya untuk melakukan hal itu.

Minggu pagi, bagi guru, mengerjakan pekerjaan rumah. Berubah peran dari Ibu Guru menjadi Ibu Rumah Tangga. Memasak, mencuci, menyapu, mengepel, membersihkan rumput dan serentetan pekerjaan domestik lainnya membuat Ibu Guru bekerja lebih keras ketika menjadi Ibu Rumah Tangga.
Sedang memasak ketika saya mendengar suara pintu depak diketuk. Saya didatangi salah seorang siswa saya lulusan empat tahun sebelumnya. Dia diwalikelasi saya ketika kelas 12. Saya memanggilnya Rara. Saya masih ingat bagaimana dia menangis ketika mendengar saya bolak balik ke rumah sakit untuk pengobatan mata. Dia sangat simpati dengan kesehatan saya. Dia dan Ibunya menyempatkan menengok ketika saya pulang dari rumah sakit. Rara, anak yang sangat manja, sehingga Ibunya menitipkan agar saya membantunya untuk bisa lebih mandiri.

Masih terbayang jelas ketika Rara berulang tahun dan masih menangis di pangkuan Mamanya untuk mengekspresikan betapa dia mencintai Mamanya. Masih jelas pula dalam ingatan saya, ketika saya sebagai wali kelasnya, dan teman-temannya mendo’akan untuk kesehatan ayah Rara, Ibunya Rara dan Rara sendiri.

Kini Rara datang meminta do’a karena akan menikah. Menikah? Secepat ini?  Rasanya baru kemarin dia duduk di kelas MIPA. Saya mendengar kabar, ketika dia berada di tahun pertama kuliahnya, ayahnya meninggal karena diabetes. Saya tahu bagaimana rasanya ditinggal ayah. Saya membayangkan bagaimana Rara yang manja, ditinggal ayahnya. Lama tidak mendengar kabar darinya. Tiba-tiba dia datang dengan calon suaminya dan meminta do’a restu. Saya tanya mengapa secepat itu menikah.

Diselingi isak tangis, Rara menyampaikan bahwa Minggu depan, belum genap 40 hari Mamanya meninggal, dia harus  segera menikah untuk memenuhi pesan terakhir Mamanya. Jawaban ini membuat saya kerongkongan saya serasa tercekat Rara, si anak manja, ditinggal ayah bundanya dalam usia sebegitu muda, dan menikah tanpa kehadiran salah satu pun dari kedua orang tuanya. Suasana pernikahan seperti apa yang akan dilaluinya? Terlalu sedih untuk membayangkan hari bahagia yang dilaksanakan dalam suasana duka.

Mama Rara, menurut penjelasan Rara, meninggal karena adalah masalah dengan usus dikarenakan mengonsumsi jamu. Jamu, perlahan namun dengan tanpa ampun, mengikis sisi dalam ususnya. Setiap kali terasa sakit di lambung, ditudingkan pada Maag. Padahal setelah diperiksa oleh dokter, dinding usus terus menerus mengelurkan asam lambung berlebihan. Seiring waktu, dinding usus menipis, luka, sehingga BAB berdarah segar. Semakin lama didnding usus yang luka tersebut bolong-bolong dan endoskopi satu-satunya jalan untuk pengobatan. Namun jalan itupun bukan arah menuju kesembuhan. Luka usus mengakibatkan tidak terjadinya penyerapan makanan, dan itu masalah besar.

Saya mendengarkan penjelasan Rara,  seolah saya sedang dibawa kembali ke tahun 2008 sampai 2010. Kisah penyakit Mamanya persis yang dialami Ibuku. Beliau meninggal karena radang usus yang parah. Sama, pemicunya karena mengonsumsi jamu godogan. Saya berusaha tidak menangis ketika Rara bercerita bagaimana kekejaman radang usus merenggut nyawa Mamanya. Namun bayangan Ibuku, bayangan deritanya semasa hidup, terasa amat dekat, amat nyeri, saya pun menangis. Dan Rara pun, menangis. Calon suami Rara berjuang untuk tidak menangis, tapi tidak berhasil. Kami diselimuti kedukaan yang kami sendiri yang tahu kedalaman, dan keperihannya.

Setelah saya kembali mendapatkan kekuatan untuk bicara, saya mendo’akan Rara untuk kebahagiaan rumah tangganya. Serasa ada yang kosong ketika membayangkan siapa yang akan berdiri di samping mempelai wanita dan saya salami nanti. Saya baru memahami, mengapa Rara begitu manja, begitu tergantung pada Mamanya. Rara hanya memiliki waktu yang sangat singkat untuk bisa bercengkrama dengannya. Saya bersyukur memiliki waktu yang lebih panjang ketimbang Rara untuk bisa bersama Ibuku. Walaupun kondisi kami sekarang sama, tak berayah Ibu, saya merasa lebih baik dalam arti ayah ibuku sempat menyaksikan saya menikah dan ayah menjadi walinya. Kalau Rara? Kembali bayangan kesedihan hadir.

Hari Minggu merangkak menuju senja ketika saya menerima kabar bahwa anak saya, yang berusia 12 tahun, sudah mendapatkan tiket untuk ke Rusia dan berangkat pada hari Senin pukul 23.45. sudah seminggu anak saya berada di kedutaan Rusia untuk mengkuti persiapan keberangkatan ke Vladivostok sebgai peserta International Youth Camp dari Rosatom School. Rasanya sangat janggal jika anak kecil berangkat jauh untuk pertama kalinya tidak bertemu Ibunya terlebih dahulu. Saya memutuskan untuk berangkat ke Jakarta dan menemui anak saya dalam sehari terakhirnya sebelum berangkat ke Rusia.


Saya mengabarkan melalui Grup LINE kepada siswa bahwa hari Senin saya tidak dapat mengajar karena akan mendampingi keberangkatan anak saya. Mereka secara spontan mengutarakan keinginannya agar saya bisa masuk kelas. Namun kemudian mereka mengoreksi keinginannya dengan mengucapkan selamat kepada anak saya dan memahami ketidakhadiran saya di kelas. Hari Minggu ini, sama durasinya dengan Minggu-minggu yang lain yang telah saya lalui. Namun, secara makna minggu ini sangatlah berbeda. Saya berterimakasih kepada Tuhan atas kemurahanNYA memberikan saya hari Minggu yang selalu istimewa. 

Tuesday, July 25, 2017

Teu Uyahan

Kecap 'uyah' boga tempat sorangan dina basa Sunda. Contona baé 'Ieu aing uyah kidul' keur nyindiran ka jalma anu adigung.  Ngarasa leuwih punjul tibatan nu lian ku ningali asal muasal daérahna. Anu kadua, ' Uyah mah tara téés ka luhur.'  Hartina kapinteran atawa kaparigelan hiji jalma, nyakitu deui goréngna, turunna tara ti sasaha, nya ti indung-bapana.

Loba pisan paribasa anu make kecap uyah keur nunjukeun pentingna uyah dina kahirupan urang Sunda.  Dina  dahareun, masakan dianggap ngeunah cukup ku ukuran 'puguh karasa uyah gulana.' Ku penting-pentingna uyah,  aya istilah jalma 'teu uyahan.'

Nu kumaha jalma teu uyahan teh? Kurang leuwih jalma nu kurang rasa lamun dina asakan mah. Contona siga nu karandapan ku kuring poé Ahad isuk-isuk kamari. Basa keur anteng ngulub hui ungu, bari ngagodogkeun opor hayam, oge bari nyeuseuh. (Tong reuwas, naha bisa multitasking ceuk budak ayeuna mah. Pan opor kari ngulubkeun, nyeuseuhan kari ngasupkeun kana mesin).
Panto dapur ngahaja dipolongokeun, maksud téh ngarah bau opor teu ngulikbek di jero imah.

Pikiran keur ngulayaban nyipta-nyipta engké jeung barudak balakécrakan sasarap méméh iinditan. Kadéngé aya nu uluk salam. Kuring nyampeurkeun panto anu geus ngageblak muka. Katingali aya awéwé kolot make baju basajan. Geus teg wé, pasti rék nginjeum duit. Lain sakali dua kali manéhna datang kalayan tujuan nu sarua, mun teu nginjeum duit, ménta lungsuran, ménta payung, jeung réa-réa deui sapangabutuhna baé meureun.

Kuring teu geuwat nitah asup, keur kagok ceuk pikiran téh. Mun manéhna nyémah, kabancén masak, bébérés imah kaganggu, moé baju kudu ditunda heula, padahal kuring sakulawarga rék iinditan. Boga waktu sajam dua jam geus diitung nepika menit-menitna ceuk nu bohong téa mah.

'Punten ah ngiring calik,' pokna ngagebah lamunan kuring. Bulubus manéhna asup, ngaliwatan irung kuring nu ti tatadi nangtung hareupeun panto.
Gék manéhna diuk kalayan teu nungguan dimanggakeun heula. Kuring ukur bisa olohok, jalma téh aya ku murugul, ceuk haté.

Kuring kapaksa diuk maturan 'sémah' anu geus miheulaan diuk. Papasakan mah, cul baé.
Pok manéhna muka carita, 'Kamana Adén Guru, Néng?'
Karék gé engab rék némbalan, manéhna geus pok deui ngomong.

'Aduh Ènéng, katampi kasaéan Enéng sareng Adén didieu. Payung dianggo kamana-mana, atuh panci, katél, ogé kasur, sadayana mangpaat.

Kuring cicing baé. Dina haté geus norowéco, pasti kadituna ménta béas. Kuring ngagebés haté sorangan anu geus miheulaan su'udon.

'Néng, di doakeun ku Ema sing geura naék haji. Atuda Enéng mah kieu,' pokna bari ngacungken jémpolna.

'Enéng mah kaum gajih. Manasina Ema, boga anak pulung hiji, di Saudi, tacan mulang. Atuh alo, dua, anak pun adi, sami ngapung ka Abu Dabi. Tacan marulang. Ema téh tos hutang kaditu kadieu, éta nu ditandonkeun teh pami marulang, dibayar.'

Kuring teu kaburu némbalan, manehna geus pok deui ngomong bari ngusapan dada.
'Ema téh hayang manggihan indung,  ngan taya ieuna,' pokna bari nyieun kode ku ramo-ramo  leungeunna anu hartina duit.
'Bade nambut baé, engké dimana nu ti Saudi mulang,  dibayar. Atanapi bilih badé sidakoh, siap nampi. Enéng mah tos sohor bageurna, hanjakal baé tacan haji.'

Deg kana haté asa tugenah.  Teu nungguan manéhna ngabalakbak, kuring ngomong rada nyereng, 'alhamdulilah, haji mah tos 4 kali.' Pok teh bakat ku seueul, pèdah teu haji siga jadi hahalang pikeun nyieun kahadéan.

Manéhna langsung nyuuh, siga nu nyembah. Bari nyuuh kadéngé ngomong,  'aduh, Néng Haji, keur geulis tos haji. Alhamdulillah. Kamana Adén?'

'Teu aya, nuju di Lampung, ramana ngantunkeun. Abdi ge nembe dongkap tadi subuh, langsung nyeuseuh sababaraha jeurangan.' Jawab kuring.

'Innalillahi, sing ditampi iman islamna, Néng.' Cenah, duka enya milu prihatin, duka lip service ceuk istilah budak ngora mah.

Kuring nantung, kaambeu bau opor minuhan irung, sieun saat  tutung, atawa kulub hui oge saat, tangtuna tutung oge, mubadir moal kadahar kabeh.

Manehna kadéngé ngomong deui leuwih tarik sorana batan tadi.
'Kéla Néng,  kumaha ieu, badé nambut saongkoseun we, 50 rébu. Sauiheun, keun we tiditu mah, sugan aya nu haat masihan kango uihna deui kadieu mah.'

Kuring tuluy baé nangtung. Ingét aya duit dina tas, sésa ongkos, 15 rébu. Ngan sakitu-kituna, tadina mah keur meuli Molto. Kuring rugup ragap kana tas, goréhél duit téh kapanggih.  Énya baé ngan 15 rébu. Song dibikeun ka manéhna.

Duit buru-buru dirawu. Diitung, pokna, ' Néng tambihan we 20 rébu deui supados cekap saongkoseun.'

Kuring samar polah. Rék ambek, lain carékeun jalma kieu mah, rék teu ambek, asa nangtang émosi ti tadi kénéh.  Haté awor jeung hariwang, sieun papasakan tutung.

Ahirna kuring nyarita bari rada serak bakat ku soak nyanghareupan sémah.
'Hampura wé  Ma, abdi karak kapapaténan, pikiran keur kaweur mikiran biaya tahlilan, jaba acan ngajahul, duit mah éta ngan boga sakitu,  kop wé méré,  lilahi ta'ala.'

Manehna katingali bungah, pok nyarita, 'aduh Néng haji, pantes tos 4 kali hajianna oge, sidakohna katampi, ku Ema jadi andelan pisan pamasihan ti dieu téh.'

Manehna terus nangtung, duit ditilep-tilep dikeupeul dina leungeun kéncana. Terus manehna langsung amitan.

Kuring teu kaburu nembalan, manéhna kaburu indit, ngaliwatan panto anu ti tadi  mémang ngeblak muka. Kuring buru-buru neang kukuluban. Alhamdulillah, najan geus saat teuing, tapi kapuluk kénéh. Terus baé diangkat. Brak dahar. Si Cikal pok ngomén, 'Mah, naha asa aya nu kurang nya opor téh.'
Kuring ngagebeg,  ras inget, tadi papasakan teh teu acan diuyahan, kabéngbat ku aya sémah.

'Bener-bener teu uyahan ieu mah,' ceuk kuring bari murulukkeun  uyah kana opor.

Sunday, July 23, 2017

Tips menulis, menyimpan dan mengedit tanpa pakai laptop

Teknologi memudahkan melakukan banyak hal, salah satunya adalah menyimpan dan mengambil data. Selama ini, saya sangat bergantung kepada laptop untuk menyimpan data dan memanggilnya kembali. Anggapan ini tentu merepotkan dan tidak mengandung nilai kepraktisan. Pada saat akan melanjutkan menulis tesis, atau pekerjaan lainnya yang berbasis laptop, kadang terkendala karena laptop tidak berada dekat dari jangkauan. Hal ini tidak lagi akan terjadi. Google menyediakan tempat untuk menyimpan, mengedit, dan mengunduh semua file yang disimpan di sana. Namanya Google Drive.

Google drive adalah penyimpanan yang sama dengan save pada laptop. Penyimpanan dapat dibuatkan folder baru atau langsung file. Untuk memasuki Google Drive, buka email yang beralamat @gmail.com Klik Google apps, nanti muncul pilihan My account, Search, Maps, YouTube, Calendar, Drive (ada 11 pilihan apps). Klik Drive. Nanti muncul tulisan Google Drive, Search Drive, My Drive, Shared with me, trash dan lain-lain.

Untuk mengunggah file, klik my drive, pilih apakah akan mengunggah folder, file, atau membuat folder baru. Jika hendak mengunggah folder, klik folder tunggu, nanti setelah selesai akan muncul notifikasi folder selesai diunggah. Klik recent, nanti akan muncul folder yang tadi diunggah. Jika akan menguggah file, klik my drive, pilih file. Setelah ada notifikasi selesai diunggah, klik recent. File akan muncul pada recent. Jika file tersebut akan dipindahkan, klik kanan pada nama file, pilih move to. Pindahkan ke folder yang diinginkan. Jika hendak dipindahkan ke folder baru, buat dulu folder baru.
Semua file dan folder yang diunggah pada google drive dapat diakses dimana saja dan tidak harus dari laptop. Misalnya, ketika hendak melanjutkan menulis sebuah artikel, tinggal buka google drive, dan pilih file yang hendak dilanjutkan menulisnya, klik open with, pilih google doc. Setelah diklik google doc, tunggu sebentar, file words (docx) bisa diedit seperti biasa kita menulis pada program microsoft words. Seluruh rangkaian kegiatan tadi dapat dilakukan pada hape android.

Google drive juga menyediakan aplikasi lain yang sama dengan Microsoft. Ada Google sheets untu Excel, ada Google slide untuk Power point.


Google menawarkan kemudahan. Selamat mencoba. 

Menunggu

Hal paling membosankan sedunia dan seCianjur adalah menunggu. Hampir semua orang sepakat dan mengiyakan bahwa menunggu merupakan kegiatan yang membosankan.

Seseorang yang sedang menanti pertemuan dengan orang yang diharapkannya bertemu, sebentar-sebentar melihat jam tangan. Memeriksa waktu, waktu terasa sangat lambat. Lebih lambat dari yang seharusnya. Segera setelah waktu  diketahui, jelas menunjukkan pukul berapa, dia menghela nafas, berat, seolah waktu menghimpit dadanya dan mengakibatkannya susah mengizinkan udara untuk masuk dan keluar saluran pernafasannya.

Urusan menunggu, yang paling kuat, mungkin lbu-lbu.
Ibu-lbu sabar menanti giliran pada saat akan membayar belanjaan di mall.
Ibu-lbu juga tidak mengeluh saat menanti kelahiran anaknya, dia menghitung sejak diketahui dirinya positif hamil.

Bi Janah juga lbu-lbu. Tak heran dia melakukan hal yang sama dengan lbu-lbu lainnya, yakni menunggu.

Sejak selesai menghidangkan makan pagi, Bi Janah meminta izin kepada Pak Guru bahwa dia punya janji bertemu dengan saudaranya yang tinggal di Cipanas dan MENUNGGU di depan kantor pos.

Saya tidak terlalu memperhatikan keberangkatan Bi Janah. Bagi saya, hal biasa seseorang membuat janji bertemu dan menunggu.
Tapi kepulangan Bi Janah jadi menarik perhatian saya, juga seisi rumah.
Bi Janah pulang bersungut-sungut, wajahnya memerah seperti menahan marah yang telah lama menyesakkan dadanya.

Kami khawatir, Bi Janah, bagi kami, dia orang penting. Dia, orang yang kami andalkan dalam urusan menyiapkan makan, merapikan rumah dan mengurusi hal-hal domestik lainnya.
Melihatnya bermuram durja, kami sangat prihatin.

"Kenapa Bi, katanya janjian di depan kantor pos. Kok pulang, mana? Tanya Pak Guru.

Bi Janah berusaha mengeluarkan kata-kata yang terasa mencekat lehernya karena kecewa telah menunggu lama tapi orang yang ditunggu tidak datang.

"Ga nyangka ya Pak, saudara sendiri bisa menyakiti Bibi. Janji bertemu di kantor pos, ditunggu. Kaki pegal, leher terasa sakit karena tengok kiri kanan, eh... 4 jam, bayangannya saja tidak kelihatan." Bi Janah menumpahkan kekesalan.

"Janjian nunggunya dimana?" Kata Si Bungsu

"Di kantor pos." Jawab Bi Janah pendek

"Ditelepon ga Bi, sebelah mana kantor posnya?" Tanya Si Sulung.

"Bibi lupa tidak bawa hape."

"Sini Bi, nomornya berapa, aku teleponin ya." Kata Si Bungsu.
Saya tidak ikut menawarkan solusi hanya menyimak bagaimana anak-anakku membantu Bi Janah menyelesaikan masalahnya. Tak lama terdengar suara Si Bungsu bersahutan dengan "saudara" Bi Janah lewat loud speaker hape.

"Ya, Bi Janahnya salah sendiri, tidak datang ke kantor pos, saya menunggu sampai pukul 12." Suara dari seberang menyalahkan.

Si Bungsu sigap menjawab, "  Bi Janah berangkat sejak pagi, nunggu sampai bada dhuhur di kantor pos, sesuai pesanan."

Senyap.
Si Bungsu memecah kesenyapan dengan bertanya, "lbu, menunggunya di kantor pos mana?"

"Di kantor pos CIPANAS, depan mesjid dekat Brimob, kan gampang ketemu di sana mah."

Tiba-tiba Bi Janah berkata, "Bibi nunggu di kantor pos, dekat mesjid, depan Brimob."

"Kantor pos mana Bi?" Tanya kami.

"Kantor pos CIANJUR."

Catatan kaki kiri:.
Jarak Cipanas Cianjur: 25km.

Catatan kaki kanan:
Bi Janah disajikan dalam Bahasa Indonesia untuk kepentingan pembaca. Terasa berbeda, namun mudah-mudahan tokoh Bi Janah bisa go nasional.

Hari Ke-7

Genap sudah, jatuh pada hari ini saya seminggu menjadi wali kelas 12 MIPA 6. Saya dapat mengatakan bahwa niat untuk mengajak peserta didik menjadi orang berbeda (to be different), tersampaikan dan tindakan untuk menjadi orang berbeda sedang dalam proses.
Sesungguhnya hari ini libur secara akademik. Sekolah berakhir pada hari Jumat. Namun sebagai wali kelas, saya tetap melakukan komunikasi dengan siswa bimbingan saya. Nama Ikrar melintas dalam benak. Apakah dia baik-baik saja? Hari Jum’at saya tidak bertemu dengannya. Melalui sms saya berkomunikasi dan kemudian saya merasa lega, dia mengabarkan bahwa dia dalam keadaan segar bugar.

Wadah komunikasi yang disepakati kelas adalah LINE. Bergabung dengan dunia LINE yang didalamnya dihuni orang hebat yang berada di kelas 12 MIPA 6, menarik. Mereka anak-anak yang peduli dan tanggap terhadap kejadian di sekitarnya. Ini pertanda baik. Selama ini ada kekhawatiran yang berlebihan bahwa anak-anak zaman sekarang kurang peduli dengan apa yang terjadi dengan lingkungannya. Hal ini tidak bisa digeneralisir (baca: disamaratakan). Para siswa, pada LINE, mereka sedang membicarakan tentang kebakaran yang asapnya terlihat membumbung tinggi. Salah seorang siswa yang tinggalnya agak jauh dari TKP namun melihat kepulan asapnya melaporkan hal tersebut. Teman-temannya merespon kejadian dengan harapan dan do’a semoga tidak ada korban dan apinya tidak merembet ke gedung lainnya.

Percakapan mereka tentang kebakaran, mengundang perhatian saya. Alex Spiegel (2011) mengatakan bahwa anggapan dan ekspektasi (harapan) guru mempengaruhi bagaimana siswanya bertindak dan bertingkah laku. Saya beranggapan semua siswa saya baik, bertanggung jawab dan peduli.  Kepercayaan itu membuat saya berbicara dan bersikap dengan cara yang berbeda. Efeknya, mereka menunjukkan sikap seperti yang saya asumsikan. Melalui LINE saya mencoba mengenal dan memahami keunikan mereka masing-masing. Saya yakin bahwa mereka bersikap mengikuti bagaimana saya bersikap terhadap mereka.

Saya juga menemukan bahwa siswa saya adalah anak-anak yang antusias untuk mengenal hal baru. Seorang siswa mengunggah tawaran seminar di IPB pada hari Sabtu. Mulanya mereka merasa ragu dan khawatir jika nanti pada saat seminar diberi pertanyaan atau mungkin ada tes. Saya tersenyum ketika membaca kekhawatiran mereka. Jelas terlihat bahwa mereka belum memiliki pengalaman mengikuti kegiatan seminar, lokakarya, simposium atau kegiatan pertemuan yang membahas satu topik yang disajikan oleh dosen (penyaji). Saya membantu menenangkan dengan menuliskan bahwa pada seminar, peserta biasanya datang, duduk, menyimak, dan mendapatkan sertifikat.

Dalam hati saya menambahkan, ‘Tentu saja peserta seminar yang baik bukan sekadar datang dan duduk. Dia harus berinteraksi dengan penyaji agar muncul pemikiran-pemikiran dan gagasan-gagasan baru yang menawarkan solusi atau alternatif bagi masalah yang sedang dijadikan isu.’ Saya tidak terlalu memikirkan apakah siswa saya paham hal ini atau tidak. Saya tawarkan bahwa jika memerlukan izin dan surat resmi untuk mengikuti seminar, saya bisa membantu. Dengan memberikan surat izin, saya memberikan kesempatan kepada mereka untuk membuka kesempatan dan peluang baru, menemukan teman baru, dan melihat bagaimana remaja lain seusianya bertindak. Saya berharap dengan mengikuti seminar mereka lebih kaya secara pengalaman, lebih luas secara wawasan, dan lebih terdidik secara intelektual. Sering melihat dunia luar sangat penting untuk anak-anak yang sebentar lagi akan melanjutkan hidup di dunia perkuliahan.

Hal lain yang menyenangkan saya adalah mereka berusaha menggunakan Bahasa Inggris untuk bercakap pada LINE. Fenomena ini saya apresiasi tinggi-tinggi. Saya melihat bahwa mereka berusaha menunjukkan yang terbaik yang mereka mampu. Sebuah usaha yang luar biasa. Saya yakin, jika mereka terus menerus berusaha menggunakan Bahasa Inggris dalam percakapan di LINE, perlahan namun pasti, kemampuan Bahasa Inggris mereka akan meningkat.

Yang membahagiakan adalah mereka satu persatu mulai berbagi link blog. Artinya mereka sudah mulai menulis untuk ‘Seri 365.’ Saya merasa trenyuh ketika ada seorang siswa yang mengaku bahwa dirinya tidak bisa membuat blog, namun dia bekerja keras untuk dapat membuatnya sendiri. Saya sangat terkejut, siswa yang mengaku tidak bisa membuat blog tadi kurang lebih dalam 3 jam telah berbagi link blog. Saya harus mengakui temuan Tom Stafford (2011) pada bukunya Teaching Visual Literacy yang menyebutkan bahwa Generasi Z yang besar pada tahun 2000an mereka adalah warga negara digital (digital native). Mereka memiliki kemampuan sosial, teknologi, dan teknologi yang berbeda dengan saya, yang lahir jauh sebelum jaman milenial.

Satu persatu link blog bermunculan di LINE. Saya menikmati sajian tulisan yang dibuat oleh siswa saya dengan ucap syukur. Mereka benar-benar sedang berada pada alur untuk menjadi orang yang berbeda. Wujud syukur saya, saya komunikasikan kepada siswa saya dengan mengunggah komentar pada setiap tulisan yang mereka unggah.  

Menjadi wali kelas memang anugerah besar yang luar biasa. Saya telah menemukan banyak hal dan pelajaran dari pertemuan selama satu minggu dengan siswa-siswa saya. 

Saturday, July 22, 2017

Hari ke-6

Hari hadir dengan atribut harinya sendiri. Kabupaten Cianjur dengan program pemerintah bertajuk “Gerbang Marhamah” atau gerakan masyarakat berakhlakul karimah ditandai dengan berkumandangnya alunan-alunan ayat-ayat Al-Quran yang dari mesjid-mesjid kecil yang ada di RT-RT. Suaranya saling bersahutan seolah saling menyapa dalam bahasa ilahiyah. Saya mendengar keindahan naik turunnya suara dan bergantinya jenis suara dari setiap mesjid. Gerbang marhamah terasa kental di mesjid-mesjid dengan berlomba-lombanya anggota DKM menyetel rekaman pembacaan ayat-ayat Al-Quran.

Pagi beranjak sesuai fitrahnya. Setiap detik berlalu. Saya segera meninggalkan rumah untuk kembali memulai memenuhi tanggung jawab sebgai seorang guru.  Jalanan pada pukul 6.15 sama sesaknya dengan hari-hari sebelumnya. Sambil menikmati perjalanan, saya bersiap menempatkan diri jadi wali kelas. Menjadi ornag tua kedua, begitu kata orang.

Ketika saya masuk ruang guru, terdengar para guru saling mengingatkan agar para wali kelas memasuki ruang kelas yang diwalikelasinya untuk memberikan pembinaan wali kelas. Mereka saling baku-tanya harus memberikan apa. Saya tidak berkata apa-apa, langsung mengambil absen dan menuju kelas 12 MIPA 6.  Telah jelas apa yang akan saya lakukan hari ini untuk kelas 12 MIPA 6, melanjutkan membaca Pembawa Mayat dan membuat struktur organigram Kelas.

Para siswa telah menunggu, pada pertemuan ke-2 mereka hadir tepat waktu. Bagi saya, itu suatu perubahan yang drastis. Pada hari ke-1, hampir satu pertiga datang terlambat. Hari ini, mereka berusaha hadir tepat waktu. Bagi saya, seorang wali kelas, kehadiran mereka yang tepat waktu adalah sebuah kebahagiaan besar.

Saya melanjutkan paragraf ke-3 dari cerita pendek  Pembawa Mayat. Pada teksnya disebutkan bahwa si tokoh utama memandang do’a sama gaibnya dengan kematian. Dia memandang bahwa setelah kematian, ada kehidupan yang sama seperti yang sekarang sedang ia jalani. Dia sangat takut, di kehidupan nanti istrinya menikah dengan orang lain, dan barulah dia menangis.

Paragraf ini saya gunakan untuk menyadarkan para siswa terhadap pentingnya do’a. saya mulai dengan membeberkan kenapa do’a sama gaibnya dengan kematian. Do’a dan kematian keduanya tidak pernah dapat dijelaskan, misteri. Kematian, walaupun semua yang hidup mengalaminya namun tidak pernah ada kabar bagaimana mati itu menurut si pelaku.

Do’a, semua orang melakukannya, agama apapun. Namun, sekalipun semua memohonkannya, tidak pernah tahu, kapan do’a itu dikabulkan dan tidak pernah tahu bagaimana do’a itu tiba-tiba saja baru disadari bahwa telah terkabul.

Do’a dan kematian menjadi misteri besar bagi manusia, namun tidak bagi Tuhan. Seorang hamba misalnya berkata do’aku lama tak terkabul. Demikian juga kematian, ada seorang tua dan penyakitan berkata, aku menunggu kematian, lama sekali kutunggu, dia tak kunjung datang. Seorang lainnya berujar, kematian itu datang terlalu cepat, dia masih SMA, anak soleh, pintar, hanya anak satu-satunya, sayang dia meninggal.

Contoh tadi menyiratkan bahwa manusia membuat ukuran. Akibat dari pembuatan ukuran tadi  maka segala sesuatu menjadi berbeda. Padahal bagi Tuhan, tidaklah demikian. Saya uraikan begini. Manusia melihat segala sesuatu menjadi rumit karena ukuran yang dia buat sendiri. mari kita lihat diri kita. Kalau Donal Trump, Agnes Monica, kita, dan siapapun yang ada di muka bumi ini dilepaskan dagingnya. Maka kita akan sadar, bahwa kita sadar bahwa kita sama, hanya tulang belulang putih dan struktur yang sama. Yang membedakan kita kulit. Manusia kemudian membuat ukuran, si ini kulitnya berwarna ini, si itu berwarna itu, si fulan warnanya anu. Lahirlah perlakukan dan stereotip yang berbeda-beda karena ukuran warna kulit. Padahal Tuhan tidak membedakan manusia karena warna kulitnya, semuanya diterima sama, mereka semuanya khalifah di muka bumi.

Bagimana dengan do’a. bagi Tuhan, manusia semuanya sama. Pembedanya hanyalah keimanan. Do’a, saya tegaskan kepada para siswa yang semuanya diam, adalah pengakuan kita atas tidak berdaya tidak berkuasanya, dan bertapa kecilnya kita.  Boleh saja sesekali kamu bisa berkata, ‘Kamu harus tahu, aku ini …’ Tapi sadarkah bahwa ke-aku-an yang sedang kamu katakan adalah perwakilan dari murkamu, egomu, dan sesungguhnya muncul dari ketidakberdayannmu. Marah, merujuk diri sebagai sentral (aku ini …) menunjukkan bahwa kamu bukan siapa-siapa. Kamu melabeli diri kamu dengan ‘aku ini’ artinya kamu ingin diakui sebagai seseorang. Dengan kata lain bukan siapa-siapa, tidak punya apa-apa, sehingga orang lain harus diberitahu kamu itu siapa, kamu tidak punya kuasa.

Kelas masih hening, saya lanjutkan. Ketidakberdayaan  menjadi fitrah kita. Membuat kita kuat adalah tugas kita, caranya, berdo’a. Do’a adalah penghambaan kita kepada Tuhan dengan cara yang elegan. Mengakui betapa kita tidak berdaya-upaya, namun memiliki banyak keinginan. Do’a juga merupakan cara kita berkomunikasi dengan Tuhan. Segala kesusahan, keperihan, kekecewaan, atau sebaliknya, segala suka, bahagia semuanya dikabarkan kepada Tuhan.

Para siswa terlihat seperti sedang berusaha mencerna apa yang saya sampaikan. Saya persilakan mereka untuk bertanya, namun tidak ada yang membuka mulut. Waktu 30 menit untuk bersama kelas ini, hampir habis. Saya teringat akan mencontohkan bagaimana menggunakan fasilitas blogger untuk menulis setiap hari agar di akhir tahun menjadi buku.

Saya jelaskan bahwa untuk menulis seri 365, tidak harus pada buku. Namun pada Android dengan menggunakan fasulitas Blogger yang bisa diunduh dari Play Store. Caranya dengan membuat akun beralamat @gmail.com. para siswa berkata bahwa mereka telah memiliki akun. Saya katakan bahwa itu bagus, tinggal lanjutkan situs blogger dengan menggunakan alamat tersebut, agar mudah lakukan di laptop. Jangan lupa gunakan nama asli, hal ini untuk memudahkan saya ketika berkunjung ke lamannya. Setelah membuat blog selesai, silakan unduh blogger di android. Nanti kalau mau menulis, langsung pada blogger android. Bisa dalam keadaan offline, dalam keadaan demikian kita menulis sesuai yang diinginkan. Setelah dirasa cukup, silakan unggah. Kelebihan blogger pada android adalah bisa menulis kapan saja tanpa harus terkoneksi dengan internet.

Saya menawarkan, boleh juga menulis pada Google doc. Setelah selesai menulis, silakan share linknya agar saya bisa membacanya. Para siswa terlihat lebih paham untuk urusan ini. saya berharap mereka mulai menulis, tidak sekadar mengiyakan.

Saya hendak meninggalkan kelas ketika Fauzi melaporkan bahwa struktur kelas belum jadi. Kemarin saya sudah meminta Fauzi untuk merancang struktur kelas dan Gian bisa membantu rancangan jadinya pada Corel draw untuk kemudian dicetak jadi banner. Ternyata struktur belum terwujud. Saya menghentikan niat meninggalkan kelas. Saya meminta Fauzi agar memimpin membuat struktur kelas. Saya melongok ke luar kelas. Terlihat kelas 10  masih rapi berbaris di lapangan menyimak apel bersama satu-satunya DanDim perempuan yang ada di Indonesia (katanya begitu). Saya merasa tenang, artinya pelajaran belum dimulai. Saya lanjautkan menemani Fauzi merancang struktur kelas. Tidak lama, selesai.


Hari ini, saya meninggalkan kelas 12 MIPA 6 dengan doa semoga mereka menghambakan dirinya dengan banyak berkomunikasi kepada Tuhan melalui do’a. 

Thursday, July 20, 2017

Hari Ke-5

Hujan semalam menyejukkan kota kecilku. Pohon-pohon Kupa Landak di sekitar rumah terlihat lebih segar, warna hijaunya memantul ditimpa cahaya mentari pagi. Saya menikmati perjalanan menuju sekolah pada pukul 6.15. Berbagai macam kendaraan seolah berlomba menuju tempat tujuan. Knalpotnya menderu menyapu hening segar pagi mengantarkan mimpi-mimpi yang bertebaran di setiap kepala orang-orang yang sedang diantarkannya.

Saya menikmati pemandangan pagi dengan takjub. Kehidupan begitu cepat dimulai. Pukul 6.15 hiruk pikuk kota kecil telah mulai. Anak-anak berbaju seragam SMA telah berebut memasuki gerbang sekolah dimana saya mengajar.

Pukul 6.40 saya masuk kelas yang saya walikelasi, 12 IPA 6. Dengan membawa teks berjudul ‘Pembawa Mayat’ sebuah karya besar anak bangsa yang menjuarai menulis cerpen yang diadakan oleh Harian Republika. Karya ini dibawa ke kelas karena selain isinya yang bernas, juga pesan moral yang diimplisitkan si penulis sangat halus namun mengena.

Kelas dimulai pukul 6.45 dengan membaca Asmaul Husna bersama. Sebelumnya saya telah membagikan cerpen berjudul Pembawa Mayat yang saya print tadi malam. Siswa terlihat terkejut karena saya datang tepat waktu. Sebelas orang siswa belum hadir. Saya seolah tidak mengindahkan ketidakhadiran siswa yang belum hadir di kelas. Saya memimpin Asmaul Husna dan membaca doa pagi.

Saya lihat ada satu orang siswi yang non muslim. Saya merasa senang sekali. Kelas ini mewakili sedikit kehidupan nyata masyarakat secara sosial, yakni heterogenitas suku dan agama. Saya anjurkan agar dia berdoa sesuai keyakinannya. Sampai hari ini, saya belum tahu siapa namanya.

Satu persatu siswa berdatangan. Terakhir yang datang pada pukul 7.00. Kelas dihadiri 34 siswa. Orang tua Ica (nama samaran) mengabari bahwa putrinya sakit lewat sms.  Satu lagi Ori (nama samaran) juga tidak hadir karena sakit.

Pukul 7, kegiatan literasi dimulai. Setelah yakin semua siswa memegang teks cerita pendek Pembawa Mayat, saya membacakan paragraf pertama dalam bahasa Inggris, sementara para siswa memegang teks dalam Bahasa Indonesia.  Tujuan dari pembacaan dalam bahasa Inggris, agar siswa mendapatkan kosa kata baru Bahasa Inggris secara tidak langsung. Harapan jauhnya, mereka bisa melihat bagaima mereka sebetulnya dapat memahami apa yang saya ucapkan, walaupun dalam bahasa Inggris, karena ada sandingan terjemahnya dalam bahasa Indonesia yang mereka pegang. Berpikir dalam dua bahasa sekaligus, terdengar seperti praktek berpikir kritis. 

Saya mulai menggali makna paragraf ke-1. Bagaimana kematian bisa ditolak seorang suami ketika istrinya meninggal sejak dua hari lalu. Bagaimana seorang suami tidak menerima istrinya dikuburkan, karena kematian bukanlah hal istimewa baginya.

Para siswa seperti sedikit tersihir bahwa ada hubungan yang amat dekat antara cinta dan kematian. Cinta tidak terhalangi kematian. Cinta tetap hidup walaupun raganya tidak lagi ber-ruh. Bagi lelaki, tokoh pada cerita pendek ini, kematian tidak memerlukan doa. Menurutnya, doa tidak mengubah apapun.

Cara pikir seperti ini perlu dijelaskan kepada siswa. Mereka harus melek (literat) bahwa kematian tidak bisa dipandang sebagai hal biasa. Saya katakan, segala sesuatu yang hanya terjadi satu kali dalam kehidupan manusia, seharusnya istimewa. Contoh, kelahiran, hanya terjadi satu kali. Maka setiap kelahiran disambut dengan gembira karena telah hadir insan baru yang akan menyemarakan kehidupan sebuah keluarga. Kematian, juga istimewa, karena hanya terjadi satu kali. Tidak bisa seseorang sangat posesif dan egois menolak kematian dan menerimanya sebagai hal biasa. Bagimana si penulis berpikir berlawanan arah dan menitipkannya pada tokoh utama pada cerita, sangat luar biasa.

Hanya dua paragraf yang bisa digali makna tersiratnya, waktu menunjukkan pukul 7.15. Masa literasi, habis. Para siswa seolah masih betah dengan membedah cerita. Saya katakan bahwa besok hari, bisa dilanjutkan lagi.


Saya mengajak para siswa untuk mulai menuliskan pengalaman mereka selama di kelas 12 IPA 6. Saya anjurkan untuk menuliskannya di blog. Sebagian besar siswa terlihat berbinar ketika saya menantang torehkan namamu pada karyamu. Buku Seri 365 (bersama Ms. B) akan menjadi karya pertamamu yang membedakanmu dari siswa-siswa lainnya di sekolah ini, juga di sekolah lainnya. 

Hari ke-4

Kamis, 20.07.2017 (lagi-lagi angka yang bagus).  
Saya dapat menemui kelas 12 IPA 6. Mereka berada di kelas bangunan atas, paling ujung kiri jika saya menghadap ke arah Timur. Pada saat menuju kelas, saya berpapasan dengan siswa yang tahun sebelumnya saya ajar di kelas 11, saya ditanyai apakah benar saya mewalikelasi 12 IPA 6. Pertanyaan ini mendatangkan rasa bangga bagi saya sebagai seorang guru. Saya memaknainya mereka ingin diwalikelasi saya. Terbukti dengan pertanyaan yang diajukannya , ‘bolehkah saya meminta bertukar wali kelas dan meminta Ms jadi wali kelas saya?’ Saya menjawab dengan senyum, saya jelaskan meminta itu hak, namun persoalan dikabulkannya tidak berada pada tangan saya. Kekecewaan nyata terlihat dari wajahnya. Semoga siswa ini mendapatkan wali kelas sesuai harapannya, walaupun bukan saya.
Kelas 12 IPA 6 rupanya telah menunggu kehadiran saya. Mereka diam ketika saya masuk kelas. Sunyi.
Kesunyian kelas yang dihuni 30an siswa bisa saja terasa menakutkan bagi setiap guru, termasuk saya. Bisakah kesunyian ini akibat dari ketidaksiapan mereka bertemu wali kelas? Mungkinkah mereka merasa takut ketika menyadari bahwa wali kelasnya bukan guru yang diharapkannya?
Pertanyaan itu tidak lama bertahta di pikiran saya. Saya segera mengucapkan salam segera setelah menyimpan tas. Saya mengambil gawai yang didalamnya sudah saya tulis plan (rencana) untuk kelas 12 IPA 6. Pada 5 menit pertama, warga 12 IPA 6 masih terlihat canggung. Saya mencoba mengubah suasana dengan menyampaikan misi saya untuk mengajak mereka menjadi orang berbeda (to be different).
Saya jelaskan bahwa di dunia ini agar kehadiran kita diakui orang lain dapat dilakukan dengan 3 cara. Pertama menjadi orang nomor satu, namun itu tidak mudah diraih karena harus menyingkirkan banyak orang. Kedua, menjadi orang terhebat, namun ini pun tidak sederhana mencapainya karena banyak orang yang lebih hebat dari kita. Terakhir, ketiga, menjadi orang berbeda. Untuk menjadi orang berbeda dapat diraih siapapun.
Sebagai contoh, untuk menjadi orang berbeda, mudah sekali. Dia tidak membuang sampah sembarangan. Sampah sendiri diurus sendiri. saya tunjukkan bagaimana mengurusi sampah sendiri dengan menggunakan kantong yang dibawa dari rumah, dilipat sedemikian rupa dan kemudian setelah penuh dibuang ke tempatnya. Saya mengajak siswa 12 IPA 6 menjadi orang berbeda dengan membawa kantong sampah sendiri dan berhenti membuang sampah sembarangan. Mereka terlihat siap menjadi orang berbeda.

Saya lanjutkan, untuk menjadi orang berbeda, tidak berat.  Dia mengisi waktu luangnya dengan membaca. Saya iming-imingi bahwa dengan membaca seseorang akan menjadi orang berbeda. Saya contohkan bahwa saya sedang membaca buku Angels and Demons karya Dan Brown. Saya uraikan secara singkat bagaimana teori logika melawan teori Tuhan. Bagaimana sains menciptakan sesuatu dari sesuatu, dan bagaimna Tuhan menciptakan sesuatu dari tidak ada. Mereka terlihat tertarik. Sayangnya ketika mereka ditanya mereka sedang membaca buku apa sekarang. Jawabannya adalah senyum. Senyum orang Indonesia bisa bermakna banyak. Senyum yang saya lihat bisa saja bermakna mereka tidak sedang membaca buku apapun.

Senyum ini memprihatinkan saya. Di belahan dunia sana, saya baca di Flibroard, anak-anak SMA selama libur musim panas mereka diwajibkan membaca sederetan buku yang ditetapkan sekolah. Di Indonesia, termasuk 12 IPA 6, mereka berlibur dan benar-benar libur. Tidak ada kegiatan apapun yang berbau mendapatkan pelajaran, termasuk membaca.

Saya ingin mereka berkata bahwa mereka sedang membaca buku A, atau buku B ketika ditanya. Saya putuskan untuk membuat perpustakaan kelas. Caranya dengan meminta setiap siswa meminjamkan buku-buku non pelajaran yang mereka miliki di rumah. Kelas menyediakan lemari atau rak untuk menampung buku-buku tersebut. Termasuk saya akan meminjamkan buku-buku saya untuk mereka nikmati kehebatan isinya.
Sambil berkelakar saya katakan bahwa orang gila bisa menulis buku, dia benar-benar gila. Mereka tertawa. Saya jelaskan bahwa ada orang gila menulis buku berjudul ‘Tenggelam dalam lautan jiwa.’ Tulisannya berisi penjelasan bagaiamana dirinya sebagai orang gila memandang sekelilingnya. Dia menuliskan tahun berlompat ke tahun lampau seperti tahun 1200an, bertemu Raja dan berbincang dengannya. Dia juga mengatakan bahwa dirinya tahu dan sadar ketika disebut orang gila.
Ajakan ini mendapat sambutan baik. Siswa 12 IPA 6 sepertinya bersedia menyisihkan waktunya untuk membaca. Gejala positif ini tentu menggembirakan saya.

Saya merasa yakin bahwa orang yang banyak membaca memiliki cakrawala dan pengetahuan yang lebih luas. Saya berharap dengan disediakan buku di dalam kelas, siswa kelas 12 IPA 6, mereka perlahan-lahan mulai menerima bahwa membaca tidak sulit. Buku mudah dijangkau. Untuk memastikan mereka membaca, saya katakan bahwa saya akan hadir ke kelas setiap hari mulai pukul 6.45 sampai 7.15. Mereka agak terkejut. Saya pun terkejut.  

Menghindari terlalu lama terkejut, saya melanjutkan percakapan dengan mengajak mereka untuk mulai memikirkan pembuatan struktur kelas, melengkapi peralatan kebersihan kelas, jadwal piket kelas, dan rencana membawa bekal. Tidak dipungkiri menghabiskan waktu dari pukul 6.45 sampai pukul 16.00 di sekolah memerlukan persediaan makan yang cukup. Jajan saja, tidak memenuhi kebutuhan asupan makanan anak-anak yang aktivitasnya begitu tinggi.

Salah seorang siswa mengatakan bahwa dia diberi uang jajan perhari Rp. 10.000. dia menyisihkan Rp. 5.000 untuk membeli bensin. Sisanya untuk jajan, kebutuhan makan dia penuhi dengan membawa bekal. Dia calon orang hebat. Pertama, dia memakan makanan yang sehat dari rumah. kedua, dia pandai mengatur keuangan. Terinspirasi dari calon orang hebat ini, saya ajukan agar siswa lain membawa bekal dari rumah.

Hal lain yang saya anjurkan kepada siswa adalah untuk memiliki buku yang khusus mencatat kegiatannya selama kelas 12 bersama saya. Saya ajak agar mereka menghasilkan satu buku pada saat lulus nanti. Berkaitan dengan itu, saya menawarkan agar membuat nama kelas yang menunjukkan cita-cita, ide, dan harapan kelas. Jika perlu membuat logo. Mereka antusias menyambut tawaran tadi. Mereka menunjuk bahwa ada siswa yang menguasai Corel Draw yang memungkinkan struktur kelas dan logo kelas dibuat dengan artistik.

Anjuran lainnya adalah membuat grup kelas. Mereka memilih LINE (walaupun ada yang meminta WA) karena sebagian besar menggunakannya. Saya di-invite dan join sekitar pukul 15.00. Ajeng  bersedia menjadi admin LINE untuk kelancaran komunikasi kelas.

Hampir 1 jam saya berada di kelas 12 IPA 6. Pertemuan ditutup dengan meminta siswa untuk mendonasikan sebagian uang jajannya (Rp. 2.000) untuk melengkapi peralatan kelas yang masih kurang.  

Saya merasa bahagia karena dapat mulai mengajak menjadi orang berbeda kepada 36 orang remaja. Mereka akan menjadi orang-orang hebat karena sejak SMA mereka telah jadi orang berbeda. Perbedaan mereka telah dimulai. Pada LINE mereka membicarakan bagaimana bentuk rak untuk menyimpan buku perpustakaan kelas. Bagi saya, itu permulaan yang baik.


Besok, saya akan hadir pada pukul 6.45. Akan saya lihat berapa orang dari mereka yang tepat waktu. Saya telah menyiapkan bacaan ‘Pembawa Mayat’ untuk dibedah dan menjadi kajian bersama. 

Hari Ke-3

Kesakralan dan keistimewaan angka 17.7.17 mulai terasa. Pada hari ke-3 tahun ajaran ini saya mendapatkan surat keputsan (SK) dari Kepala Sekolah sebagai Wali Kelas. Bagi saya tentu saja menjadi wali kelas merupakan sesuatu yang istimewa karena tidak setiap tahun saya berkesempatan menerima tanggung jawab ini. Barangkali, bagi mereka yang telah lama dan terbiasa menjadi wali kelas, ketika namanya tertera pada SK bisa saja mengeluarkan keluhan. Keluhan atas ketidaksenangan menerima kelas yang dalam tanda petik perlu perhatian khusus, atau telah merasa terlalu bosan menjadi wali kelas.

Selama ini, hampir tidak ada guru yang ketika menerima SK sebagai wali kelas menyambutnya dengan sukacita karena kelak dia memiliki kesempatan untuk berbagi ide, berbagi harapan, dan berbagi nilai-nilai kehidupan. Bagi yang telah terbiasa menjadi menjadi wali kelas, peran ini seolah rutinitas yang menjadi bagian dari statusnya sebagai guru.

Selama ini, tidak juga pernah terdengar ada wali kelas yang dengan bangga mengatakan bahwa dirinya menerima anugerah besar, yakni menjadi wali kelas. Kemudian pengalamannya menjadi wali kelas dijadikan bahan tulisan untuk kemudian disebarkan kepada dunia luar dalam bentuk buku. Buku yang nantinya dapat menjadi catatan otentik bagi para orang tua yang anaknya diwalikelasi. Mereka dapat mengetahui apa saja yang dilakukan ‘orang tua kedua di sekolah’ kepada anak-anak mereka. Buku tulisan wali kelas menjadi media yang menjelaskan bagaimana kontribusi orang tua kedua ini bagi kesuksesan anak-anaknya.

Saya mendapatkan tugas sebagai wali kelas 12 IPA 6. Saya merasakan adanya tantangan, selama ini saya tidak pernah bertemu dengan siswa kelas 11 IPA 6. Seperti apa mereka? Apakah mereka juga berpikiran yang sama, ‘seperti apa wali kelasku?’ Ketikdak-kenalan antara saya dengan 12 IPA 6 menarik untuk ditelusuri. Saya yakin, banyak yang dapat dipelajari dari setiap individu anggota kelas 12 IPA 6. Namun pertanyaan selanjutnya, ‘apakah mereka akan mendapatkan banyak pelajaran dari saya?’

Saya ingin mengetahui kehadiran saya bermanfaat ataukah mudharat pada diri mereka secara perorangan. Terbersit niat. Saya akan mengajak mereka untuk menuliskan apa perasaan, pandangan, pikiran, dan hal-hal lainnya selama mereka diwalikelasi saya.  Buku ini menggambarkan dari sisi guru, dan buku mereka menggambarkan dari sisi mereka sebagai siswa. Saya membayangkan akhir tahun, saya dan siswa-siswa saya bertukar buku dengan nama kami masing-masing di sampulnya.
Saya tidak sabar menunggu esok, ingin bertemu siswa 12 IPA 6 yang akan menjadi guru kehidupan yang akan mendewasakan ke-guru-an saya.

Hari Ke-2

Kabar di Group WA bahwa hari ke-2 para guru dan siswa kelas 11 dan 12 diperkenankan menikmati kemerdekaan di sekolah. Saya merasa senang diberi kemerdekaan. Sama halnya dengan manusia lainnya, guru adalah manusia yang bahagia jika diberi keleluasaan untuk menikmati harinya tanpa jadwal. Dia dapat membuat jadwal sendiri yang menurutnya harus dilakukan. Saya pun demikian.
Hari ke-2 diisi dengan mengurusi anak saya sendiri yang mendapatkan kesempatan menjadi peserta International Youth Camp di Rosatom School, Rusia. Saya memulai hari dari pukul 6.15 dengan berangkat ke Rumah Sakit untuk mendapatkan antrian sebagai seorang Ibu yang membutuhkan bantuan dibuatkan Surat Keterangan Sehat dari Dokter untuk anaknya. Pegawai RS mengatakan bahwa Dokter mungkin akan hadir pukul 8. Saya membayangkan menunggu 2 jam.

Keberuntungan sedang berpihak pada saya, pukul 7 Dokter telah tiba. Beliau bersedia mengisi format yang disediakan dari pusat kebudayaan Rusia. Pertemuan dengan Dokter berakhir setelah beliau membubuhkan tanda tangan dan cap.

Saya segera menuju SMP dimana anak saya sedang mengikuti masa orientasi. Pihak sekolah menyambut kehadiran saya sebagai orang tua dengan ramah. Kepala Sekolah berterimakasih atas keikutsertaan anak saya pada kegiatan internasional dengan membawa nama SMP yang dipimpinnya.
Petualangan hari ke-2 belum selesai, saya mencari tempat dimana saya bisa mencetak foto untuk persyaratan membuat visa anak saya. Pukul 9, beberapa toko belum mulai aktivitasnya. Lagi-lagi, keberuntungan bersama saya, di studio dekat Pegadaian, telah buka. Maka selesailah persyaratan untuk anak saya dibuat. pada pukul 10 semua dokumen tersebut diantar ke Pusat Kebudayaan Rusia, Jakarta oleh anak saya yang pertama.

Setelah semua persyaratan berada pada posisi sedang diantarkan, saya ke sekolah. Dalam benak saya, belum ada kegiatan yang terjadwal, jadi saya harus kembali membuat jadwal sendiri.
Jadwal yang saya buat adalah melanjutkan analisis silabus, membaca buku, menulis untuk blog, melanjutkan cerita dengan tokoh Sunda ‘Bi Janah’, dan mengingatkan anggota komunitas PKB untuk mulai melakukan analisis silabus.


Sekolah bagi saya merupakan tempat belajar. Kapan pun saya berada di sekolah,  saya harus mendapatkan pelajaran. Seorang guru, sama dengan orang-orang lainnya di luar sana, memiliki tanggung jawab untuk belajar sepanjang hayat. Jika saya ditemukan selalu seperti sibuk membaca, menulis, dan mengajar, maka saya sedang belajar. 

Hari Ke-1

Tahun Ajaran 2017/2018 jatuh pada Senin, 17 Juli 2017. Angka yang bagus untuk dicatat ’17.7.17’. Keistimewaan  banyaknya angka 7 seolah menunjukkan luar biasanya tahun ini untuk saya, seorang guru SMA dari kota kecil yang mungkin nama kotanya tidak dikenal oleh orang Vladivostok. Bicara angka 7, tahun ini bersamaan dengan dipopulerkannya 7 Pilar Budaya Kota Cianjur, yaitu: Ngaos, Mamaos, Maenpo, Tatanen, Someah, Tangginas, dan gotong royong. bersamaan pula dengan kegiatan hajatan besar Bupati Cianjur yang bertajuk 70.000 detik memperingati hari lahir Cianjur. Cari ada kejadian apa pada tanggal 17 juli.

Hari pertama sekolah, baik bagi guru ataupun bagi siswa, sama-sama mendebarkan. Bagi guru (seperti saya), harap-harap cemas semoga tahun ini menjadi tahun yang tercatat dalam sejarah. Tertulis dalam ingatan siswa-siswa saya bahwa mereka pernah bertemu seorang guru yang memberikan sumbangan pemikiran kepada mereka untuk menjadi orang yang berbeda. Dengan menjadi orang berbeda semoga menjadi orang terbaik, dan pada akhirnya menjadi orang nomor satu (to be different, to be the best, and to be number 1).

Bagi siswa, dalam bayangan saya, mereka memikirkan akan seperti apa mereka menghabiskan masa 365 hari di akhir tahun ke-SMA-annya. Sebagian mereka mungkin ada yang merasa takut jika tahun terakhirnya berakhir kurang menyenangkan karena mendapatkan perlakuan yang kurang menyenangkan dari teman, guru, atau pihak lain yang tidak diduganya. Sebagian lainnya, bisa saja merasa tertekan karena terus menerus memikirkan dirinya mau jadi apa, kuliah dimana, apakah orang tuanya sanggup membiayai kuliahnya, dan pikiran-pikiran lain yang khas hanya dimiliki anak-anak SMA kelas 12. Atau, tanpa sepengetahuan saya, ada sedikit siswa yang memikirkan siapa yang akan menjadi wali kelas terakhirnya di masa SMA.

Hari pertama, seperti tulisannya yang sakral 17.7.17, dimulai dengan upacara. Upacara pada hari istimewa, tentu peserta upacaranya istimewa. Ada sekelompok besar anggota barisan upacara yang masih berbaju SMP dikawal siswa yang berwajah serius. Dua kelompok besar lainnya berseragam SMA. Mereka yang berbaris paling kanan, terlihat lebih percaya diri. Mereka adalah kelas 12. Kakak tertua, mereka adalah siswa yang mendapatkan peluang untuk meraih cita-cita masuk ke Perguruan Tinggi impian lebih cepat ketimbang kelas 11 atau kelas 10. Mereka orang-orang hebat yang akan menjadi pemain utama di negeri ini pada 5 atau 7 tahun ke depan setelah mereka berbaris pada upacara ini.

Setelah 7 tahun dari sekarang, mereka yang berbaris pada kelompok kanan, telah lulus S2, saya akan trenyuh bahkan bisa saja berurai air mata ketika mereka menyempatkan menyaksikan upacara bendera dan status mereka adalah Master, orang ahli, orang yang keilmuannya diakui secara akademik dan profesional. Mereka akan bicara didepan adik-adiknya mengabarkan kegembiraan selama di SMA. Yang lebih membahagiakan, mereka mengabarkan bahwa mereka menuai keberhasilan karena memiliki guru-guru di SMA yang membuatnya jadi orang berbeda.

Usai upacara, para siswa terpisah. Kelas 10 yang masih dalam masa orientasi, kembali dibimbing oleh kakak-kakak kelasnya yang berwajah serius tadi ke kelas. Sementara kelas 11 dan 12, untuk sementara mereka menikmati kemerdekaan berada di sekolah tanpa jadwal pelajaran. Mereka menghabiskan hari dengan berbincang, sebagian lagi kembali mencicipi makanan kantin, ada pula yang hanya berjalan hilir mudik memperhatikan keadaan.

Di sisi lain, para guru kembali ke ruang guru. Sebagian guru mendapatkan tugas untuk membantu siswa baru mengenal lingkungan sekolah. Sebagian lagi, belum mendapatkan tugas. Saya, termasuk guru yang tidak mendapatkan tugas.

Hari yang panjang di sekolah seiring dilaksanakannya 5 hari di sekolah, tidak mungkin diisi dengan hanya mengobrol dan melakukan hal-hal yang tidak jelas. Saya mulai bekerja. Saya mulai menganalisis silabus untuk menyegarkan pikiran mengenai materi ajar apa yang akan diberikan pada tahun ini. Melakukan analisis menuntut konsentrasi tinggi. Bagaimana materi ajar diperoleh sampai bagaimana mengajarkannya, tidak mudah dirancang dan menjadi tulisan pada laptop. Pada saat yang sama, saya melayani guru-guru seKabupaten Cianjur yang mengalami masalah dengan kegiatan PKB (Pengembangan Keprofesian Berkelanjutan). Saya berperan sebagai ketua komunitas yang bertanggung jawab secara sukarela untuk membantu dan memfasilitasi setiap guru Bahasa Inggris SMA di Kabupaten Cianjur jika menghadapi masalah terkait mengajar dan hal-hal lain terkait dengan urusan mendidik.


Saya meninggalkan pekerjaan menganalisis, terlalu lama menatap layar laptop membuat mata berkunang-kunang. Akhirnya saya melanjutkan kembali membaca buku Dan Brown “Angels and Demons”. Waktu berjalan sesuai tugasnya, dia dengan tepat mengatakan jam dan menit kepada setiap warga sekolah untuk menaati angkanya. Angka yang meminta semua warga menghentikan kegiatan di sekolah dan kembali kepada dirinya, keluarganya, dan impiannya.  Hari pertama sekolah, berakhir dengan harapan semoga tahun ini menjadi tahun istimewa bagi semua warga sekolah ini. 

Projek 365 (Pengantar)

Bagaimana seorang guru berperan sebagai wali kelas selama ini belum banyak diungkapkan kepada khalayak ramai. Biasanya wali kelas dianggap sebagai bagian dari tugas guru dan tidak perlu dipertanyakan lagi, apalagi kegiatannya dicatat kemudian dijadikan sebuah buku. Sesungguhnya  memiliki tanggung jawab sebagai wali kelas bukanlah hal biasa. Mendapatkan peran ini diawali dengan diterimanya Surat Keputusan dari afiliasi dimana seorang guru bekerja. Anggapan semua guru adalah wali kelas, hal ini tidaklah benar, terutama untuk guru pengajar sekolah menengah atas. Terbatasnya jumlah kelas dibandingkan dengan jumlah guru mengakibatkan tidak semua guru berkesempatan menjadi wali kelas.

Peran wali kelas (juga) sering dianggap hal lumrah bahkan mendekati biasa-biasa saja. Hal ini tidak tepat. Para ahli dalam pengajaran menyebutkan bahwa dalam dunia pendidikan hal-hal luar biasa terjadi dari hal-hal biasa yang dilihat secara tidak biasa. Buku yang anda pegang ini pun merupakan catatan kejadian biasa sehari-hari wali kelas. Yang menjadi tidak biasa adalah salah satunya karena dicatat dan menjadi artefak yang dapat dipelajari oleh pihak pendidik atau pun pihak luar yang merasa peduli terhadap pendidikan.  Ketidakbiasaan lainnya adalah menyajikan bagaimana peran seorang wali kelas selain mengajar, juga dalam membimbing, membina, mendidik, membantu, mengarahkan, menolong, menghormati dan memanusiakan siswa pada kelas binaannya.

Buku ini memberikan gambaran bagaimana seorang wali kelas banyak belajar dari siswa yang dibinanya. Bagaimana secara pedagogis dan profesional dirinya menjadi lebih baik, dalam arti meningkat secara pemahaman dan praktik karena ada kontak langsung dengan siswa yang langsung menjadi tanggungjawabnya diluar sekadar memberinya pelajaran. Bagaimana secara sosial berkembang setelah bersama-sama berbagi hari, berbagi persoalan, dan berbagi tanggung jawab dengan siswanya.


Selain itu, buku ini juga membantu mereka yang tidak bergelut langsung pada pengajaran di kelas mengetahui apa saja yang dilakukan seorang guru dari aspek perannya sebagai wali kelas. Tentu tulisan ini tidak mewakili peran guru secara holistik. Penitikberatan pada wali kelas menunjukkan bahwa guru memiliki multiperan ketika berada di sekolah dan di kelas. Peran lain guru yang paling dikenal diantaranya sebagai pendidik, pengajar dan orang tua siswa di sekolah. Bagaimana peran ini dilakukan bisa dibaca pada seri 365 yang menyertai buku ini yakni 365 hari menjadi guru pada tahun ajaran 2017/2018; dan 365 hari menjadi pengampu mata pelajaran bahasa Inggris, dan 365 hari bersama Ms. B. Khusus untuk yang terakhir, terdapat 36 buku yang ditulis oleh 36 siswa yang diwalikelasi yang menyampaikan pengalamannya selama bersama Ms. B.  

Tuesday, July 18, 2017

Karak nyalse

'Rumah tangga nu bagja,  dimana-mana sarua, tapi rumah tangga nu teu bagja, beda dina masalahna, kusutna, amburadulna, jeung rocétna,' kurang leuwih kitu pamanggih Leo Tolstoy ngeunaan rumah tangga. Contona dina rumah tangga Anna Karerina anu ceuk batur mah mulus banglus, lubak libuk  sagala aya, dina jero-jeroanna mah aya bae ciderana jeung kuciwana nu ngakibatkeun milih nemahan pati. Audzubilah min dalik.

Rumah tangga Bi Janah,  ti luar mah katingal taya kasusah. Anak hiji, lalaki geus kawin boga anak hiji keur meujeuhna lucu. Anakna gawe di pabrik, lumayan we cukup keur manehna mah. Cicing saimah jeung Bi Janah. Atuh salaki Bi Janah, soleh, jalma basajan, gawe kula kuli, tapi cukup keur hirup hurip mah. Atuh Bi Janah, leutik-leutik ge pan gawe bunta bantu di Pa Guru.

Bi Janah tara kadéngé humandeuar komo ngangluh mah. Dina waktu isuk-isuk, sabada beres di imahna, langsung bae pak pik pek di bumi Pa Guru. Geus apal kana pagawean.
Kulantaran imah Bi Janah aya di pengkereun bumi Pa Guru, ukur kahalangan dua suhunan, atuh salse pisan Bi Janah bisa bulak balik, ngatur dua imah sakaligus. Eh.. dua imah tapi tilu kuren, pan anakna anu ngahiji diimahna pan geus rarabi.

Dina waktu beurang nepika sore, kadang-kadang mah nepika peuting,  Bi Janah istuning katingal janglar jeung berag bae. Matak mawa tingtrim ka Pa Guru jeung Ibu anu sapopoe tara aya di imah. Atuh ka si Cikal jeung si Bungsu oge mawa tenang lantaran pasakan Bi Janah cocog pisan jeung letah barudak.

Tapi dina isuk-isuk ieu. Bi Janah datangna elat. Tara ti sasari pisan. Matak hemeng. Kamari mah katingalna biasa-biasa bae.
Jaba rek indit gawé, aya rapat dinas tahun ajaran anyar tabuh 8, jaba motor banna kudu ditambah angin heula. Kamana Bi Janah tacan katingali tarang-tarangna acan.

Meh ampir tabuh 7 karak Bi Janah ngurunyung. Beungeutna teu berag, biwirna nyungcung siga aseupan.
Diantep we basa manehna ngagoloyoh ka dapur. Teu ditanya, waktuna samporet, bisi kabeurangan rapat.

Karak ge ngaluarkeun motor, kadenge Bi Janah ngagukguk ceurik. Hate ngagebeg, na aya naon. Boa-boa gering tapi maksakeun gawé.
Barudak, si lbu, oge kuring nyampeurkeun kanu sumegruk sisi basin paranti ngumbahan piring.

Si Cikal nanya, 'Kunaon Bi nangis? Hapunten pami kamari  mapah ngahindar pulisi tidur matak keuheul ka Bibi.'

Bi Janah cengkat, manehna ngajawab, Bibi nangis pedah keuheul, ngewa, jeung kesel ka nu di imah. Kabeh matak pusing."

Kuring ngahuleng.
"Maksudna naon Bi?' Ceuk kuring.

"Bibi teh keuheul ka Bapana barudak, ambek, hayang nyarekan laklak dasar ti minggu kamari. Naha manehna bet wawanianan milu arisan paket lebaran, sapoe 5 rebu. Padahal si Sujang, pan keur ngiridit motor, sabulan Bibi kabagean kudu mayar 700 rebu," Bi Janah nerangkeun bari sisimekeun.

"Atuh bayar we Bi, dicicil, teu kudu dipake ceurik sagala.' Kuring ngalelemu.

"Bapa,  abdi ambek ti minggu kamari, keuheul ti mangkukna, hoyong budal ceurik bakating ku kesel. Tapi teu kabujeng bae. Ayeuna nembe nyalse, hapunteun, nya abdi ceurikna ayeuna."

Monday, July 17, 2017

Ditilang

Sok melang lamun si Cikal momotoran. Sanajan ukur di tengah kota, tetep we sok palaur bisi kuma onam.  Lamun dina waktuna kudu mulang, tacan jebul bae nepi ka imah, hate teh sok marojengja, bisi kitu, paur kieu. Sok sieun ujug-ujug aya telepon ti Rumah Sakit atawa beja lianna nu matak murag jajantung.

Jaba ti kitu, pan kabejakeun ayeuna keur meuweuh razia Zebra serentak. Hartina utak eutik tilang.
Dina WA murudul silih bejaan, jadwal razia nu kaitung taya lolongkrang pikeun teu katangkep lamun ngalanggar aturan lalu lintas.
Isuk-isuk, razia teh ti tabuh  10 nepika jam 12. Sore, tabuh 3 nepika tabuh 5. Peuting, ti jam 10 nepika jam 12. Teu kaliwat, subuh oge aya ti mimiti tabuh 3 subuh nepika tabuh 5.
Ari si Cikal pan tacan boga SIM.

Saperti sore ieu, Bi Janah menta dianteur ka Pasar. Tapi hayang ka pasar handapeun Ramayana cenah. Pajar teh ngarah teu rarujit, teu barecek. Pan pasar Induk mah matak kapok datang. Nya hareurin, nya kalotor, nya jauh mela melu, eta deui bauna, matak ruy rey. Jeungna deui, Bi Janah boga alesan, lamun beres ti pasar, bisa laha loho heula ka Ramayana.  Pokna teh neangan nu euweuh. 

Ampir Isya, nu ti pasar tacan jol. Hate ratug. Bisi budak teh ditilang. Pan ti Ramayana mah kapegung kabeh jalan teh. Liwat jalan handap, pulisi siaga di pengkolan deukeut susukan Cianjur. Jalan tengah kota, lebah hareupeun SMP 4 pulisi rajeg. Jalan luhur, deukeut pertigaan Harimart, pulisi geus pasti siap.

Tamba bingung teu puguh, budak twh ditelepon. Aipek jawabna teh,  'telepon di  luar jangkauan.' Naha make di luar jangkauan sagala, pan Ramayana mah teu leuwih ti 5 kilometer ti imah teh. Pikiran geus ngaprak ka jauhna. Boa budak teh keur diinterogasi, Bi Janah pastina ukur bisa rambisak.

Teu lila tutas nelepon kadenge motor ngagerung asup ka buruan imah. Buru-buru dipapag ku pananya.
'Kamana heula atuh meni matak melang.'
Bi Janah jrut turun tina sadel motor, terus ngajawab.
'Hapunten Bapa, abdi elat. Eta da  gara-gara pulisi,' pokna bangun ngenes pisan.

'Kunaon kitu,  make nyalahkeun pulisi.'

''Abdi dipiwarang turun ku si Eneng, saurna paur aya pulisi. Abdi mapah malibir ngarah teu pendak sareng pulisi, lumayan oge tebih, dugika asa leklok tuur.'
'Terus? Geuning salamet teu ditilang?'
'Henteu, da abdi mung ngaliwatan pulisi tidur. Mun abdi teu turun, motor ngagesruk, boa moal majeng, da témbokna luhur pisan.'

Sunday, July 16, 2017

Ngajajap saha?

Bi Janah sok loba alesan mun dipentaan tulung ka pasar kana angkot.  Majar teh, atuh wios bae meser nu saayana bae, nu aya di warung. Atawa, aduh Pa Guru mah sok nyuhunkeun nu mahiwal.
Kahayangna Bi Janah mun ka pasar dianteur ku si cikal kana motor. Kahiji lamun kana motor mah teu ngetem, kadua bisa salasap selesep jadi tereh nepi kanu dituju.
Poe ieu si Cikal keur mantuan adina nyiapkeun tetek bengek keur miluan MOPD isukan ka SMP.
 
Waktu geus nunjukeun tabuh 4. Bi Janah masih keneh hulang huleng tacan indit.
'Bi tong sore teuing inditna nya ka pasar teh, balikna bisi kaburu magrib, ngke teu kabagean waktu keur salat, jadi dosa ka Bapa,' saur Pa Guru ngingetan Bi Janah.

Teu ngajawab, Bi Janah ngajewang jingjingan paranti balanja. Manehna ningali catetan, kabehanna barang-barang anu dibutuhkeun si Ade isukan MOPD.

Waktu manehna nepi ka pasar, Bi Janah langsung balanja, nuturkeun catetan. Teu tuwur tawar, teu loba tatanya, padu aya bae. Manehna buru-buru balik. Sieun Pa Guru bendu. Sieun jadi matak dosa ka Pa Guru lantaran kamalinaan di pasar nepika kamagriban.

Bari ngajinjing balanjaan Bi Janah ngeureunkeun angkot. Dilongok, kosong keneh. Tadina rek dibedokeun, rek nyebutkeun moal, ngan inget sieun kamagriban. Kapaksa manehna naek.

'Wayahna tong ngetem nya, bisi magrib manten,' ceuk Bi Janah ka supir angkot.

'Nembe ge jam 6 kirang, ah caang keneh, teu acan adzan magrib Bu. Lima menit nya Bu ngantosan heula, sugan we aya deui nu naek,' tembal supir angkot nu teu ngaraseun kumaha hariwangna Bi Janah nu sieun kamagriban di jalan. 

Di dago-dago, penumpang teh teu jebul bae. Kadenge kelewung adzan, sigana ti masjid gede deukeut Pasir Hayam. Bi Janah teu bisa kukumaha, manehna ukur bisa melong ka beulah kulon ningali panonpoe surup nu hibar koneng umyang didingding ku mega hideung saeutik. Bleg bae siga lukisan anu aya di kamar si Cikal.

Angkot ahirna ngageuleuyeung indit. Penumpangna, Bi Janah sorangan kadua balanjaan. Teu lila di lebah jambatan aya nu naek. Gek diuk dina korsi nu sarua ngan  dibeulah juru, rada anggang ti  Bi Janah. Awewe ngora keneh. Bi Janah nelek-nelek. Lain pedah wawuh, pedah teu ilahar bae. Teu di kerudung. Pan di kabupaten tempat Bi Janah cicing mah, lamun awewe bari lslam, wajib make kerudung. Gerbang marhamah, kota santri, kota lslami, kawasan berkerudung, kitu pan kasauran Bapa Bupati oge.

'Geulis budak teh,' ceuk hate Bi Janah. Memang enya geulis.  Awakna budak awewe di sampulur bari lenjang. Kulitna hejo carulang, beda jauh tina bajuna nu bodas beresih. Buukna panjang, lemes, lempay.

'Mang kersa teu ngajajap abdi ka Kebon Manggu, wios ongkosna 20 rebu, janten dianggap pinuh we,' kadenge budak teh nyarita sorana laun bangun jero.
Tacan ge supir angkot ngajawab, Bi Janah geus ngecewis dina hatena, 'nya daek atuh, puguh ti tatadi ngetem ge hayang pinuh. Aya ku resep, nya geulis, nya loba duitna,'

'Kalebet teu Neng? Tebih teu?' Supir nanya.
'Caket, lebet sakedik, pas tanjakan anu aya tangkal kopi, didinya,' jawabna tandes pisan.

Supir angkot bangun bungah, Bi Janah oge milu bungah sabab angkotna bakal mangprung teu neangan penumpang deui.
Geus deukeut ka tempat nu dituju, nu geulis ngingetan, ' di payun Mang mengkolna, lebetna tina gerbang nu melengkung.'

Seok karasa angkot teh mengkol. Bi Janah rada keuheul, lamun nganteurkeun nu geulis, bakal elat nepi ka imah.
Kaatoh teh leungit sapada harita, kabayang Pa Guru bakal nganaha-naha.
Keur mapantes kumaha engke panyeuseul Pa Guru, gejrug mobil teh siga ngaliwatan polisi tidur. Bi Janah sontak istigfar.  Nu geulis panonna rada buncelik. Bi Janah rada ngalenyap ningali panon nu buncelik teh asa teu aya hihideungna.
Angkot maju lalaunan,  rada reyem-reyem katingali aya pengkolan.
Seng kaambu kembang kopi, melenghir minuhan angkot. Bi Janah ungas ingus bari mikir, naha aya kembang kopi seungit-seungit teuing. Bi Janah malik ka sisi, hayang sidik dimana aya tangkal kopi.
Beak pengkolan, jalan rada naek saeutik. Ku Bi Janah katingali sisi jalan rajeg loba tatangkalan, tingjurugkunuk siga jelema keur diharudum.

'Di payun Mang, liren.' Kadenge halon pisan.

Supir angkot ongkoh-ongkoh bae ngageuleuyeung kagok keur nanjak sigana. Bi Janah anteng nonggongan, nyidik-nyidik neangan tangkal kopi. Geus rada tenget kakarak katingali rentul kuburan. Bi Janah karak sadar angkot teh asup ka Sirnalaya.

Beak tanjakan karak angkot teh eureun. Ret  supirna ngareret katukang.

'Bu, si Eneng turun dimana?'

Bi Janah ukur calangap. Karérét ku tungtung panonna, nu geulis nu diuk dijuru, geu teu aya didinya.

Tuesday, July 11, 2017

Masih Ngurus Paspor (Excel Series)

Hari kedua mengurusi paspor,  Excel dan saya disuguhi banyak pengalaman baru. Kami naik bis untuk menuju kantor imigrasi.

Perjalanan naik bis menarik bagi Excel. Sepertinya dia menikmati setiap event yang tersaji bergantian di dalam bis. Mulai dari orang yang  mohon maaf karena ada hartanya yang harus dia ambil dari penumpang bis. Duduk perkaranya begini. Penumpang bis dipandang orang mampu secara ekonomi makanya bisa bepergian.  Sedangkan si peminta maaf, memandang dirinya orang kurang beruntung secara ekonomi. Menurut aturan agama, orang miskin wajib mendapatkan sodakoh dan bantuan dari orang mampu. Nah, si peminta maaf ini menjalankan syariat agama. Dia menagih harta dari orang-orang mampu untuk diberikan kepada dirinya.

Di dunia ini sepertinya serba terbalik. Kasus peminta maaf karena hartanya masih ada pada kita, contoh nyata dunia terbalik. Sama terbaliknya dengan barang mencari pembeli. Setahu saya, dulu, pembeli datang ke pasar, ke warung, ke ruko, untuk mencari barang yang hendak dibeli. Kini, tidak berlaku lagi.

Pada bis, barang-barang berjenis-jenis datang ke pangkuan tanpa permisi dan tanpa ampun. Barang-barang tersebut silih berganti jatuh ke pangkuan. Mulai dari buku masakan, kue dodol, kacang Bogor, permen jahe, pulpen, kacamata, jam tangan, peniti, tisu, kipas, ring haoe, lampu led, dan barang-barang lainnya yang mungkin dianggap dibutuhkan setiap orang. Sebagai penumpang, saya tidak bisa menghindar dari serangan barang mencari pembeli. Masih beruntung jika hanya diserang barang saja. Yang menyedihkan ketika diserang secara verbal juga. Misalnya, 'haseum' artinya asem tidak ada yang membeli. Kalau ada yang meminta barang yang lain, si pemilik barang menyindir ,' nu geulis loba pamenta' atau orang cantik banyak maunya.

Hal lain yang menarik bagi Excel sepertinya pengamen dan video dangdut yang selalu melengkapi perjalanan. Khusus untuk lagu dangdut, saya merasa malu sendiri. Penyanyi dangdut dengan tanpa sensor bergoyang sesuka hati pada balutan baju minimalis. Kasihan Excel, anak usia sebelas harus menikmati suguhan musik dalam negeri dengan kualitas tanpa sensor.  Bagaimana jika Excel ketika ditanya temannya dari belahan dunia lain mengenai seperti apa musik di Indonesia. Bahaya sekali jika Excel menjawab dengan mendeskripsikan  penyanyi dangdut yang berputar tiada henti pada video player bis. 

Secara pribadi, saya sangat terkejut dengan syair lagu-lagu dangdut yang diperdengarkan pada bis. Penyanyi dengan tanpa beban melantunkan bahwa sudah tidak zaman perempuan setia. Karenanya dia bercumbu didepan pacar lamanya. Dia melanjutkan bahwa pacar tidak cukup satu. Dia juga mengulang-ulang bahwa dirinya perempuan masa kini, punya cinta sana sini, tidak dijajah laki-laki. 

Saya bergidik mendengar syair lagu dangdut tersebut. Sejak kapan definisi perempuan masa kini adalah perempuan yang mengumbar syahwat tanpa aturan. Negeri ini dicekoki syair dangdut, harus maklum jika yang diurus rakyat hanya seputar kepuasan sesaat. Tidak beda dengan syair lagu dangdut tadi 'bercumbu didepan pacar lama, dan merasa bahwa itu representasi dari emansipasi.
Emansipasi kebablasan.

Bis berjalan lambat,  sebentar-sebentar berhenti karena membludaknya buruh pabrik yang bertukar shift kerja. Saya berusaha menikmati perjalanan senormal mungkin. Syair lagu dangdut diabaikan, penjual dianggap tidak ada, pengamen dianggap bisu. Akhirnya tiba juga di tempat yang dituju.

Pengurusan paspor hari kedua, sedikit menyedihkan. Ketidaktahuan bisa merugikan seseorang.  Itu pula yang terjadi pada saya.

Kemarin saya diminta datang pukul 14. Dan saya datang pukul 13. Tapi, 'maaf Bu, antrian sudah habis pukul 12, balik lagi besok saja,' itu sambutan dari si adek praktikan yang menjaga bagian kartu antri.  Gosh, apa sesederhana itu untuk bulak balik? Saya senyum kecut  karena saya tidak bisa senyum asem seperti penjaja barang di bis.

Saya mencoba menghadap ke bagian pengambilan  dokumen dan menjelaskan perkaranya. Syukurlah saya ditanggapi dengan ramah dan diminta menunggu. Tidak lama saya dipanggil dan saya menerima nomor paspor untuk Excel. Paspornya sendiri bisa diambil Kamis, sesuai aturan pembuatan paspor. Paspor dapat diambil 3 hari setelah pembayaran.

Sambil menerima nomor paspor saya membayangkan masalah lanjutan dari kegiatan hari ini. Ketiadaan paspor semoga tidak menghambat pembuatan visa.
Hati saya dipenuhi kesedihan. Sedih ketika harus membayangkan bagaimana Excel kecewa tidak bisa berangkat. Menjadi satu dari tujuh peserta dari jutaan remaja Indonesia memang tidak mudah.