Honorer warga kelas dua
Tahun ajaran baru, jadwal baru, semangat baru, dan yang paling menyenangkan adalah: peluang baru.
Setelah enam bulan diterima menjadi guru honorer di SMA favorit di kota kecil tempat tinggalnya, SMA di mana dulu dia bersekolah, kini dia ditawari mengajar di sekolah swasta terelit di kota itu. Girang bercampur khawatir menjadi kombinasi yang membuatnya susah tidur. Dalam pikirannya mengatur pembagian waktu mengajar. Pagi mengajar di sekolah negeri, siang mengajar di sekolah swasta.
Saat kakinya melangkah memasuki ruang kantor guru, matanya tertumbuk pada para guru yang bergerombol, berbicara, dan sesekali terlihat tawa menghiasi cengkrama pagi awal pada tahun ajaran baru. Nampak sebuah buku tulis terbuka. Satu per satu guru yang bergerombol menuliskan sesuatu pada buku itu. Dia tidak berani bergabung, apalagi turut serta nimbrung berbicara. Sebagai guru honorer yang masih mencoba mendapatkan tempat di salah satu ruang pada hati para guru,
1.
Segalanya terasa lebih berat dari ukuran seharusnya. Memeriksa tugas siswa, menangani siswa, mengajar, merencanakan mengajar, belum lagi konflik dengan rekan sejawat. Menjadi guru, walaupun sejak lama dipandang sebagai pekerjaan paling ideal untuk dirinya yang perempuan. Kini, terasa menjadi beban. Tanggung jawab yang harus dipikul terasa melebihi kewajiban yang seharusnya.
No comments:
Post a Comment