Pages

Thursday, August 31, 2017

Hari ke-44 Jangan-jangan

Hari ini dimulai dengan meminta izin kepada siswa 12 MIPA 6 bahwa saya tidak dapat menemani literasi. Semalaman suami dan anak saya demam hebat. Saya sendiri muntah-muntah pada pukul 20, namun bisa tidur sampai akhirnya terbangun karena suami dan anak badannya meriang dan tidak tidur sampai pagi hari. 

Segera setelah pukul 6 tiba, saya bawa suami dan anak ke rumah sakit Hermina. Dengan harapan ditangani dengan segera. Entah karena besok hari Lebaran Haji,  suami dan anak saya disuruh pulang. Dengan alasan bahwa lebih baik dirawat di rumah agar tidak terkena virus rumah sakit dan menambah parah penyakit dan lagi demamnya baru satu hari. Pulang lebih baik. Saya tidak punya daya untuk menolak,  maka kami pulang. 

Di rumah,  suami demamnya  berlanjut. Malah bertambah keluhannya dengan badan pegal, kaki serasa diikat, dan nyeri dada.

Magrib tiba, semua mesjid seolah berlomba-lomba menyuarakan takbir. Ada suara kanak-kanak, ada suara remaja, suara orang dewasa, semua berbaur, memenuhi udara malam. Saya hanya bisa menemani dua orang sakit sambil berharap saya sendiri tidak jatuh sakit.
Takbir mengingatkanku pada delapan tahun silam. Dengan lantunan kalimat takbir yang sama, saya duduk disamping ibuku yang sakit parah di rumah sakit Hasan Sadikin Bandung. Berbulan-bulan lbu dirawat akibat gangguan penyakit lambung yang akut.

Tanpa sanak tanpa saudara ketika menemani lbu di rumah sakit, dunia terasa kecil dan sempit. Saya tidak berdaya menyembuhkan sakit lbu. Hanya mohon izin Tuhan dan bantuan dokter. Ketika takbir berkumandang ibuku terbangun. Seolah baru bangun dari tidur yang panjang. Ibuku bertanya, ' kenapa ada takbir, apa besok lebaran?' Saya tidak mampu menjawab, suara lbu yang menghubungkan takbir dengan lebaran menandakan beliau sudah sadar penuh.

Saya hanya bisa bersyukur lbu bisa mendengar suara takbir, lbu sadar. Saya merasakan keagungan suara takbir dan merasakan kekuasaan Tuhan bekerja dengan caraNYA. Takbir lebaran haji yang tidak akan terlupakan. Hanya dua kali takbir yang bisa lbu dan saya jalani bersama setelah lbu sadar.
Takbir itu kini berkumandang lagi. Saya duduk di samping dua orang yang sama dekatnya dengan lbu. Setelah lbu tiada, saya menghabiskan kumandang takbir lebaran hanya dengan anak dan suami. Ketika kumandang takbir bergema dan saya mengulang kejadian menemani orang sakit, saya jadi berpikir. Berapa kali lagi saya bisa berkesempatan mendengar takbir?

Takbir bisa jadi pengingat untuk sadar. Bangun dari kecintaan pada hidup. Dan beritikaf, berapa kali lagi takbir itu  bisa didengar dengan sadar. 

Semoga takdir memberikan kesempatan saya juga siapapun untuk selalu sadar pada hidup. Hidup yang dihiasi sakit dan ditunggu kematian sehingga dalam hidup selalu berbuat baik. Selalu mengagungkan kebesaran Tuhan, karena kasihNYAlah kita diberi kesempatan mendengar takbir.

Hari Ke-43 Miskin Motivasi?

Bel berbunyi.  Saatnya literasi. Semua siswa dan guru memegang buku. Sebagian membaca, sebagian mencoba membaca, sebagian memaksa membaca,  sebagian berusaha berdamai dengan membaca. Polah tingkah yang muncul saat literasi (apapun itu) menggembirakan bagi saya yang berharap semua warga sekolah menjadi orang yang berwawasan luas dan kaya informasi sehingga tidak terbawa arus hingar bingar saracen. 

Waktu literasi terasa berlalu lebih cepat dari yang seharusnya. Senyap khas literasi dipenggal bel masuk jam pertama.

Saya meninggalkan kelas 12 MIPA 6 dan masuk ke kelas yang tertera pada jadwal. Jam ke-1 dan ke-2, saya membayangkan semangat siswa pada jam awal melahap pelajaran dengan semangat.
Seusai membagikan lembaran kerja yang telah dinilai, kelas dimulai dengan memasangkan in focus. LCD diharapkan membantu banyak kepada siswa dan guru dari aspek kepraktisan. Misalnya pada saat menayangkan gambar, para siswa dapat melihatnya dengan jelas. Sayang, cahaya dari luar tanpa terhalang selembar benangpun mengakibatkan pantulan cahaya LCD hanya terlihat seperti bayangan di kaca yang 5 tahun belum di bersihkan. Pembelajaran yang direncanakan menarik, berubah membingungkan karena apapun yang ditayangkan tidak terlihat. Para siswa menanggapi kondisi ini dengan berbicara dengan teman sebangkunya. Entah membicarakan pantulan LCD, entah bicara yang lain. 

Situasi tidak nyaman ini segera diputus dengan menyetel rekaman berita sesuai materi yang harus dikuasai siswa. Lembaran pertanyaan diberikan dengan tujuan agar siswa mendapatkan arahan, bagian mana yang harus diperhatikan sehingga nanti berita tersebut  tertangkap informasi utamanya.  Setiap pertanyaan dibahas apa maksud dan tujuannya. Para siswa terlihat datar. Kelas sepi. Saya merasa sendirian di kelas. Siswa tidak bertanya, tidak menyahut, hanya memegang kertas.
Setelah siswa dianggap paham apa yang harus dilakukan selama menyimak rekaman berita,  rekaman disuarakan. Bahasa lnggris yang diucapkan berlogat Inggris British. Tanpa diduga  para siswa berbunyi. Mereka tertawa, saling tatap dengan temannya dan kemudian tertawa lagi. Adakah yang salah dengan rekaman ini?

Terdengar pembaca berita  mengucapkan 'submarine', seorang siswa berujar keras ' sugan maling' diikuti gelak tawa temannya. Selanjutnya mereka menertawakan pembaca berita yang mungkin tidak dapat mereka pahami sedang mengatakan apa. Ajakan agar mencoba konsentrasi pada apa yang diucapkan dengan menyandingkan teks berita yang dipegang dengan bunyi dari rekaman, kurang berhasil. Para siswa terkekeh-kekeh dan sibuk sendiri dengan dunia dan pikirannya.
Mengantisipasi kekacauan, teks saya bacakan dengan perlahan sambil dijelaskan apa maksudnya. Cara ini tentu saja membodohkan siswa. Alasan pertama,  para siswa tidak berkesempatan mendengar variasi  logat bahasa Inggris yang nyata, misalnya bagaimana bahasa Inggris diucapkan orang India, Singapur, Amerika, atau Cina seperti yang disediakan pada rekaman. Kedua, menerjemahkan setiap kata memperlambat kemampuan siswa untuk berpikir kritis dengan cara menebak makna kalimat berdasarkan kosa kata yang telah dimilikinya. Saya sesungguhnya merasa bersalah kepada siswa, namun jika pilihan ini tidak diambil, para siswa membuat kesibukan sendiri,  no engagement at all.
Upaya ini berhasil, sesaat. Para siswa terlihat enggan menemukan informasi dari teks dengan membacanya berulang-ulang didampingi guru agar paham. Wajah mereka menunjukkan  penolakan, dibuktikan dengan mengobrol.  Melihat hal ini bukan berarti  kesabaran guru diuji,  namun harus ditemukan kenapa siswa seolah enggan belajar. Mereka asik ketika mengobrol dengan temannya  (bahkan pada saat pelajaran berlangsung).

Permasalahan ini dikonfirmasikan kepada guru lain. Saya tidak sendiri, guru lainpun mengiyakan bahwa banyak siswa yang seolah hadir ke sekolah agar tidak dimarahi orang tuanya karena tidak berangkat ke sekolah.  Di sekolah,  siswa secara fisik duduk di bangkunya dan menjawab 'hadir' ketika namanya dipanggil.  Setelah itu, urusan selesai, belajar tidak jadi tujuan. Tujuan utama: meninggalkan rumah,  menjawab hadir ketika di absen.

Tulisan di atas hanya ungkapan kekhawatiran guru kepada siswanya yang menyia-nyiakan waktu belajar. Guru yang bersedia menemani belajar diabaikan karena alasan pelajarannya sulit, tidak bakalan bisa, susah, dan alasan klise lainnya.

Tuesday, August 29, 2017

Hari Ke-40 Pangandaran Kini

Dalam pikiran, 27 tahun lalu, Pangandaran adalah pantai tempat pertama saya melihat Banteng yang berkeliaran malam-malam,  bertemu Rusa kecil makan pucuk dedaunan di bawah pohon,  dan monyet-monyet liar bergelut di pohon.

Kini, kujumpai Pangandaran dengan wajah yang sama sekali baru. Riasan dan pernak perniknya membuat pengunjung berdecak kagum. Perubahan secara fisik dan non fisik tengah berlangsung dan mempengaruhi rupa pantai Pengandaran. Dalam dua hari satu malam, saya mencatat beberapa hal di bawah ini.
Sepanjang jalan menuju pantai dihiasi dengan hotel-hotel dan penginapan baru yang seolah saling berlomba ketinggian. Berbagai bentuk, gaya, dan sentuhan seni bertebaran di setiap bangunan melengkapi kebutuhan pendatang dari berbagai kalangan. Pemandangan ini mengingatkan  saya pada  Beijing dimana penataan diatur sedemikian rupa sehingga setiap seni yang menempel pada bangunan selain memperindah kota juga membuatnya menjadi khas. Misalnya pada daerah Ring 1, ketinggian bagunan hanya boleh 10 meter, makin besar Ring, makin tinggi bangunan yang diizinkan.  Hasilnya, luar biasa, bangunan tertata membentuk cekungan sempurna. Pangandaran, dari segi seni, sangat kaya dan memperindah kota. Dari segi penataan, masih perlu mendapatkan masukan terutama dari pihak pemberi izin membuat bangunan.

Kemegahan bangunan di sepanjang jalan di tengah kota dihiasi pula dengan gerombolan motor RX King yang sedang berjambore. Pengguna RX King dari berbagai daerah, berkumpul, menunjukkan identitas dan eksistensi komunal dengan memakai baju seragam. Kesannya gagah tapi sedikit menakutkan bagi saya. Para pria berpakaian warna gelap, berikat kepala, berambut tidak terurus, berdiri, duduk, jongkok,  bertebaran di pinggir jalan secara tak beraturan. Mereka menghidupkan motornya dengan suara memekakkan telinga. Sepertinya knalpotnya dibuka dan semakin berisik suaranya,  dianggap semakin bagus. Mereka berduyun-duyun menggunakan motor dengan suara yang bising dan asap knalpot tidak terbendung. Jambore ini sepertinya tidak terkoordinir menjadi suatu aktivitas. Mereka  hanya berkumpul,  berkendara tanpa helm, memutar-mutar kota, pamer motor. Itu saja.

Perubahan Pangandaran terlihat pula pada kehidupan penduduk setempat. Efek dari daerah wisata adalah hilangnya tawaran berbasis ikhlas. Hampir semua hal berbau ekonomi, ada kesan, apapun harus menghasilkan uang. Ada bangku kosong di pinggir pantai, pada saat kita duduki pada pukul  9 malam, tiba-tiba muncul orang entah dari mana berkata bahwa bangku itu sewaan, harus bayar. Jangan tanya toilet. Semua bertarif. Mandi 5.000. Sangat komersil.

Pantai Pangandaran menjadi bagian penting dalam perubahan Pangandaran.  Terlihat di sana sini, bibir pantai ditandai dengan tembok yang mengatakan bahwa tanahnya telah jadi milik seseorang dan siap dibangun. Penduduk setempat mungkin tidak berkesempatan menjadi orang yang memasang pagar penanda wilayah.  Mereka mungkin tersingkir setelah tanahnya dijual. Fenomena penduduk pribumi menjadi  tamu ditanahnya sendiri perlahan namun pasti akan muncul.

Perubahan lainnya adalah pada makan dan makanan.  Makan pagi tersedia dimana-mana. Pedagang asongan menjajakan makanan sampai ke pintu penginapan. Bagi mereka yang menyukai mie, mie seduh pada gelas stereoform bertebaran di hampir semua tempat.

Pangandaran sebagai daerah pantai, pohon kelapa dengan mudah ditemui. Minuman dari buah kelapa dijumpai setiap saat. Butiran kelapa bertumpuk-tumpuk menanti pembeli.

Yang masih sama adalah pantainya itu sendiri.  Pantai tetap sendiri. Dia membiarkan dirinya dieksploitasi, dikotori dengan sampah, ditancapi pagar pembatas.  Pantai, sendiri, sunyi. 

Monday, August 28, 2017

Hari ke-42 Memaksa tidak lelah

Sepulang mengikuti kegiatan sekolah di Pangandaran, dengan perjalanan yang menguras energi, berangkat Jumat malam, pulang Minggu malam, secara alamiah badan terasa sakit, ngilu, pegal. Kegiatan body  rafting selama 4 jam menghabiskan hampir semua tenaga yang sejak hari sebelumnya telah habis digunakan menyokong tubuh memenuhi keingintahuan pesisir pantai Pangandaran.

Badan hanya berkesempatan tidur 2 jam untuk kemudian tanpa bisa tawar menawar harus upacara Senin mulai pukul 6.45. Kepala tentu saja pusing akibat kurang tidur dan kelelahan. Namun guru tidak boleh tumbang pada saat upacara.  Maka, dengan sekuat sisa tenaga yang  ada, upacara dijalani  sekhidmat orang  lelah.

Belum sempat memikirkan apakah bisa duduk, bel jam pertama berbunyi. Saya harus masuk kelas, hari ini jam mengajar penuh mulai pukul 8.30 sampai pukul 15.45. Istirahat tidak mengurangi lelah untuk badan yang sudah lelah.

Gambaran di atas tidak menunjukkan betapa guru rapuh atau mudah menyerah. Gambaran di atas  adalah hidup keseharian guru yang kurang lebih guru lain pun mengalami hal yang sama namun dengan variasi dan kualitas  lelah yang berbeda. Bisa lelah karena kegiatan yang benar-benar menguras tenaga secara fisik, bisa lelah  karena tekanan secara mental yang menguras semangat bekerja,  bisa lelah karena kombinasi kegiatan  fisik dan psikis yang mengakibatkan merasa berat untuk mengajar. Yang akan saya soroti adalah komposisi jumlah jam mengajar dalam sehari. 

Guru bertanggungjawab mengajar minimal 24 jam dalam sebulan,  dan   dalam 5 hari per minggu. Jika dirata-ratakan,  sehari guru bertanggung jawab mengajar selama 5 jam.  Komposisi pembagian mengajar sehari ada yang 8 -10  jam, di lain hari 2 jam, bagi saya pribadi tidak efektif.  Mengajar dari pagi sampai  petang hanya dipotong istirahat menjadi tidak efektif. Ketidakefektifan sangat terasa pada saat mengajar pukul 14 ke atas pada saat kepala sudah tidak  terlalu peka menangkap ide-ide cemerlang siswa. Ibarat gawai, makin siang makin  over load. informasi yang datang dari siswa berjubel sehingga tidak sensitif menangkap gejala-gejala positif ataupun negatif siswa. Yang tertangkap hanya yang ekstrim saja. Akibatnya siswa berubah menjadi akut masalahnya pun tidak pula tertangkap.

Komposisi tidak seimbang, 10 jam vs 2 jam mengajar per hari menimbulkan ketidakefektifan dalam penggunaan waktu kosong. Pada saat full 10 jam, guru keluar masuk kelas,  efektif di kelas. Pada saat 2 jam, guru menghabiskan waktu di ruang guru, menunggu waktu finger print pulang tiba. Efektif mengajar 2 jam atau 90 menit, sisanya? belum tentu efektif.  Dikatakan efektif misalnya diisi oleh kegiatan yang berkaitan dengan pengembangan keprofesian berkelanjutan. Tidak adanya ketetapan bagaimana mengisi jam kosong mengajar, selain dari menyiapkan rencana mengajar dan memeriksa hasil pekerjaan siswa, menjadikan guru lelah. Lelah secara non fisik karena harus memikirkan apa yang bisa dilakukan seharian.

Semoga yang saya tulis hanya perasaan saya saja. Guru, selelah apapun,  tidak pernah lelah mengajar.

Thursday, August 24, 2017

Hari ke-38 Medan bikin geger dunia

Tetiba saya ingin menonton TV. Selama empat hari di Cosmo Amaroossa hotel,  tidak terpikirkan memilih channel TV Cable saking ketatnya jadwal. Secara tertulis kegiatan mulai pukul 7.30, selesai  21.30, pada kenyataannya breakfast pukul 7 (artinya perlu paling tidak 2 jam untuk mandi dan mengecek materi yang hendak disajikan), dan tidur paling cepat pukul 22.30 seusai briefing malam.

Waktu 2 jam sebelum cek out bisa digunakan untuk menonton tivi yang sudah lebih dari 3 bulan tidak dilakukan. Bukan karena puasa dari mass media tapi memang tidak punya tivi.
Ketika klik televisi berbunyi, entah channel apa. Dalam bahasa Inggris disajikan berita tentang Indonesia (tidak ada kata Indonesia yang sempat didengar, namun kata "Medan" diartikan sebagai Indonesia).

Diceritakan ada seorang dukun bernama AS. Katanya dia bermimpi bertemu ayahnya. Dalam mimpinya dia disarankan meminum air liur 70 orang wanita agar ilmunya sebagai penyembuh (healer)  sempurna. Diceritakan pula bahwa AS disebut Datuk karena dia menikahi tiga kakak beradik dan beranak pinak dalam satu rumah.

Tayangan dukun AS dipotong oleh adegan seorang lbu yang menangis tersedu-sedu penuh kecewa, dan duka yang tak terperikan.  Dia ternyata salah satu lbu, yang anaknya menjadi korban kekejian Dukun AS. Si Anak bernama Dewi, seorang lbu muda, yang baru beranak 2 bulan. Dewi meminta bantuan dukun AS dan untuk terkabulnya keinginan Dewi, syaratnya dia harus berani dikubur setengah pinggang. Maka ritual penguburan dilakukan dibantu istri pertama dukun AS. Setelah dikubur di perkebunan tebu, Dewi dicekik sampai mati dan air liurnya diminum.

Dewi bukan korban satu-satunya. Mayatna ditinggalkan begitu saja. Akhirnya,  mayat Dewi ditemukan. Setelah pemeriksaan lebih lanjut,  polisi menemukan 42 korban lainnya. Pencarian dihentikan karena mayat lainnya telah rusak dan sulit untuk dikenali.

Dukun AS melakukan pembunuhan selama hampir 7 tahun. Kemudian dukun AS dan istri pertamanya  dihukum mati. 
Menurut penggali berita, dukun AS sangat tenang ketika dipersidangan sehingga diragukan kondisi kejiwaannya. Kondisi kestabilan jiwanya dijelaskan ahli kejiwaan bahwa dukun AS sadar benar akan semua perbuatannya.

Fenomena mencari kekuatan supranatural dan magis banyak ditemukan dalam kamus budaya Indonesia. Pencarian kekuatan biasanya dengan harus  memenuhi sarat tertentu yang terdengar tidak rasional.  Berikut ditulis beberapa contoh  cara yang beredar dari mulut ke mulut tentang  cara mendapatkan kekuatan, yaitu dengan sarat menggagahi 40 gadis, harus mandi di 7 sumur berbeda,  harus  puasa makan tanpa garam selama 40 hari, harus puasa bicara selama 7 hari, harus tidur di makam keramat, harus memotong ayam hitam camani, harus memotong kepala kerbau, dan banyak yang lainnya yang beredar di setiap wilayah Indonesia.

Kembali pada kasus Medan yang direkam secara detil oleh tivi asing. Dukun AS menerima hukuman mati dengan cara ditembak. Mayatnya  dikembalikan kepada keluarganya yang kebetulan satu kampung dengan Dewi. Masyarakat menolak mayat AS, mereka menganggap terlalu menyakitkan harus menguburkan mayat pembunuh dengan korban dalam satu hamparan tanah dalam satu kampung. Penolakan ini mengakibatkan mayat AS dibawa ke desa tetangga. Namun, desa tetangganya pun menolak menerima titipan 'mayat'.  Akhirnya polisi membawa mayat AS sejauh 150km dari tempat yang direncanakan sebagai peristirahatan terakhirnya.

Orang yang dianggap kontroversial dan menghebohkan dunia semasa hidup, ternyata masih  kontroversial dan menghebohkan pula ketika telah mati. 

Wednesday, August 23, 2017

Hari Ke-22 Jangan Berhenti Berlatih agar Terampil

Menikmati hari Minggu dilakukan dengan berbeda cara oleh setiap orang. Bagi saya hari Minggu digunakan untuk berperan sebagai bagian masyarakat. Saya bersosialisasi atau sekadar berbincang ringan dengan tetangga. Saya dianggap kurang sosialisasi di kampung tempat saya tinggal. Hal ini muncul karena pertama, saya jarang ada di rumah. Pergi pagi pulang petang, malamnya tidak keluar rumah. kedua, saya tidak memiliki banyak kesempatan untuk bercengkrama dengan tetangga selain karena rumah saya paling pinggir,  para tetangga juga sungkan untuk berbasa basi mengingat saya hampir tidak pernah berguyon dengan siapapun. Mungkin saya dianggap makhluk paling serius.

Minggu ini saya telah punya janji dengan sesama guru yang hendak berbincang soal tesis. Beruntung sekali, saya memiliki pengalaman menulis tesis. Pengalaman menulis tesis saya dibutuhkan oleh rekan saya ini untuk memotivasinya menulis, maju sidang, dan tangguh menyelesaikan revisi.
Dari pengakuannya saya bisa merasakan kembali ke masa dimana nasib seolah ada di tangan pembimbing dan penguji. Pada saat menulis tesis, yang dibutuhkan bukan hanya kemampuan menulis efektif saja. Lebih dari itu. Kekuatan dan daya tahan secara mental. Bagi saya, pada saat itu, hambatan seolah berlapis. Tesis harus ditulis dalam bahasa Inggris sesuai jurusan, kedua konten harus seizin pembimbing. Menulis dalam bahasa Inggris, tentu saja tidak pede, karena bukan bahasa nasional atau bahasa Sunda yang setiap hari dipakai. Memaksanakan diri menulis dalam bahasa Inggris tentu saja menimbulkan masalah tersendiri. Saya melaluinya dengan susah payah.

Hal berat kedua adalah konten. Pengetahuan seorang mahasiswa, jauh bak bumi dengan langit ketika mengkaji sebuah isu pendidikan. Saya merasa tidak tahu dengan apa yang harus ditulis padahal untuk menulis hal lain, tidak ada segelap itu. susah payah pula saya memahami konten yang kemudian harus ditulis sebagai teori, dikaji, dilihat praktiknya, dan dianalisa koneksitas teori dan praktiknya. Rasanya perjalanan yang hampir tiada ujung ketika menghubungkan apa yang dibaca di buku dengan fakta yang ditemukan dari hasil observasi, kemudian ditulis menjadi sebuah temuan.

Kini, hal tersebut dialami teman saya. Saya yakin, dia bingung karena ketidaktahuan apakah pekerjaannya dianggap layak sebagai sebuah temuan. Apakah nanti tulisannya bisa diterima sebagai karya ilmiah yang mengantarkannya memiliki gelar akademik. Saya menjelaskan hal yang saya tahu menyoal penulisan, penyajian, proses persidangan, revisi, sampai wisuda. Penjelasan tersebut membantu meringankan secara mental, sepertinya. Tidak perlu taku sidang, karena jika tidak berani sidang, maka kuliah tidak akan pernah selesai. Stessnya tidak akan berakhir. Lebih baik ikut sidang, seburuk apapun tesis kita saat itu. setelah sidang, akan ada masukan, dan tesis dapat direvisi jika masih diangap belum merepresentasikan kemampuan menulis kita.

Dalam pandangan saya, proses menulis tesis, berat, karena saya tidak memiliki pengalaman menulis sebelumnya. Ketika saya menetapkan melanjutkan kuliah dan ternyata harus diakhiri dengan menulis tesis, hal ini terasa menjadi beban yang mungkin tidak pernah bisa saya atasi. Namun saya jalani, tesis terus menerus dibaca-ditulis ulang-diedit-dibaca ulang, hingga pada akhirnya dianggap mendekati bisa disebut tesis. Selesai, sesederhana itu, sekompleks itu.


Seusai berbincang dan mengenang masa-masa menulis tesis, saya masih merasakan, sampai saat ini, bahwa menulis tidaklah mudah untuk orang yang tidak memiliki bakat seperti saya. Orang berbakat menulis, tanpa sekolahpun, bisa menghasilkan tulisan yang luar biasa. Bagi saya, yang tidak berbakat, hanya bergantung pada ujaran para ahli bahwa menulis adalah keterampilan. Keterampilan artinya sesuatu yang bisa diperoleh karena latihan. Maknanya, saya berpeluang untuk bisa menulis, selama rajin berlatih. Tulisan ini pun adalah wujud latihan saya menulis. Semoga di kemudian hari saya menguasai keterampilan menulis. 

Tuesday, August 22, 2017

Hari ke-21 Tamu di Rumah Sendiri

Libur dari full day school, menyenangkan bagi siswa juga guru. Hukum alam, libur merupakan hari yang ditunggu. Demikian juga saya, menanti hari libur. Bukan hanya sekadar ada waktu untuk mencuci baju, memasak makanan sesuai pesanan anak, merapikan rumah, dan pekerjaan domestik lainnya. Bagi saya, hari libur, dapat melakukan hal yang saya sukai. Bisa saja tiduran seharian, bisa saja mengompres mata dengan air hangat, bisa saja mencabuti rumput yang tumbuh bebas di sekitar rumah, bisa saja membaca buku.

Membaca buku merupakan bagian yang lebih banyak saya lakukan ketika libur. Hari ini saya akan membaca My not so perfect life karya Sophie Kinsella. Buku ini menjadi best seller di Inggris, dan saya beruntung bisa mendapatkan hard kopinya dari tetangga (orang Inggris) yang sedang berlibur katanya mau membeli villa di sebuah pulau di Nusantara ini. Saya tidak iri karena tetangga hendak mendapatkan hak atas tanah dan kemudian menjadikaanya usaha pariwisata untuk keuntungan pribadinya. Yang saya iri adalah pemerintah negeri ini. Kenapa hatinya begitu ikhlas tanah Nusantara ini sedikit demi sedikit menjadi miliki orang asing dan kita, pribumi, menjadi kulinya. Keikhlasan macam apa sehingga tanpa beban merelakan penduduk negeri ini menjadi kuli di negerinya sendiri. Saya iri atas ketidakmampuan saya untuk mengikhlaskan setiap jengkal tanah Indonesia berpindah sertifikat hak kepemilikannya kepada orang-orang asing.

Kembali ke buku yang saya baca. Buku ini mengisahkan remaja desa lulusan universitas ternama, berotak, cerdas, cantik, sedang mencoba mendapatkan pekerjaan di belantara London yang terkenal kejam, dan serba mahal. Tidak mudah untuk mendapatkan pekerjaan, bahkan dia dipecat tanpa jelas alasannya sehingga terlunta-lunta untuk mendapatkan pekerjaan selanjutnya, hidup super ngirit agar dapat bertahan di kota impian. Namun pekerjaan tak kunjung diperolehnya sehingga untuk mengisi waktu, dia pulang dulu dan membantu ayahnya membangun bisnis baru.

Saya terpesona dengan gaya penulis menyampaikan konflik kantor, konflik remaja desa yang berusaha menyesuaikan diri menjadi orang kota, konflik pertemanan kaya-miskin. Jika ditelaah, hidup, di mana saja, seolah sama. Yang berbeda nama, negara, agama, suku, makanan. Hakekat hidup yang lainnya sama. Mencari bahagia, mencari jati diri, mencoba yang terbaik, dan bersedia menerima ketidakpuasan. Dan hidup, baik dalam novel ataupun dalam nyata, sepertinya sama. Beralur, mengalir membawa tokohnya ke titik akhir kisah hidupnya. Bisa bahagia, bisa tragis, bisa pula tak jelas, tapi itulah akhir.

Saya tidak bisa membaca tuntas buku ini. Saya berjanji akan menghadiri kegiatan blok sekolah yang diberi nama SGC bertempat di perkemahan Mandala Kitri Cibodas. Saya berangkat pukul 8 malam, saya ingin memastikan berapa siswa 12 MIPA 6 yang hadir dan kegiatan apa saja yang mereka ikuti. Saya khawatir jika mereka membuat acara di dalam acara. Izin yang saya berikan membuat kehidupan mereka lepas dari pengawasan diri dan lupa menjaga diri.

Tiba di Mandala Kitri saya disuguhi api unggun yang dikelilingi anak-anak berpakaian pramuka. Mereka bernyanyi, berjoget, berkreasi dalam bidang seni suara, dan music mengisi dinginnya kaki Gunung Gede. Suasana sunyi sama sekali hilang. Anak-anak tenggelam dalam keriaan menjadi anggota ekstrakurikuler secara resmi. Saya bertemu beberapa alumni yang mendedikasikan waktunya untuk membimbing adik angkatan.

Saya tidak menghabiskan malam di SGC, selain terlalu dingin untuk badan saya yang tidak kuat menahan dingin. Saya harus beristirahat yang cukup, esok hari walaupun Minggu, saya memiliki pekerjaan yang harus dilakukan dengan konsentrasi penuh. Saya meminta izin pulang kepada panitia dan anak-anak. Sambil berjalan, sedikit gelap, saya terhalang tambang yang membentang di sepanjang jalan dari mulut Mandala Kitri entah kemana. Saya tanya, untuk apa tambang dibentangkan sepanjang jalan. Seorang pedagang menjawab, ‘untuk Unta.’

Unta? Maksudnya unta yang ada di negara Arab? Apa unta bisa hidup di kaki Gunung Gede? Pertanyaan bermunculan karena jawaban pedagang menimbulkan tanya. Sejak kapan bisa hidup di daerah dingin.

Rupanya bukan unta hewan, tapi sebutan untuk gurauan bagi orang Arab yang dalam dua tahun terakhir ini menbanjiri kota Cipanas. Mereka berdatangan untuk menikmati Kota Bunga, membeli vila dan membeli tanah untuk membangun rumah mewah. Hampir tiada henti, mereka berdatangan sebagai turis. Memenuhi taman wisata kaki gunung Gede. Peluang ini dimanfaatkan oleh penduduk lokal untuk menyediakan lahan bermain yang apapun nama dan permainannya, pasti dicoba. Yang menarik, mereka juga bertebaran di toko-toko, di Ramayana, borong barang-barang. Saya sering bertemu mereka, dan tidak pernah bertegur sapa, karena wajahnya ditutup cadar. Hanya kerling bening matanya saja yang terlihat. Saya kadang memikirkan untuk apa belanja dari Indonesia? Apa tidak repot di bandara nanti? Membawa barang-barang yang di negaranya pun ada.

Terlalu banyak yang harus dipikirkan di negeri ini. Lebih baik tidak berpikir untuk sesaat. Biarkan pikir istirahat. 

Monday, August 21, 2017

Hari Ke-36 Gebyar Infak Buku

Hari yang dikhawatirkan itu tiba. Hari yang ditetapkan menjadi tonggak pelaksanaan literasi yang ditandai dengan memnginfakkan buku dari seluruh warga sekolah. Siswa diharapkan menginfakkan 1 buku non pelajaran,  guru dan TU menginfakkan 5 buku.

Upacara berlangsung seperti biasa, saya khawatir himbauan infak tidak ditanggapi dengan hadirnya buku. Terik matahari pagi terasa lebih menyengat ketika pikiran diselimuti kekhawatiran. Upacara usai. Pembina upaca mengingatkan bahwa kita orang merdeka.  Artinya memiliki keleluasaan untuk maju, tidak dijajah siapapun.

Acara infak dimulai. Satu persatu buku mulai menumpuk di meja di depan lapangan upacara.  Para guru, di luar dugaan menginfakkan juga buku. Saya meminta bantuan Bapak Kepala Sekolah untuk melakukan sedikit seremoni penerimaan infak-dan-penyerahan-infak kepada  siswa dan guru.
Saya menginventarisir buku yang diinfakkan guru, terdapat 153 ekspemplar. Alhamdulillah. Sebuah awal yang menggembirakan dan menjanjikan.

Saya menjelaskan kepada para wali kelas agar menginventarisir buku yang diinfakkan siswa. Kemudian pada hari Selasa ditentukan pengelola literasi di kelas. Tugasnya mencatat perputaran buku. Buku apa dibaca siapa,  format untuk hal tersebut telah ada pada panduan. Selain itu, para wali kelas juga diminta agar meminta para siswa membawa satu buku tulis untuk dibuat  jurnal harian membaca. Lagi-lagi, format ada pada panduan.
Satu dua mengeluh karena panduan dalam bentuk pdf yang unggah di WA enggan untuk mengaksesnya. Mereka meminta agar diprint outkan. Saya menjawab dengan meminta bantuan kepada pihak sekolah agar membantu mengeprintakan panduan dan pedoman pelaksanaan literasi untuk semua guru.
Permintaan dari para guru artinya pertanda keseriusan pelaksanaan literasi di sekolah.

Waktu terasa berjalan lebih cepat dari yang seharusnya. Pukul 8.00. Saya merekap infak buku dari guru pada format yang telah saya sediakan. Seorang guru mendekati saya meminta izin pertimbangan untuk keikutsertaan  siswa lomba di Polban yang hari ini harus daftar secara online. Saya membantu menentukan jenis lomba dan peserta yang mungkin bisa ikut serta. Rembukan bersama akhirnya, dan muncul nama -nama peserta lomba.

Tiba-tiba telepon  berbunyi. Suara dari seberang telepon menyebutkan bahwa dia daro travel yang akan menjemput saya ke Jakarta.
Saya memang akan berangkat ke Jakarta untuk menjadi salah satu pembahas pada Workshop sekolah rujukan di region 1.  Waktu menjadi mahal ketika banyak hal yang  harus diselesaikan dalam waktu yang sama. Semoga saya bisa  memberikan sedikit warna baik  di sekolah,  bagi siswa, juga pihak lain yang sekiranya memerlukan bantuan saya.

Sunday, August 20, 2017

Hari ke-35 Memaksa literat

Bangun pagi buta (kepagian, waktu menunjukkan pukul 2.02) kepala telah penuh rangkaian aktivitas. Saya harus menyiapkan banyak hal untuk Gebyar Infak Buku pada Senin esok, 21 Agustus, di sekolah tempat saya mengajar. Saya 'memaksa' warga sekolah bersedia melaksanakan gerakan literasi dengan cara membaca 15 menit pada pukul 7.00 sampai 7.15 setiap hari Selasa, Rabu, dan Kamis.

Saya menggunakan kata 'memaksa' karena memang saya seolah mendesak warga sekolah agar bersetuju dengan kegiatan literasi. Mungkin bagi beberapa orang, saya dianggap ambisius karena menginginkan kegiatan yang setahun lalu telah ditolak pihak sekolah. Bagi saya, sesungguhnya,  literasi berjalan, saya tidak mendapatkan untung; sebaliknya, literasi tidak berjalan,  saya pun tidak rugi.

Tahun ini, entah bagaimana mulanya, jam kesatu mulai pukul 7.15, artinya ada waktu 15 menit  tidak bertuan (mulai pukul 7.00 sampai 7.15). Saya kembali mengajak agar waktu tak bertuan tersebut dimanfaatkan untuk kegiatan pembiasaan membaca. Kali ini, diterima, dengan catatan saya jadi penanggung jawab kegiatan. Saya bersedia mencontohkan berliterasi. Saya diminta membuat panduan,  program, dan hal lainnya yang terkait pelaksanaan literasi di sekolah.

Saya menyanggupi semuanya. Semoga dengan cara ini, saya membuka kesempatan kepada guru dan siswa untuk menjadi warga negara literat yang mampu berbahasa secara reseptif dan selanjutnya produktif mengomunikasikan bacaan dalam tulisan.  Semoga saya tidak lagi mendengar keluhan siswa yang berkata mereka malas ujian karena soalnya berupa bacaan panjang-panjang. Malas mengerjakan tugas guru karena harus membaca buku dulu. Malas kerja kelompok karena harus menulis laporan. Semoga juga tidak mendengar guru yang kebingungan harus menulis tulisan populer apa di koran yang telah melakukan MoU dengan sekolah sejak 3 tahun lalu karena tidak punya bahan untuk dijadikan konten tulisan.

Saya kembali membuka file proposal kegiatan literasi yang tahun lalu telah diajukan kepada pihak sekolah. Beberapa bagian saya sesuaikan dan dipertajam sehingga sangat bersifat teknis, tanpa disadari saya telah membuat panduan.  Saya pun membuat program perbulan agar memudahkan pihak berkepentingan melihat kemajuan dan menilai efektifitas program. Saya berpikir, penting sekali warga sekolah membaca panduan pelaksanaan literasi, juga mengetahui program selama satu tahun ajaran. Saya meminta izin pimpinan untuk mengunggah panduan dan program ke laman WA grup sekolah. Selain itu saya juga mengunggah petunjuk teknis yang harus dilakukan pada hari Senin ketika Gebyar Infak Buku dilaksanakan. Segera setelah diizinkan, saya unggah.

Hanya dua orang guru yang menunjukkan respon atas unggahan panduan,  program dan petunjuk teknis. Saya berbicara pada diri sendiri bahwa tentu saja tidak akan viral. Berbeda dengan unggahan  video, tulisan  berbau agama atau anjuran khasiat obat, hoax artis, sudah pasti disediakan waktu untuk mengetahuinya. Panduan dan program tentu saja tidak semenggoda tulisan hoax.

Diluar dugaan, beberapa siswa menghubungi melalui LINE. Mereka menanyakan literasi. Saya jawab seperlunya, karena sepertinya yang bertanyapun tidak jelas apa yang hendak ditanyakan. Saya merasa sedikit tenang. Ternyata literasi disambut baik warga sekolah. Jumlah yang merespon bukan jadi ukuran bahwa literasi yang sedang saya paksakan tidak diterima. Siapa tahu, yang tidak merespon sesungguhnya telah literat dan tidak perlu  mengkonfirmasi.

Rencana aktivitas yang berjejer sejak pukul 2 pagi, satu persatu selesai. Walapun, tersisa beberapa aktivitas yang belum tuntas, saya anggap saya telah melalui hari Minggu yang gemilang. Ajakan berliterasi diterima, itu sama maknanya dengan akan lahirnya perubahan besar dalam cara pikir. Membaca mengubah orang. You are what you read, anda adalah wujud dari yang anda  baca. Jika anda membaca AlQuran, maka wujud ayat-ayatnya adalah sikap, prilaku dan aktivitas anda. Jika anda membaca Bumi Manusia, Pramoedya, maka sikap lembut anda pada nasib kaum perempuan adalah pengaruh internalisasi bacaan dengan kepribadian anda.
Membuat orang lain bersedia membaca merupakan keberhasilan dan jalan bagi terbukanya  perubahan.

Saturday, August 19, 2017

Hari Ke-34

Sebulan lebih bersama 12 MIPA 6, saya sudah mulai kenal secara personal penghuni kelas ini. Setiap siswa dengan gaya, cara, katakter, bahkan masalahnya masing-masing. Semua menjadikan kelas ini menjadi unik sekaligus sempurna sebagai gambaran sebuah masyarakat kecil yang sedang mencoba meraih mimpinya.

Kelas saat ini  sedang merasa gundah dengan persiapan ujian praktek seni budaya. Kesulitan yang dihadapi dimulai dari pencarian tema. Kemudian mencari pelatih. Terakhir yang terberat adalah mencari biaya untuk membayar pelatih dan kostum.

Kesulitan pertama, mencari tema.  Berdasarkan permintaan dari guru seni budaya, para siswa diharuskan tampil secara klasikal namun dengan peran individual berkolaborasi menampilkan seni tari, seni suara, seni panggung, dalam satu paket tampilan. Penampilan yang melibatkan 39 orang siswa dengan hasil optimal tidaklah mudah. Harus ditemukan tema yang dapat memfasilitasi setiap siswa secara perorangan namun bisa menjadi bagian dari kelas. Saya hanya  membayangkan mungkin, tampil dalam bentuk satu paket tema yang rasional,  harus ada alur cerita. Tema cerita yang diusung harus secara adil melibatkan setiap siswa. Bisakah itu terwujud? Kekompakan kelas yang jadi taruhannya.

Kesulitan kedua,  menemukan pelatih. Ujian seni budaya  melibatkan tidak hanya satu kelas, namun 6 kelas. Hampir semua seniman dalam kota, habis teken kontrak. Siswa yang belum mendapatkan pelatih,  mencari, hunting bertanya ke kakak  kelas yang telah lulus dan telah lepas dari kesulitan ujian ini.
Saya lihat di LINE para siswa menemukan pelatih dari Bandung. Pelatih akan bulak balik dari Bandung.  Sebuah rencana yang terdengar repot bagi saya.  Pelatih yang lelah, harus melatih begitu banyak siswa. Semoga saja hal terburuk, seperti pelatih datang dan tidak bisa melatih karena kelelahan, tidak terjadi.

Kesulitan ketiga,  biaya. Para siswa diminta membayar, satu orang 10.000 rupiah untuk sekali datang sebagai pengganti ongkos pelatih. Belum termasuk kostum,  rias wajah dan properti. Melihat deretan yang harus dibayar,  artinya tidak sedikit uang yang harus dikeluarkan.  Para siswa menyisihkan sebagian dari uang saku untuk ini. Padahal, banyak iuran lain yang juga harus dipenuhi.  Saya dengar baru-baru ini para siswa harus berlatih infak, setiap orang berinfak sejumlah 25.000 rupiah dan harus selesai dibayar per 25 Agustus ini. Belum termasuk iuran bulanan untuk melengkapi pernak pernik kelas.
Saya melihat ada sisi baiknya yakni para siswa berlatih mengatur keuangannya. Namun sisi kurang pisitifnya adalah beban biaya ini kenapa baru muncul sekarang. Tidak bisakah sekolah memasukannya pada rapat orang tua dan menetapkan bahwa di kelas 12 orang tua mendapat beban tambahan untuk ujian praktek seni sekian, untuk beli sapu sekian, untuk infak sekian, untuk ujian praktek sekian,  jumlah semuanya sekian. Para orang tua dapat mencicil perbulan sekian.
Uang saku siswa berada pada posisi tidak sehat. Full day school, berangkat pukul 6 pagi dan pulang pukul 6 sore, membutuhkan paling tidak 3 kali makan di sekolah.  Sedangkan uang saku, sebagian besar siswa mengaku tidak naik. Bahkan ada siswa yang mengaku hanya diberi 10.000 rupiah perhari dan  harus mencakup beli bensin.

Di luar yang dituliskan di atas, saya membayangkan bagaimana mereka berlatih. Bisa saja pada saat janjian, semua siswa siap hadir. Pada saat pelaksanaan ada sebagian yang tidak hadir. Hal ini akan merepotkan. Selain latihan terganggu karena tidak lengkapnya siswa, latihan akan jalan ditempat, susah maju, karena pelatih bolak balik melatih yang baru bergabung.

Selain itu saya membayangkan dimana mereka akan berlatih. Adakah alat musik dan perangkat pendukung lainnya siap? Ataukah harus menyewa lagi? Artinya biaya lagi. Sewa tempat,  sewa alat, semuanya tentu tidak ada yang gratis.

Saya setuju dengan adanya ujian praktek pwr mata pelajaran. Namun tidak bisakah dibuat sedemikianrupa sehingga tidak menimbulkan kegundahan? Sebagai contoh, untuk mata pelajaran bahasa Inggris,  jika mau menimbulkan kegundahan,  buat ujian praktek berbicara dalam bentuk drama, per kelompok 5 sampai 7 orang,  pada saat tampil gunakan kostum, properti,  dan panggung. Niscaya dengan cara ini para siswa kalang kabut. Untuk menampilkan peran Red Riding Hood misalnya,  bisa saja dia membuat baju merah kepada tukang jahit.  Demi lengkapnya peran. Biaya mulai membeli kain sampai menjahit bukan sedikit. Hanya untuk tampil sekian menit.  Bolehlah bajunya menyewa, misalnya untuk peran Cinderella, sewa baju, rias, dan asesoris lainnya, tetap saja mahal.
Yang diujikan bukan hanya bahasa Inggris,  bagaimana jika mata pelajara  lain meminta hal yang sama? Kiamat kecil yang nanti dirasakan siswa. Padahal mereka sedang menggiatkan diri menghadapi Ujian Nasional dan SBMPTN, hal yang lebih pokok.
Ujian praktek, tidak menjadi utama, namun menyita hampir semua perhatian siswa. Paradox tragis.

Friday, August 18, 2017

Jumat, 18 Agustus 2017

Pelajaran peminatan Bahasa Inggris untuk kelas 12 berdurasi 4 jam tanpa jeda. Sebagian siswa memandang hal ini sebagai siksaan. Siksa yang pertama adalah waktu yang dianggap terlalu lama untuk hanya sekadar belajar bahasa Inggris. Siksa kedua, belajar setelah pukul 12.45 ke atas, secara alamiah badan meminta istirahat,  ngantuk muncul setiap saat. Siksa ketiga, memilih bahasa Inggris bukan karena minat,  tapi karena anggapan, dibandingkan mengambil peminatan Kimia, Matematika; bahasa Inggris lebih enteng, karena tak ada hitung-hitung dan membuktikan rumus. Siksa keempat, guru yang selalu hadir mengajar dianggap tidak manusiawi karena siswa tidak berkesempatan menikmati jam kosong.

Di sisi lain, saya memandang 4 jam peminatan tanpa jeda sebagai kesempatan. Kesempatan pertama, membimbing dan menemani siswa mendapatkan pengetahuan dan keterampilan baru secara tuntas. Waktu yang panjang, memungkinkan saya untuk mengobservasi perkembangan individu secara lebih mendalam. Kesempatan kedua, 4 jam tanpa jeda artinya saya bisa mengimplementasikan setiap tahapan rencana mengajar sambil mengamati proses dan hasilnya sekaligus. Kesempatan ketiga, saya dapat mencontohkan bahasa Inggris yang hidup yang bisa menjadi model dan dapat menjadi tawaran inspirasi bagi siswa.

Dua cara pandang yang berlawanan ini mengakibatkan muncul hal-hal tidak terduga di dalam kelas. Seorang siswa dari kelompok pembelajar lambat dan kurang antusias belajar, pada jam ketiga, tumbang. Dia mencoba tidur dalam kelas. Dan, berhasil. Saya tidak mengganggu nikmat Tuhan berupa tidur. Sekitar 30 menit dia bangun. Saya dan siswa lain sedang mencoba mendapatkan beberapa kosa kata baru melalui bacaan. Kami tidak terlalu memusatkan perhatian pada si tidur. Saya izinkan dia menikmati kebebasan, jika minggu depan masih begitu, saya akan memberikan perhatian khusus padanya.

Alkisah si tidur bangun, dan rohaninya telah kembali semuanya bersatu dengan raganya. Dia tergagap-gagap mengikuti latihan. Siswa yang lain hanya senyum-senyum kecil sambil berkomentar bahwa dia mah biasa tidur di kelas tanpa alasan.
Pada saat latihan selesai dan hasil latihan dikumpulkan, si tidur ke depan, juga mengumpulkan hasil latihannya. Saya lihat dengan cepat, karyanya tidak maksimal. Dia berkata, "Miss, seharusnya belajarnya ada jeda istirahat, 4 jam terlalu lama. Atau, seperti rencana Miss, belajarnya di luar kelas, pergi kemana, jangan disini terus, panas. Atau Miss, putar film saja. Lumayan, menghibur."

Saya merasa bangga dengan keberanian siswa menyampaikan ide dan keinginannya kepada guru. Yang menjadi keraguan, apakah siswa yang baru bangun tidur, pikirannya jernih dan usulannya benar-benar hasil pemikiran yang dalam, bukan malah igauan orang setengah bangun.

Saya menimpali diktean siswa yang baru bangun tidur dengan menjelaskan kepada seluruh siswa bahwa sekolah tidak mudah mengeluarkan izin bagi guru dan siswa meninggalkan kelas, kecuali program, kegiatan, dan hasilnya jelas serta memungkinkan untuk dilaksanakan. Rencana kecil seperti mengunjungi perpustakaan daerah, menjadi urusan besar karena letak sekolah begitu jauh dari perpustakaan daerah. Perlu kendaraan yang mampu mengangkut 43 orang, perlu waktu yang cukup untuk pergi dan pulangnya. Perlu koordinasi dengan pihak pengelola perpustakaan apakah siap menerima kunjungan.

Saya pun melanjutkan penjelasan bahwa memutar film tanpa ada dalam rencana pembelajaran, tidak bisa dilakukan. Kegiatan belajar di dalam kelas,  semuanya telah direncanakan dan ditanda tangani Kepala Sekolah.  Jika ditemukan di kelas kegiatannya berbeda jauh dengan rencana,  guru nanti dituding tidak profesional.

Terakhir saya tegaskan bahwa belajar 4 jam, atau 2 jam, bahkan nol jam, jika tidak niat,  terasa berat.  Mereka yang jadi juara lomba lari 100 meter, setiap hari berlatih berlari 10 km tanpa jeda. Tanpa mengeluh karena menyakini bahwa harus ada pengorbanan untuk sebuah keberhasilan. Belajar pun, perlu pengorbanan agar berhasil. Belajar tanpa pengorbanan hasilnya hanya bosan, ngantuk, lelah, capek. Hanya berpindah hari, berpindah kelas, tanpa ada pemberdayaan diri sendiri.

Terus, apa bisa dikatakan belajar tanpa jeda dan lelah bagi mereka yang sempat tidur pulas selama 30 menit?

Sistem jaminan kesehatan nasional

Kunjungan dari BPJS ke tempat saya bekerja memberikan wawasan tambahan terkait jaminan kesehatan. Informasi yang tersaji kurang lebih seperti di bawah ini.

Setiap orang memerlukan memiliki jaminan kesehatan diantaranya karena tarif biaya kesehatan terus meningkat, pergeseran pola penyakit dari  ringan ke degeneratif kronis, pasien tidak memiliki daya tawar, posisinya lemah, informasi asimetris, perkembangan teknologi kedokteran semakin maju, dan sakit berdampak sosial dan ekonomi.

Secara hukum setiap orang termasuk orang asing yang bekerja di lndonesia wajib memiliki jaminan sosial dan kesehatan.

Tahun 2019 diharapkan menjadi peserta kesehatan nasional yang diatur oleh pemerintah. Peserta jaminan kesehatan terdiri dari bukan penerima bantuan iuran (pekerja penerima upah) dan penerima bantuan iuran. Setiap pemberi kerja wajib memberikan layanan jaminan kesehatan.

Status kepersertaan suami istri harus didaftarkan masing-masing. Demikian juga anak-anaknya.

Electronic data badan usaha (e-dabu) untuk mendaftar menjadi anggota BPJS. Pembayaran dihitung 5% dari UMK. Iuran perbulan bagi para guru honorer didasarkan pada surat edaran yang dikeluarkan oleh Dinas Pemprov Jawa Barat.

Hak kelas rawat bagi pendaftar kolektif mendapatkan layanan kelas 1 dan 2. Yang ditanggung sebanyak 5 orang (suami/istri dan anak 3 batas usia 21 tahun, 25 tahun jika masih kuliah yang dilengkapi keterangan surat kuliah). Setelah usia  26, mandiri. Untuk pensiunan belum ada edaran khusus mengenai hal ini.

Pendaftaran dilakukan dengan langsung ke kantor BPJS, atau website bpjs.kesehatan.go.id, http://edabu.bpjs-kesehatan.go.id atau http://new-edabu.bpjs-kesehatan.go.id/, car free day, call center 1500400, siapkan KK dan KTP. Khusus untuk kelas 1 dan 2 wajib dengan melampirkan rekening tabungan. Kelas 1 80.000/bulan,  kelas 2 55.000, kelas 3 25.000. Satu keluarga kelasnya wajib sama.

Alur pelayanan kesehatan dimulai ketika peserta mengalami sakit, datang ke faskes 1,  ke rumah sakit, sifatnya berjenjang, kecuali emergensi.
Layanan yang diterima:  pemeriksaan,  pengobatan,  tindakan medis spesialistik, pelayanan penunjang diagnostik, persalinan semua anak, alat bantu kesehatan (kacamata 150.00), dll.  Ketika ada peserta naik dari kelas 1 ke VIP,  maka hitungannya 75% x hak layanan. 

Kartu askes diganti menjadi KIS.
Jika ada tagihan melebihi 75% x hak layanan, pemberian  alat kesehatan,  obat diluar tanggungan BPJS, Laporkan ke BPJS center di RSU
Asep Komarudin 08112221004
085624866681 (WA)

Untuk penyakit yang berobat rutin daftar ke prolanis atau rujuk balik, tidak harus daftar lagi ke RS. Minta PRB, ke dokternya, obat bisa diambil di klinik setiap bulan.

Thursday, August 17, 2017

Kamis, 17 Agustus 2017

Merdeka!!!
Hari ini, 72 tahun lalu, Soekarno mengumumkan kemerdekaan bangsa ini. Gegap gempita pengumuman tersebut disambut oleh seluruh bangsa. Mereka bersuka ria atas anugerah besar kemerdekaan. Merdeka diartikan bebas. Bebas dari cengkraman penjajah. Bebas menyuarakan hak-haknya sebagai rakyat merdeka.

Kini, pengumuman diumumkan lewat WA bahwa ada peringatan hari kemerdekaan ke 72 di sekolah pukul 07.00. Pengumuman disambut dengan ekspresi merdeka. Ada yang menolak karena ada kepentingan keluarga, ada yang diam saja menganggap upacara begitu-begitu saja, ada yang berkomentar untuk apa upacara, ada yang mengajak hadir sepulang upacara bisa jalan-jalan, memanfaatkan waktu dengan menghibur mata. Berbagai tingkah sebagai ekspresi merdeka menjawab sebuah informasi.

Saya meniatkan akan hadir upacara. Jika ditanya kenapa ikut upacara. Saya tidak akan menyiapkan jawaban politis ataupun berbau gaya-gaya orang sok nasionalis. Saya akan jawab sederhana sebagai berikut, ' saya diundang untuk upacara, kewajiban saya adalah memenuhi undangan.' Selesai.

Dan,
Saya pun berdiri mengikuti upacara, menyimak Proklamasi dibacakan oleh pembina upacara. Saya membayangkan seperti apa dulu Soekarno berdiri, seperti apa reaksi orang-orang ketika proklamasi dikumandangkan. Adakah diantara mereka yang menitikkan air mata pertanda kebahagiaan? Adakah diantara mereka yang merasakan dadanya seolah lapang, hilang himpitan dan tekanan dari sesama manusia yang mengaku dirinya lebih berkuasa atas manusia lainnya?

Seusai upacara saya memilih menulis di blog ini. Teman-teman guru yang lainpun memiliki kegiatan sendiri. Beragam kegiatan yang bisa ditangkap: guru merangkap penjual pakaian sedang menggelar dagangan pakaian anak-anak, ibu-ibu, kedurung, dan segala macam bungkus badan yang mungkin menggoda para guru untuk menjadikannya sebagai koleksi atau mengikuti trend. Ada juga guru yang menawarkan makanan, segala makanan.

Saya melaksanakan rencana hari ini yakni membuat surat undangan yang ditujukan kepada siswa (orangtua) untuk menyumbangkan satu buku non pelajaran untuk mendukung program literasi sekolah. Surat itu sendiri dikeluarkan oleh pihak sekolah, dengan demikian dibuat oleh TU. Saya merasa sedikit pesimis. Sepertinya program literasi ini akan kurang berhasil karena minimbya kepedulian dari pihak yag diharapkan peduli. Namun saya akan mencoba sekemampuan untuk membuat paling tidak para siswa mengenal literasi dalam arti yang paling sederhana yang mengumpulkan buku non pelajaran, bukunya disimpan di kelas, dibaca oleh anggota kelas, ditukar bukunya dengan kelas lain secara periodik, dan terus seperti itu. Guru pun diundang untuk ikut terlibat.
Membaca sepertinya sedikit terdengar tidak seksi di telinga para guru.

Kemerdekaan diharapkan membuat saya merdeka untuk mengajak siswa dan guru menjadi pembaca aktif buku-buku non pelajaran. Semoga dengan aktif membaca, dalam waktu dua atau tiga tahun kedepan muncul cara pikir dan cara pandang baru terhadap pendidikan, terhadap memberikan layanan pendidikan, dan menjadikan warga sekolah ini menjadi orang yang lebih baik.


Wednesday, August 16, 2017

Rabu, 16 Agustus 2017

Dimana-mana kombinasi warna merah dan putih mendominasi. Ada yang menjulang bergerigi seperti panji-panji berjejer di pinggir jalan. Ada yang bergelayut berkerut-kerut menempel di pagar atau pada bagian atap. Ada pula yang bergemelutuk ketika tertiup angin karena dibuat dari cangkang  gelas Aqua yang diwarnai merah putih dan digantungkan di atas kepala di gang-gang. Kertas-kertas merah putih dan bendera merah putih berkibar ditiup angin. Esok, hari ulang tahun kemerdekaan Republik Indonesia  yang ke 72.

Menilik siswa dan guru pada zaman kemerdekaan dari sudut bagaimana mereka mengisi kebebasan dari kungkungan untuk memperoleh pendidikan, sepertinya masih banyak yang harus kita lihat ulang.  Siswa, tahun ini menerima perlakuan sebagai warga negara yang diarahlan untuk memilih tempat belajar berdasarkan zona tinggal. Siswa juga menjadi subyek yang menerima layananan pendidikan dengan kurikulum 2013 dan lama di sekolah menjadi 8 jam perhari, 5 hari dalam seminggu, full day school.

Guru, tidak berbeda jauh dari siswa. Mereka menghabiskan waktu 8 jam perhari,  5 hari perminggu.  Mereka juga menjejalkan semangat kurikulum 2013 yang dihiasi dengan keterampilan abad 21, karakter, literasi dan belajar pada tahap berpikir tingkat tinggi.  Beban guru dan siswa sama beratnya. Lebih banyak guru dan siswa yang tidak berbahagia tahun ini akibat dari hal-hal yang disebutkan di atas.

Hari ini, ketika masuk sekolah, semangat kemerdekaan hampir tidak terasa. Tidak ada bendera yang berjejer-jejer atau bersesak-sesak di depan bangunan sekolah. Mungkin,  belum. Bendera mungkin akan dipasang esok.

Saya lihat sebagian anak berserakan di lorong-lorong. Mereka mengucapkan rasa bahagia karena guru jam pertama tidak hadir.  Katanya gurunya yang sedang mengurusi pengajuan pensiun. Kondisi ini menggambarkan bahwa anak-anak tidak menunjukkan orang terdidik yang memanfaatkan waktu seperti halnya orang terdidik.  Mereka tidak memanfaatkan waktu 1,5 jam untuk sekedar membaca. Membaca apapun. Berteriak-teriak, bernyanyi, bergitar, bergerombol,  duduk-duduk menghalangi tangga, benar-benar pilihan tindakan yang kurang tepat. Selain membuang waktu pagi dengan percuma, juga mengganggu orang lain.
Guru yang tidak hadir meninjukkan semangat mengakhiri masa kerja tanpa kasih. Jika dia mengasihi siswanya, tentulah paling sedikit dia memikirkan ketidakhadirannya di kelas sehari ini. Dia memikirkan dengan apa ketidakhadirannya bisa diisi. Mungkin bisa dengan memberikan tugas membaca, atau menulis. 

Saya tidak terlalu memikirkan anak yang tanpa kasih ditinggalkan gurunya. Yang menjadi pikiran bagaimana agar mereka menurunkan suaranya sedikit agar suara saya bisa didengar oleh kelas. Saya longok keluar dan meminta mereka masuk kelas. Sedikit keberisikan berkurang, walaupun sepertinya mereka melanjutkan kemerdekaan tanpa guru di dalam kelas.

Saya mengajar kembali dan mencoba membuat seisi kelas tidak tergoda untuk ikut berisik menyuarakan kebebasan ala anak tanpa guru.

Jam pertama dan kedua telah usai. Saya memilih untuk memeriksa hasil pekerjaan siswa di ruang guru.

Waktu berjalan terasa amat cepat, adzan dhuhur berkumandang. Saatnya memberikan hak tubuh, istirahat. Semoga dengan demikian badan tidak terlalu cepat aus.

Tuesday, August 15, 2017

Selasa, 15 Agustus 2017

  Cianjur agak sejuk, semalam diguyur hujan. Pagi ini, Excel, anak saya berangkat sendiri ke sekolahnya. Dia kembali memakai sepeda sebagai alat transportasi versi dirinya. Excel menganggap angkot melelahkan. Selalu ngetem atau nunggu lama, gerah, ada penumpang yang merokok, dan hal-hal lain yang tidak diharapkan seperti copet.

Saya akan membicarakan Excel sebentar. Excel satu-satunya siswa SD yang menggunakan sepeda ketika pergi dan pulang sekolah. Dia dilatih selama 3 hari agar dapat menjadi pengguna jalan yang tidak membahayakan dirinya juga pengguna jalan yang lain. Sejak kelas 4 SD menggunakan sepeda. Dia dikenal sebagai anak pengguna sepeda. Sekarang dia masuk SMP kelas 1, dan masih melanjutkan bersepeda atas keinginannya sendiri. Bagi saya, sebagai orang tua menjadi suatu kebanggaan.

Bersepeda menjadi kebanggaan karena anak menunjukkan keberanian dalam berkendaraan di jalan raya, menunjukkan kemampuan menjadi pengguna jalan yang dewasa. Hal lain, bersepeda tidak menyumbang polusi.  Terakhir, secara perlahan menyumbang pada kesehatan badan dan mental.

Back to our bussiness.  Selasa, kata peneliti adalah hari yang paling produktif  karena telah lepas dari l hate Monday. Hari yang paling malas, kabarnya Jumat karena dekat ke weekend. Saya merasakan spirit yang sama dengan hari Senin.  Lelah. Saya tidak mencari kambing hitam bahwa full day school penyebabnya. Hanya saja, setelah full day school,  selalu saja terasa lelah.  Akibatnya, kelelahan. Ketika kelelahan muncul,  saya malah tidak bisa tidur.  Sering saya baru bisa tidur pukul 11 atau 12an. Pukul 2 pagi sudah bangun dan tidak bisa tidur lagi sampai nanti pukul 11an malam. Terlalu lama bangun.

Berbicara full day school, seorang siswa dari kelas 12 MIPA 1 menghampiri saya. Dia mengatakan  dia telah mengirim dua video via LINE.  Katanya untuk mengabarkan kepada guri bahwa kurikulum 2013 tidak seduai dengan kebutuhan siswa. Misalnya penerapan full day school, menimbulkan lebih banyak kesulitan bagi anak, seperti dirinya, ketimbang manfaat. Saya manggut-manggut saja sambil memikirkan video apa yang dikirmnya. Seingat saya, saya belum add siswa ini di LINE saya.

Dia menunjukkan bahwa dia telah mengirim video. Salah ID ternyata. Akhirnya saya minta agar dikirim ulang.  Saya tidak sempat memeriksa apakah dia mengirim atau tidak, saya harus mengajar kelas lainnya.

Saat mengajar kelas 11, praktik berbicara. Siswa diminta menceritakan pengalamannya berbagi saran atau rekomendasi. Mereka berbagi saran rata-rata kepada temannya atau saudaranya. Hampir semuanya menceritakan saran terkait move on. Hanya satu dua yang berbeda, yakni milih lbu atau ayah karena bercerai, milih kursus, dan jangan takut sekolah.

Hal yang menarik perhatian saya ketika siswa berpraktik berbicara  (bahasa Inggris) adalah urusan pilihan kata. Ada siswa yang sedikit fasih berbahasa lnggris dan innalillahi dia berbicara kasar sekali. Berulang-ulang menggunakan kata God damn, what a fuck, dan kata-kata tak pantas lainnya dengan alasan dia sedang menceritakan ulang dia memberikan saran kepada saudaranya jadi bahasanya kasar.

Fenomena penggunaan bahasa kasar dalam bahasa asing sedikit mengejutkan saya. Siswa dengan akses sangat sedikit pada komunikasi lisan langsung dengan native atau pengguna bahasa lbu, menunjukkan kemampuan berbahasa kasar yang di luar dugaan. Dia mengaku meniru bagaimana aktor-aktor film barat  berbicara. Saya terkejut. Jangan-jangan salah saya. Dulu saya pernah menyarankan bahwa salah satu cara belajar bahasa lnggris melalui mengimitasi apa yang dikatakan di film.  Saya sedikit lega karena dia mengatakan bahwa dia mencontoh film-film dan video-video di youtube. Saya menyarankan kepada siswa menonton film anak-anak yang pengucapannya jelas seperti dalam film Strawbery shortcake. 

Seusai semua praktik,  saya menyampaikan ketidaksetujuan penggunaan bahasa kasar di manapun, apalagi di sekolah. Saya sampaikan kepada siswa bahwa pilihlah  bahasa yang sopan  yang menunjukkan  bahwa kita orang terdidik.

Ketika hendak pulang saya dikabari bahwa salah satu guru yang selama ini jadi guru induksi saya diterima kuliah S2 di UNJ dan mulai kuliah tanggal 5 September.  Sebuah kabar gembira.  Rizkinya di UNJ bukan di UPI seperti harapannya. Semoga sukses. 

Monday, August 14, 2017

Hari Ke-20 Permulaan

Kegiatan upacara Senin terdengar rutin dan biasa-biasa saja. Susunan acaranya tidak pernah berubah, statis, dan ibarat ritual, mulai dari pemanggilan komandan upacara ditutup dengan pembubaran peserta upacara.
Upacara Senin ini, pembina upacara mencontohkan literasi dengan cara mengutip buku. Sebuah permulaan yang bagus. Selain itu, hari ini 14 Agustus adalah hari pramuka. Peserta upacara,  baik guru ataupun siswa semuanya berpakaian pramuka. Mereka yang tidak berpakaian pramuka terpaksa berbaris terpisah.
Seusai upacara, saya mengumumkan rencana literasi yakni setiap siswa harus membawa buku non pelajaran 1 buah dan disumbangkan ke sekolah.  Saya rasa, ajakan membawa buku ke sekolah tidak menarik. Hal ini menjadi tantangan, pembiasaan literasi artinya tidak mendapatkan sambutan yang antusias.
Memulai sesuatu tidak mudah,  itu hukum alamnya.
Mengantisipasi hal tersebut saya menghubungi bagian kesiswaan yang memiliki akses ke seluruh siswa. Saya hendak meminta bantuannya untuk mengirimkan sms ke seluruh ketua kelas mengenai himbauan membawa 1 buku pada hari Senin depan. Dia mengangguk setuju, semoga diikuti dengan tindakan.
Saya meninggalkan ruang kantor guru untuk mengajar kelas 10 MIPA 6. Telah siap saya akan menyimak siswa kelas ini menyampaikan formulir dan ciri-cirinya secara bergiliran. Agar tidak merasa dirugikan, saya mempersilakan siswa mengambil nomor untuk tampil.
Hari ini hanya sempat menengok sesaat ke kelas 12 MIPA 6. Saya menanyakan perihal latihan bersedekah. Mereka menjawab pada waktu yang ditetapkan insyallah jumlah sedekah yang disyaratkan akan terpenuhi. Saya sebetulnya merasa khawatir, jangan-jangan ada siswa yang tidak siap dengam program sedekah ini.  Bukan tidak mungkin ada siswa yang sebetulnya tidak mampu namun memaksakan diri karena malu.
Saya kembali ke kelas mengajar di kelas lain. Hari Senin pada full day, terasa sangat melelahkan. Semoga esok saya kembali bertenaga dan kuat menemani siswa belajar. Menjelang usia 50, terasa bahwa tubuh tidak lagi sekuat dulu.

Sunday, August 13, 2017

Pilihan

Geus lila teu panggih jeung manehna. Ti saprak lulus SMA, kuliah, rumah tangga, boga anak dua, karak panggih deui. Mimitina asa karagok rék ngobrol téh. Sok bisi aya tuduhan, aya nu ngomén asa teu marantes geus kolot, masih ngobrol jeung lain muhrim. Atawa sok bisi aya nu nyarita, ongkoh wé maké kerudung,  sirah ditutupan ari ngobrol  jeung salaki batur.

Keur saheulaanan kasieun jadi bahan omongan téh teu pati dipaliré. Pék teh teuing rék ngomong kitu kieu ge, maranéhna moal mantuan mun kuring keur susah, moal nulungan mun kuring aya kabutuh. Kuring lah-lahan ngaregepkeun caritaanna.

Pokna ti saprak kaluar ti SMA. Manéhna tuluy kuliah. Kuliahna ngan 3 taun, terus bae kawin ka awéwé pilihanna. Lulus kuliah,  gawé di perusahaan luyu jeung kaahlianna.  Kulantaran tacan waé boga anak, waktu pamajikanna ménta idin hayang kuliah S2, dihègkeun.

Manéhna karirna nérékél, nya kitu pamajikanna. Lulus kuliah langsung disanggap jadi dosén. Sampurna hirupna ku katambahan boga anak.  Laju pamajikanana kuliah deui, ka S3, di Amerika, beasiswa ti kampusna. Manéhna teu ngahalangan, kuliahna cenah moal lila. Ngarah teu melang, anakna dibawa. Kari manéhna sorangan, anak pamajikan di Amerika.

Mimiti kabeuli imah, tuluy boga mobil, bisa nyieun kolam renang sisi imah, medah meduh, panghasilan leuwih ti cukup. Imah pereték, lengkep, eusina sagala aya. Ngan tiiseun, pamajikan teu balik-balik. Alesan kagok keur nyakolakeun budak kilangbara nepika bérés kuliah, atuh nepika SMA di Amerika. Teu bisa maksa balik da aya benerna, sakola di Amerika leuwih dihargaan ijazahna batan di jero nagara sorangan. Manéhna kudu manjangkeun sabar, ulah sirik lamun ningali aya hiji kulawarga ngabring indung-bapa-anak. Kudu ngalaérkeun nunggu, ulah ngarep-ngarep hayang ngabring saanak pamajikan.

Ngaregepkeun kana caritaanna, kuring ukur ngaheruk. Ras harita ka waktu SMA.  Manéhna kakak kelas béda sataun. Waktu manéhna lulus, terus kuliah. Kuring milu reueus. Ngan teu lila, waktu taun kadua, pas kuring lulus katarima di salahsahiji universitas, sakota jeung manehna. Harita  manehna mah tingkat 2. Kabayang jadi deukeut jeung manehna. Ngan bayangan téh kudu disinglar jauh pisan.  Teu gugur teu angin, manéhna ngirim surat, eusina menta supaya ngaku dulur baé. Hartina mah, putus, ngan cara lemes.

Kuring mapalérkeun sorangan ku soson-soson kuliah. Ti saprak narima surat,  les baé taya béja taya carita.  Kuring sok ngalamun sugan baé,  sugan baé. Hanjakal, lapur.

Kuliah bérés. Kuring langsung gawé. Lumayan bisa mayar kosan ku sorangan. Lila-lila bisa méré ka kolot. Hirup téh asa taya lungsur langsar.

Teu lila, saprak jadi pagawé negri, kuring kawin ka lalaki pamilih kolot. Cenah mah aya bau-bau sinduk kénéh ngan geus jauh pisan. Ngarangkepna kuring oge tujuanna taya lian  pikeun ngaraketkeun duduluran anu mimiti poékeun obor.

Prung baé kawin. Haté mah masih kénéh ngarep-ngarep manéhna,  sugan baé ngirim surat anu eusina anu sok kaimpikeun tengah poé.

Sataun kaduana, kuring boga anak. Salaki robah adat jeung pasipatanna. Kuring jadi loba salah, loba dicarékan, nu leuwih nyeri salaki sok wani neunggeul, téga nyijek, jeung tindakan anu teu pantes dipigawé ka jalma cenah anu dipikanyaah, batur hirup.

Basa boga anak nu kadua, salaki beuki angot galakna. Bosen nyiksa kuring, anak ogé sok kagiliran. Kuring waléh, teu kuat, ménta pisah.  Batan dijawab, kuring meunang bogem atah kana tonggong. Bébéja ka kolot, teu wasa, karunya,  kaayaan kolot nu geus deukeut ka sengsérang padung. Bisi baé matak ngabarubahkeun, tungtungna kolot kagegeringan, kumaha mun nepika ka maotna. Kuring neureuy buleud kasusah ku sorangan.

Basa manehna murubut cimata majar sirik kana rumah tangga kuring anu sakitu mulus banglusna, silih élédan, jeung salaki babarengan bisa panggih sirikna saban usik. Hanjakal pajarna téh baheula kabengbat ku babaturan kuliahna.  Kuring ukur seuri koneng. Kuring teu kedal ngabéjakeun kumaha asli jero-jeroanna rumah tangga kuring. Kuring ukur sanggup nganuhunkeun yén geus bisa panggih. Geus bisa eureun ngarep-ngarep. Geus bisa ngupahan manéh horéng lain kuring hungkul anu gering pikir téh.

Friday, August 11, 2017

Hari Ke-19

Tidak terasa, saya telah tiba pada hari Kamis di minggu pertama Agustus. Berbicara Kamis, ada hal khas yang hanya di Cianjur.

Kamis menjadi hari istimewa bagi sebagian masyarakat Cianjur.  Pada hari Kamis ada  pengajian,  atau belajar mengkaji Al-Qu'ran. Terdapat satu pengajian yang sangat populer sehingga menghadirkan manfaat ekonomi dari kegiatan tersebut, selain dari manfaat utama yaitu  meningkatnya pengetahuan keagamaan. Pengajian tersebut berada di Bojongherang,  maka terkenal dengan sebutan Pengajian Bojongherang. Pengajian tersebut dipimpin seorang kyai besar dengan penyimak dalam satu kali datang hampir seribu.

Fenomena pengajian yang mendatangkan keuntungan secara ekonomi menjadi keunikan tersendiri untuk kota Cianjur. Banyaknya pengunjung ke pengajian, mengundang hadirnya pedagang tidak tetap, atau pedagang dadakan. Mereka berjualan berjubel memenuhi jalan raya Bojongherang. Kegiatan pengajian dimulai pada pukul 7, diawali dengan hadiah. Acara selanjutnya nadoman dan membahas kajian tentang isi Al-Qu'ran. Acara berakhir sekitar pukul 11 siang.

Acara pengajian yang dimulai pukul 7 dengan hadiah. Hadiah ditujukan kepada yang telah meninggal baik dari kaum cendekia alim ulama ataupun dari jamaah pengajian yang telah berpulang. Pada pengajian ini, para jamaah memiliki kartu anggota. Andai suatu saat ada jamaah meninggal, dia dihadiahi doa pada awal kegiatan pengajian. Biasanya jamaah membawa air pada botol. Mereka menyimpan botol dekat podium tempat pimpinan pembawa doa berharap mendapatkan berkah dari do'a yang dipanjatkan ribuan jamaah.

Selesai hadiah, acara dilanjutkan dengan nadoman. Nadoman adalah membacakan kisah Nabi yang dilantunkan dalam nada naik turun seolah bernyanyi. Nadoman disampaikan dalam bahasa Arab yang mungkin artinya telah dikuasai oleh para jamaah. Namun bagi mereka yang belum tahu tentang isi nadoman, barangkali dia hanya mendengar nyanyian saja.

Acara pokok adalah mempelajari isi Al-Qu'ran yabg dipimpin Kyai sepuh. Semua jamaah menyimak, ada yang duduk di dalam ruangan mesjid, bagi yang tidak mendapatkan tempat duduk diatas tikar atau koran di luar mesjid sampai ke jalan-jalan.

Pengajian Bojongherang dapat menjadi wisata unik bernuansa agamis. Secara wisata, disepanjang jalan raya yang mendadak menjadi pasar, dijual segala hal yang mungkin tidak dapat ditemukan di tempat lain. Makanan tradisional dari luar kota seperti Sukabumi dan Tasik, bisa ditemukan di pasar dadakan ini. Menurut seorang penyuka Opak ketan,  dia menyebutkan bahwa Opak ketan Sukabumi kualitasnya di bawah Opak Ketan Tasik. Opakketan dari Tasik terasa lebih berisi, dia menggunakan kata 'hampos' untuk menggambarkan opak ketan yang kurang berisi.

Seusai pengajian, pengunjung dapat menikmati jajanan tradisional yang mungkin sudah tidak mudah ditemukan.  Bermacam makanan tradisional yang dapat kembali dinikmati diantaranya: leupeut kacang,  kupat, rangginang, dodongkal, talem, apem, mentok, putri noong, urab jagong, kulit, noga, geco, maranggi. Bagi mereka yang membutuhkan peralatan rumah tangga mulai dari cocolek  (sodet) sampai coét (ulekan) semua ada. Atau, yang menyukai fashion,  berjejer baju-baju muslimah dilapak-lapak yang ditutup terpal plastik yang didirikan pada badan jalan.

Kekhasan pengajian Kamis Bojongherang Cianjur memberikannya priviledge pada setiap hari Kamis jalan menuju tempat pengajian ditutup dan berubah jadi pasar.  Fenomena ini hanya milik pengajian Bojongherang saja.
Magnit kesohoran pengajian  Bojongherang mendatangkan banyak keuntungan bagi berbagai kalangan.  Untuk pecinta belajar agama, mereka akan menemukan praktik belajar agama dengan metode ceramah. Bagi mereka yang menyukai kuliner,  dapat menemukan makanan-makanan unik. Bagi penganggur  mereka datang, dan menjadi copet. Merekalah yang mengotori kesakralan pengajian karena nafsu ingin kerja enteng tapi hasilnya banyak.
Pengajian Bojongherang perlu dilestarikan untuk mengenalkan sistem pengajian jenis 'bandung kuping' atau menyimak.

Hari Ke-18

Kelas 12 harus sudah mulai didaftarkan sebagai calon peserta ujian nasional. Wali kelas harus menyerahkan formulir beserta lampirannya pada tanggal 11 Agustus. Sekolah bertanggung jawab melakukan entry data mulai 14 sampai 31 Agustus. Data tersebut diverifikasi tanggal 4 sampai 15 September.
Menyangkut pendataan ini, pagi ini saya mendampingi siswa mengisi formulir. Formulir sesungguhnya sudah diberikan sejak kemarin dan dibawa ke rumah masing-masing agar segera di tandatangani oleh orang tua.

Menarik sekali, ketika pagi ini di cek ulang, hanya satu dua siswa yang formulirnya telah ditandatangani orangtua. Pesan tak terucapkan tidak tercapai.  Saya lupa tidak menyebutkan harus ditandatangani orangtua, dengan anggapan para siswa 'ngeuh' bahwa itu harus di tanda tangan tanpa harus diberitahu. Pengisian formulir yang terlihat sederhana,  rupanya menjadi hal besar bagi siswa. Muncul berbagai hal yang tidak saya dugakan.

Masalah yang muncul ketika pengisian formulir dilakukan yang dapat daya tangkap adalah sebagai berikut. Qobus kebingungan katanya dia belum menemukan SKHUN dan ijazahnya ada dimana. Saya sarankan agar dicoba dicari lagi. Jika tidak ada, coba ke SMP lagi,  biasanya sekolah menyimpan data foto kopi ijazah dan SKHUN. Ada juga siswa yang tidak dapat mengakses dimana surat-surat penting tersebut disimpan oleh orang tuanya. Dua hal ini menggambarkan bahwa pengarsipan yang tertib dan mudah diakses belum menjadi kebiasaan yang dilakukan pada level keluarga.

Masalah lainnya adalah pengisian nama orang tua. Penambahan gelar, membuat nama orang tua menjadi tidak sama dengan ijazah SMP.  Penggunaan nama lbu sebagai pengganti ayah kandung telah meninggal. Saya menanggapi ketidaktahuan siswa dengan menjelaskan bahwa sebaiknya nama orang tua yang tertulis pada ijazah, mulai dari SD sampai universitas, sama. Meninggal atau tidak. Ketika ayahnya meninggal, ayah biologis tetap sama. Tidak dibatasi hayat.

Ada pula siswa yang mengosongkan nomor induk dengan alasan tidak memiliki kartu pelajar dimana nomor induk biasanya ducantumkan. Mereka juga mengosongkan kolom nomor induk sekolah nasional, alasanya pada ijazah tidak sama. Ada 2 nisn untuk satu nama yang sama. Atau namanya sama, berbeda tanggal lahir. Yang membuat saya tidak berhenti harus tersenyum atas keluguan mereka adalah pada saat pengisiaan kode SKHUN. Mereka tidak berani mengisikan kode SKHUN karena jumlah kolom yang tersedia dengan jumlah karakter pada nomor kode jumlahnya tidak sama. 
Kekisruhan ini saya tampung dan diberi solusi semudah mungkin  untuk mereka.

Siswa juga merasa bingung karena tidak dapat memfoto kopi. Saya paham itu. Mereka pulang sore dan mungkin dokumen baru ditemukan pada malam hari. Pagi hari  mereka harus masuk kelas pukul 6.30, foto kopi belum buka. Karena yang belum memfoto kopi hanya sedikit, saya tawarkan bahwa untuk foto kopi bisa saya bantu.

Kegiatan literasi dalam arti membaca teks, tidak sempat tersentuh. Mampu mengisi formulir saya anggap termasuk berliterasi. Para siswa ada yang belum melek mengisi formulir. Informasi bahwa ayah kandung tidak dapat diganti namanya mengisyaratkan bahwa mereka tidak paham ikatan ayah-anak secara biologis tidak bisa digantikan.

Tuesday, August 8, 2017

Hari Ke-17

Pembahasan tentang Pembawa Mayat baru bisa dilanjutkan lagi pada kegiatan literasi pagi ini. Saya menyoroti kalimat ‘Dalam kepalanya jalan lebih panjang dari doa yang tak putus.’ 

Kalimat diatas menyuguhkan dua hal, doa dan jalan. Mengapa doa bisa lebih panjang dari jalan yang tak putus. Saya jelaskan kepada siswa bahwa ini pemikiran terbalik. Seharusnya doa lebih panjang dari jalan yang tak putus. Penjelasannya seperti berikut ini. Jalan, sepanjang apapun, ada akhirnya. Artinya, jalan yang panjang, berliku, seolah tiada akhir, sesungguhnya ada ujungnya. Sedangkan doa, adalah jalan non fisik yang dibuat oleh manusia untuk menghantarkan keinginannya kepada Tuhannya. Jalan untuk sampai pada ujung doa, atau terkabul, tidak ada yang mengetahuinya.

Jika seseorang ‘Dalam kepalanya jalan lebih panjang dari doa yang tak putus’ menandakan bahwa orang ini sangat putus asa. Si suami memanggul mayat dan menyusuri jalan fisik. Kita melihatnya dia sedang menyusuri jalan sambil memanggul mayat. Sesungguhnya dalam pikiran si suami,  dia sedang menyusuri jalan non fisik, dia sedang berjalan besama istrinya menuju ke kehidupan yang baru.
Kesimpulannya, doa adalah jalan. Setiap orang harus berani menempuhnya walaupun tidak pernah tahu dimana ujung jalannya.

Hari ini, saya bertemu lagi dua kali dengan siswa 12 MIPA 6. Pertama ketika literasi dan kedua ketika mengajar, selama 90 menit. Pada pertemuan hari ini saya membahas ‘Caption.’  Saya bertanya kepada siswa apa definisi Caption, mereka menjawab berdasarkan pengalaman dan pengetahuan mereka. Misalnya caption adalah ungkapan perasaan, mungkin didasarkan pada caption yang dibuat pada Instagram. Saya merasa sedih. Definisi caption ada pada buku paket yang mereka bawa sejak 2 minggu lalu. Saya menduga, jangan-jangan mereka hanya membawa-bawa bukunya ke rumah-ke sekolah-ke rumah- ke sekolah tanpa dibaca. 

Saya meminta siswa agar membuka halaman 17 dan membaca baris ke satu agar mereka dapat menemukan definisi caption. Pada buku tertulis ‘Caption, also known as cutline, is a text below an image.’ Definisi yang sangat sederhana. Saya bertanya kepada siswa,’ what is another name for caption? (apa istilah lain untuk caption?) Mereka terlihat bingung. Jangan-jangan yang dibaca baru saja, tidak mereka pahami. Padahal saya ingin mereka serempak menjawab ‘cutline.’ Tapi itu berakhir pada keinginan saja. saya kira, saya berkeinginan terlalu tinggi tanpa mengajak siswa memahami apa padanan kalimat tersebut dalam bahasa Indonesia. Saya trjemahkan kalimat ke satu tersebut dan saya ulang pertanyaan tadi. Dan syukurlah mereka bisa menjawab.

Hal di atas menyiratkan bahwa kosa kata siswa belum kaya. Saya harus memikirkan cara bagaimana agar mereka memiliki banyak kosa kata. Tidak ada kata terlambat untuk memulai. Saya berpikiran, ke depan, ketika mengajar, saya akan mengulang-ulang kata yang saya asumsikan baru, dan siswa mencoba menggunakannya dalam kalimat. Semoga dengan cara itu berhasil. Selama ini mencatat kosa kata baru pada buku catatan, tidak berhasil. Kosa kata hanya jadi catatan saja, tidak mereka ingat.

Saya memberikan koran The Jakarta Post agar para siswa bisa membedakan caption dengan cutline. Saya sangat bahagia melihat siswa begitu semangat menemukan caption. Mereka dapat membedakan caption dan cutline dengan mudah. tidak terasa waktu sudah berakhir. Saya merencakan minggu depan akan mengajak siswa membuat caption sendiri. Fotonya mereka ambil sendiri dari sekitar sekolah. Seperti apa hasilnya, kita tunggu minggu depan

Monday, August 7, 2017

Hari Ke-16

Memulai minggu akademis dengan apel pagi. Dulu, saya mendengar kata apel merupakan pembuka kegiatan untuk kantor-kantor. Saya baru mengetahui, bahwa apel juga ada di sekolah. Mungkin apel di sekolah sama dengan apel pada kegiatan pramukaan.

Apel Senin ini membahas kedisiplinan. Pembina apel menghimbau agar datang tepat waktu, menjaga kebersihan kelas, dan senantiasa menunjukkan yang terbaik sebagai siswa SMAN 2 yang terpilih. Semua yang hadir, diam. Mungkin mereka mencerna himbauan dengan interpretasinya sendiri-sendiri.
Saya tidak melakukan pendampingan literasi pada hari Senin, selain tidak ada jadwalnya, kalaupun memaksakan diri, tidak ada cukup waktu untuk itu. Segera setelah apel selesai, para siswa menerima penjelasan tambahan dari Kesiswaan, mereka semua duduk di lapangan. Sementara para guru diminta langsung menyimak brifing.

Brifing membahas sikap guru terhadap siswa. Disinyalir ada ketidaksinkronan antara pemberian pembelajaran bagi siswa yang kesiangan yang dilakukan di piket dengan di kelas. Sebagai contoh, siswa yang terlambat hadir, langsung ditangani oleh piket (yang mengakibatkan siswa tersebut semakin lambat masuk ke kelas). Siswa tersebut masuk ke kelas dengan membawa surat keterangan terlambat masuk dan disebutkan alasannya. Sejatinya dengan adanya surat keterangan ini, siswa dapat langsung mengikuti pelajaran. Pada kenyataannya terdapat guru yang memberikan perlakuan tambahan ketika siswa tersebut sampai ke kelas. Hal ini merugikan siswa. Siswa yang seharusnya bisa mengikuti pelajaran, malah melaksanakan tindakan lain yang diminta oleh guru kelas sehingga dia tidak dapa mengikuti pelajaran.

Perlakuan guru kepada siswa yang terlambat masuk ke kelas, atau melanggar tata tertib, tidak sama. Variasi perlakuan ini, merugikan siswa bahkan bukan tidak mungkin memunculkan teror secara psikologis dan mental bagi siswa. Perlakuan yang dianggap remeh temeh dan tak berarti adalah verbal atau penggunaan kata-kata yang tidak membuat siswa menjadi orang lebih baik. Perlakuan lainnya berupa hal yang dilakukan secara fisik yang menurut siswa sama sekali tidak ada kaitannya dengan pelajaran yang diampu guru.

Tidak dipungkiri bully (perundungan) masih hadir di dalam kelas, di WC, di kantor guru, di sekitar lorong, dan di sekolah itu sendiri. pelaku perundungan bisa siswa itu sendiri, bisa guru, bisa pihak lain yang ada di dalam sekolah.

Perundungan yang dilakukan oleh sesama siswa bisa saja oleh siswa itu sendiri tidak dianggap sebagai perundungan. Bisa karena ketidaktahuan, bisa karena memang sengaja pura-pura tidak tahu. Sebagai contoh, seorang siswa mendiamkan, tidak menegur, menunjukkan wajah tidak suka karena ada hal yang tidak sesuai dengan yang diinginkannya. Ketiga sikap tadi termasuk perundungan. Selama perbuatan seseorang membuat orang lain merasa terganggu, terusik, kecewa, takut, sedih, marah atau emosi lainnya, itu masuk ke dalam perundungan. Selama ini perundungan selalu ditujukan pada hal-hal yang besar, seperti tindakan pelecehan, pemukulan, pemalakan. Sesungguhnya banyak perundungan yang terjadi disekitar siswa namun mereka menagabaikannya. Sesungguhnya tindakan mengabaikan perundungan baik kepada pelaku ataupun kepada yang dirundungi adalah awal yang salah. Pelaku seharusnya mendapat sanksi, dan pihak yang menjadi korban, seharusnya mendapat pelayanan pemulihan secara mental. Jika korban dibiarkan bukan tidak mungkin, dia merasa sekolah sebagai neraka.

Guru, berpotensi besar untuk menjadi pelaku perundungan. Pertama, guru memiliki kekuatan (power) yang tidak bisa dilawan siswa. Kedua, guru berada pada pihak yang pasti menang. Ketiga, guru memandang bahwa siswa harus dididik. Keempat, guru memandang bahwa tindakan apapun yang dilakukannya dianggap wajar sebagai wujud perannya sebagai orang tua di sekolah. Keempat hal tadi, hanya sebagian kecil dari alasan guru menjadi pelaku perundungan kepada siswanya.

Guru bisa saja tidak mengetahui bahwa dirinya sedang melalukan perundungan. Atau, bisa saja dia mengetahuinya, namun dia beralasan bahwa dia sedang melakukan ‘pendidikan’, ‘shock therapi’, atau alasan lainnya yang bersumber dari dirinya bukan dari amanat dan tanggung jawabnya sebagai pendidik. Misalnya, guru berniat melucu, tapi malah tidak lucu bagi siswa. Guru tersebut berkata ,’ eh kamu keriting, tulisan kamu jelek sekali mirip cakar ayam, balik lagi sana ke SD, belajar nulis!”

Kalimat di atas akan disambut gelak tawa sekelas. Tanpa disadari guru tersebut juga teman sekelas yang tertawa tadi, orang yang dirundung merasa terluka jiwanya. Dia merasa harga dirinya dijatuhkan. Tulisan yang kurang bagus, sebaiknya tidak menjadi alasan bagi guru untuk merundung siswa. Beri siswa tersebut latihan menulis, berulang-ulang, lihat hasilnya setelah seminggu. Terlalu cepat menyalahkan siswa, tidak membantu siswa untuk belajar menghormati gurunya (bahkan dirinya sendiri).

Guru disarankan sangat berhati-hati ketika berbicara kepada siswa. Semua ucapan guru direkam dengan baik oleh siswanya. Semuanya. Mereka menjadi perekam dahsyat yang menjual nama guru kepada masyarakat luar. Kemuliaan guru dipertaruhkan ketika siswa memutar rekaman pengalaman bersama gurunya kepada pihak ketiga. Misalnya, seorang siswa mengobrol kepada temannya di dalam angkot atas perlakuan gurunya pada hari itu. Si siswa tadi membahas kesulitan dirinya memahami pelajaran yang diberikan gurunya. Dia berucap bahwa gurunya ibarat lukisan abtrak, sulit untuk dipahami. Pembicaraan ini terdengar oleh supir angkot. Supir angkot berbicara kepada supir angkot lainnya, dia berkata bahwa guru SMA anu bukan guru yang pantas jadi guru, abstrak, dia membuat siswanya bingung, materi yang diajarkannya tidak dipahami muridnya sendiri. Supir angkot yang mendengar pembicaraan tadi berbicara lagi kepada keluarganya, dia berkata, jangan memasukkan anak-anak kita ke SMA anu, gurunya aneh-aneh, ibarat abstrak, anak-anak kita akan jadi korban guru yang tidak jelas.

Penjelasan di atas menggambarkan bahwa apa yang telah diucapkan tidak bisa kita kendalikan. Kalau menurut Pramoedya Ananta Toer seorang sastrawan hal ini dikatakan sebagai ‘apapun yang kita tulis, ketika telah dipublikasikan, itu bukan milik kita lagi.’ Artinya, ketika si penulis membuat tulisan tujuannya untuk mengabarkan berita sedih karena orangtuanya meninggal misalnya, dan tulisannya di muat di Facebook. Bagi pembaca bisa saja dipandang sebagai tindakan kurang terpuji. Meninggal dan upacara penguburan merupakan hal yang sakral, penghormatan terakhir kepada jasad si mayat. Sangat kejam ketika momen sakral tersebut dimuat di FB. Foto dan tulisan tersebut dianggap setara dengan foto dan tulisan lainnya yang kondisinya sama sekali berbeda. Misalnya foto dan tulisan ‘seperti apa kamu 20 tahun ke depan.’

Brifing secara rutin untuk menyamakan persepsi bagaimana meningkatkan prilaku baik diantara siswa dan guru ketika berada di sekolah sangat disarankan. Brifing menyoal sikap jarang dilakukan kecuali ketika ada kasus. Ada anggapan para guru semuanya telah bertindak profesional, tertib secara etika, loyal pada norma. Padahal sesungguhnya ketika guru berada di dalam kelas, dan pintu kelas tersebut di tutup, tidak seorangpun yang tahu apa yang dilakukan oleh guru tersebut. Kita hanya akan mendengar kabar berbeda-beda dari siswa dan guru itu sendiri mengenai apa yang sesungguhnya terjadi, dan tentu saja itu sudah bukan lagi gambaran kejadian asli, tapi ingatan mengenai apa yang telah terjadi. Jika diminta dijelaskan ulang, setiap orang akan menyampaikan dari sudut pandangnya masing-masing. Semoga kedepan tidak ada lagi perundungan yang terjadi di sekolah atau di tempat manapun di dunia ini.

Sunday, August 6, 2017

Hari Ke-15

Perjalanan menuju kepada sesuatu yang baru, yang mungkin sebagian tidak dapat diterima akal sehat. Perpaduan antara fakta, sejarah, dan mitos. James Dananjaya, penulis buku Folklore Indonesia, menyarankan agar setiap orang Indonesia mencatat setiap cerita, dongeng, kisah, atau mitos yang beredar disekitarnya sehingga nantinya dapat menjadi bahan kajian yang lebih mendalam.  Dijadikan folklore milik masyarakat yang membangun dan menjadi penyangga bagi keberadaban masyarakat selanjutnya. 

Saya menyimak nara kisah yang meriwayatkan nenek moyangnya yang tinggal di. Seperti kehawatiran James Dananjaya, penyaji kisah, tidak memiliki sebaris tulisanpun tentang kisah nenek moyanyanya yang menurutnya patut untuk disebarluaskan dan diketahui banyak orang. Dengan tidak ditulisanya kisah nenek moyangnya, sedikit sekali orang yang dapat mengakses kisahnya. Mungkin, ketika dia meniggal, maka terkubur pula kisah-kisah kepahlawanan, kehebatan moyangnya bersama jasadnya.

Kisah tentang kehebatan moyangnya dari Desa Cibanggala, Kecamatan Campaka, Cianjur dia tuturkan adalah seperti di bawah ini. Burhan mengaku bahwa dia diceritai neneknya sendiri mengenai kakeknya yang dipanggil Ayah Sapnay. Diduga Ayah Sapnay keturunan Raja Sagalaherang. Ayah Sapnay memiliki banyak ilmu yang tidak masuk akal, sebagai contoh untuk menyalakan api, dan memasak pada tungku (Hawu dalam bahasa Sunda) dia menggunakan kakinya. Oleh karenanya dia dikenal sebagai Aki Sakti. Namun sayangnya dia tidak menurunkan kesaktiannya kepada anak cucunya karena dalam pandangannya nanti akan datang guru-guru lain. setelah dia bicara seperti itu, mulai bermunculan guru-guru agama di berbagai daerah di Cianjur, seperti Kyai Cibitung, Kyai Gentur.

Burhan juga menjelaskan bahwa Presiden Sukarno pernah berkunjung kepada Aki Sapnay sebanyak 3 kali. Dia mencurigai bahwa Presiden Sukarno masih ada kaitan saudara. Kedatangan Presiden terkait kesaktiannya. Bahkan kabarnya bendera mereh putih ada di Sukanagara. Misalnya, Aki Sapnay yang kabarnya ketika merasa lelah berjalan dan betisnya dianggap sebagai penyebab lelah. Dia menyimpan betisnya dirumahnya dan berjalan ringan tanpa betis. Kesaktian lainnya, dia mampu menghancurkan batu ibarat tepung.

Kabarnya Aki Sapnay meninggal karena tenggelam, namun mayatnya tidak ditemukan. Dia menyelam ke dalam sungai karena ada ikan yang tidak dapat ditangkap. Tersiar kabar bahwa Aki Sapnay tidak meninggal namun muncul di Ciranjang, 3 bulan setelah dia dikabarkan tenggelam.
Kehebatan Aki Sapnay, menurut Burhan, tercatat di pemerintah di Bandung. Namun dia sendiri lupa alamatnya. Kesaktiannya tercatat karena ada lomba kesaktian antara para jawara. Dikisahkan ada pria yang selama hidupnya belum pernah melihat darahnya sendiri. Dia mengumumkan bahwa barang siapa yang mampu membuatnya bisa melihat darahnya sendiri, maka dia akan tunduk dan berguru kepada orang itu. Aki Sapnay menerima tantangan tersebut dan bertarung dengan orang itu. Selama 3 hari 3 malam terus bertanding. Segala hal berbau kesaktian dan aneh ditunjukkan, seperti bisa terbang, bisa berjalan di atas air, ilmu kanuragan. Hanya ada satu hal yang tidak bisa dilakukan oleh si penantang yaitu ‘nerus bumi’ atau masuk ke dalam tanah. Si penantang mengaku kalah.
Banyak orang yang berguru kepada Aki Sapnay. Ilmu yang diberikan berupa jangjawokan, yaitu menggunakan bahasa Sunda kuno. Jangjawokan digunakan untuk membuat orang lain tunduk, membuat orang lain jatuh cinta. Alkisah suatu hari, di Citiis, Sukanagara, Aki Sapnay melakukan perjalanan. Dalam perjalanan tersebut mereka kemalaman. Aki Sapnay mengeluarkan kesakatian, telunjuknya bisa mengeluarkan cahaya, sehingga jalan menajdi terang.

Burhan mengaku bahwa ilmu Aki Sapnay sama dengan ilmu-ilmu yang sama dengan Dalem Cikundul. Dalam buku catatan yang ditunjukkan temannya yang berisi kisah para wali, namun sayang dia tidak mencatatnya. Temannya menceritakan bahwa ayahnya berpesan agar siapapun keturunannya ingin pintar dan kaya, bawa ke Gunung Citamiang. Ada tiga makam disana. Bagi yang memiliki kemampuan, gunung tersebut terlihat seperti sebuah kerajaan. Pohon-pohon yang berjajar terlihat seperti ‘leuit’ atau penyimpanan bahan makanan pokok, padi. Gunung Citamiang berada di sekitar Cibanggala.

Pada buku tersebut juga dikisahkan bahwa ada wali bernama Syekh Syarif Hidayatulah yang menemui Syekh Maulana Mansyur yang menyebutkan bahwa syeh Maulana Mansyur bukan calon surga karena tidak pernah shalat dan tidak permah melakukan shalat Jumat. Ketika Syekh Maulana Mansyur meninggal, disetiap tempat (ada tujuh tempat), dan bisa dikubur di Banten. Syeh Maulana Mansyur bukan tidak pernah ibadah, tapi ibadahnya di Mekah, karena dia termasuk wali ‘pecah telor’ atau orang yang beribadah di Mekah. Cara beribadahnya dengan menggunakan kesaktian, memejamkan mata, maka tubuhnya berada di tempat yang diinginkan. Tempat yang menunjukkan untuk berangkat ke Mekah ada di terowongan di daerah Pamijahan, Cirebon. Buku tersebut menyebut nama lain Eyang Kahfi.

Selanjutnya Burhan menyebutkan bahwa ilmu hikmat berbeda dengan ilmu kewalian. Ilmu kewalian adalah ilmu yang jelas siapa yang menurunkan ilmunya. Sedangkan ahli hikmat artinya orang yang belajar mempelajari ilmu agama, rajin, puasa, rajin wirid dan bisa membantu orang lain yang berada dalam kesusahan. Burhan menjelaskan bahwa urutan kewalian yang dia ketahui dimualai dari Sayidina Ali, terus turun ilmunya ke Godog kepada Sunan Rohmat, dari Sunan Rohmat turun ilmunya kepada wali 9, dari wali 9 turun ke Syeh Syarif Hidayatullah-Banten, turun ke Syeh Maulana Mansyur, terus turun ke Panguraga, turun kepada Syeh Batari Gentur-Cianjur, turun ke Aki Sapnay. Burhan mengaku bahwa dirinya adalah orang terpilih yang akan menerima ilmu kewalian, suatu saat. Dia mengaku telah bermimpi bahwa dirinya didatangi orang berbaju hijau, dan dia sendiri diminta berbaju hijau. Namun, akunya, permintaan dari mimpi tersebut belum dilaksanakan.

Kisah yang disampaikan Pak Burhan, campur aduk antara mitos, legenda, dan fakta. Bagian mana yang sekadar mitos, misalnya orang berbaju hijau yang datang dalam mimpi. Ada mitos yang beredar dan ditanamkan dalam pikiran-pikiran orang Islam bahwa Nabi Muhamad, SAW berbaju hijau dan beliau tidak dapat digambarkan wajahnya karena keagungannya. Untuk memenuhi kerinduan kepada beliau, maka kabarnya bagi orang yang beruntung akan bertemu dengannya dalam mimpi, tandanya beliau berbaju hijau.

Fakta, Pamijahan ada di Cirebon, dan benar ada terowongan. Namun ketika terowongan tersebut digunakan para Wali untuk menembus tanah dan kemudian muncul di Mekah mengikuti shalat Jumat. Kabar penggunaan terowongan untuk jalur menuju Mekah dibuat dalam buku yang dijual di sekitar Pamijahan. Unsur kebenarannya masih harus ditelusuri. Secara fisik, jarak Cirebon-Mekah, jika menggunakan pesawat perlu waktu 9 jam. Bagi yang percaya, hanya dengan memejamkan mata, maka tubuh bisa pindah kemana saja, yang berbicara bukan logika, tapi keyakinan.

Banyak kisah-kisah aneh yang beredar di Cianjur, dan memerlukan kajian lanjutan. Semoga siswa saya ada yang berminat menjadi ahli sejarah dan dia mulai mengumpulkan sejarah lokal. Bangsa Indonesia umumnya, termasuk penduduk Cianjur, tidak memiliki catatan sejarah yang jelas. Sejarah yang dibuat di Indonesia, adalah sejarah yang mengikuti kemana Belanda menjajah. Sejarah sebelum Belanda datang, dan bagaimana kerajaan-kerajaan dan bagaimana masyarakat penduduk asli hidup, gelap tidak ada catatannya. Kekhawatiran bangsa ini kehilangan jati diri, telah dimulai dari tidak adanya artefak sejarahnya. Penghilangan ini seolah sengaja. Misalnya, pada jaman tahun 1900an, seorang anak tidak boleh mengenal nama ayah ibunya, dalihnya ‘pamali, doraka’ atau tabu. Akibatnya, setiap anak hanya mengenalh orangtuanya dengan sebutan ayah, aki, buyut, tanpa tahu namanya siapa. Pohon keluarga (family tree) yang membuatk seseorang tahu asal muasalnya hilang.