Saturday, March 4, 2017

Literasi dalam Pembelajaran (edisi 1)

Hal menarik dari kegiatan mendampingi guru adalah para nara sumber yang memberikan wawasan tambahan kepada para guru. Nara sumber adalah para pemikir yang sangat peduli pendidikan Indonesia. Ambil contoh, Ibu Pangesti Wiedarti. Beliau penggagas literasi yang mengharapkan peserta didik di Indonesia tanpa kecuali menjadi warga negara dan warga dunia yang literat. Beliau menawarkan cara literasi melalui pembiasaan terlebih dahulu. Secara teratur, peserta didik dan pendidik menghabiskan waktu 15 menit setiap hari untuk membangun kebiasaan membaca. 

Selanjutnya setelah terbangun kebiasaan, masuk tahap literasi dalam pembelajaran.
Literasi dalam pembelajaran tentu memiliki strategi. Terdapat dua strategi pokok yakni: 1) strategi pemahaman wacana/teks dan 2) kompetensi representasi multimoda. Mencapai kedua hal tersebut tentulah memerlukan kerja keras semua warga sekolah, terutama dari pendidik. Pada saat mengajar, pendidik menguraikan literasi kedalam tiga bagian penting yakni: 1) sebelum membaca, 2) ketika membaca dan 3) setelah membaca (Wiedarti, 2017).  

Pada pengajaran berbahasa strategi pemahaman teks dibagi kedalam sebelum, selama, dan setelah membaca. Misalnya, pada tahap sebelum membaca, peserta didik diajak untuk menebak apa topik bacaan yang akan dibahas. Atau misalnya dengan meminta peserta didik menyebutkan tujuan membaca sebuah teks.

Selanjutnya, pada tahapan saat membaca, penting bagi peserta didik untuk dapat menunjukkan pemahaman terhadap bacaan/teks dengan cara menjelaskan informasi rinci/tersurat/tersirat dari teks yang sedang dibacanya. Cara lain adalah dengan memvisualisasikan isi bacaan. Penggunaan mind map dan concept map sebagai representasi pemahaman isi  bacaan dapat digunakan sebagai alternative visualisasi pemahaman. Menggali apakah peserta didik memahami membaca dapat pula diuji dengan meminta mereka menunjukkan inferensi bacaan atau menunjukkan keterkaitan isi bacaan (lihat teori Theme-Rheme yang diajukan Halliday).

Pada tahap setelah membaca, pendidik dapat mengetahui sejauh mana peserta didik memahami bacaan dengan memberi kesempatan kepada peserta didik untuk membuat ringkasan, mengevaluasi teks dan mengkonfirmasi, merevisi, atau menolak prediksi.

Pertanyaannya, apakah mungkin guru melakukan semua hal di atas?
Jika ditanya mungkin, jawabannya sangat mungkin. Pengajar bahasa asing (juga bahasa Ibu, dan Bahasa Nasional) sesungguhnya telah melakukan hal yang disebutkan di atas. Mengapa seolah terasa membingungkan? Masalahnya, istilah. Pemberian nama pada sebuah aktivitas, bagi sebagian guru bisa saja menimbulkan kebingungan. Kita lihat secara lebih dekat mengapa para guru pengajar bahasa telah menerapkan strategi literasi dalam pembelajaran.

Ketika seorang guru bahasa Inggris misalnya akan memberikan pengalaman belajar menyusun teks biografi orang terkenal. Dia memulainya dengan memberi foto-foto orang terkenal secara nasional dan internasional pada berbagai bidang. Dia menanyakan siapa mereka, apa keberhasilan mereka, pada bidang apa mereka berkiprah. Peserta didik menjawab bahwa mereka mengenal sebagian dari tokoh-tokoh nasional dan internasional yang ditanyakan. Setelah itu guru menanyakan kira-kira apa pelajaran hari ini yang akan dibahas, peserta  didik tanpa ragu menjawab orang terkenal, orang hebat, atau jawaban sejenis.

Ketika peserta didik menjawab orang keren, penyanyi idolaku, atau inspirasiku, mereka telah melakukan prediksi. Mereka memperkirakan bahwa yang akan mereka pelajari berdasarkan stimulus berupa foto yang mereka lihat.

Bagimana pada saat membaca?

Apakah ketiga cara ini bisa diterima? Ahli literasi lain, menyatakan tidak setuju. Bahasan ketidaksetujuannya ditulis pada entri blog selanjutnya.


(to be continued) silahkan beri komentar dan pertanyaan (jika perlu) agar tulisan ini berfungsi

No comments:

Post a Comment