Hal menarik dari kegiatan mendampingi guru adalah para nara
sumber yang memberikan wawasan tambahan kepada para guru. Nara sumber adalah
para pemikir yang sangat peduli pendidikan Indonesia. Ambil contoh, Ibu
Pangesti Wiedarti. Beliau penggagas literasi yang mengharapkan peserta didik di
Indonesia tanpa kecuali menjadi warga negara dan warga dunia yang literat. Beliau
menawarkan cara literasi melalui pembiasaan terlebih dahulu. Secara teratur,
peserta didik dan pendidik menghabiskan waktu 15 menit setiap hari untuk
membangun kebiasaan membaca.
Selanjutnya setelah terbangun kebiasaan, masuk tahap literasi dalam pembelajaran.
Literasi dalam pembelajaran tentu memiliki strategi. Terdapat
dua strategi pokok yakni: 1) strategi pemahaman wacana/teks dan 2) kompetensi
representasi multimoda. Mencapai kedua hal tersebut tentulah memerlukan kerja
keras semua warga sekolah, terutama dari pendidik. Pada saat mengajar, pendidik
menguraikan literasi kedalam tiga bagian penting yakni: 1) sebelum membaca, 2)
ketika membaca dan 3) setelah membaca (Wiedarti, 2017).
Pada pengajaran berbahasa strategi pemahaman teks dibagi
kedalam sebelum, selama, dan setelah membaca. Misalnya, pada
tahap sebelum membaca, peserta didik diajak untuk menebak apa topik bacaan yang
akan dibahas. Atau misalnya dengan meminta peserta didik menyebutkan tujuan
membaca sebuah teks.
Selanjutnya, pada tahapan saat membaca, penting bagi peserta
didik untuk dapat menunjukkan pemahaman terhadap bacaan/teks dengan cara
menjelaskan informasi rinci/tersurat/tersirat dari teks yang sedang dibacanya. Cara
lain adalah dengan memvisualisasikan isi bacaan. Penggunaan mind map dan concept
map sebagai representasi pemahaman isi
bacaan dapat digunakan sebagai alternative visualisasi pemahaman. Menggali
apakah peserta didik memahami membaca dapat pula diuji dengan meminta mereka
menunjukkan inferensi bacaan atau menunjukkan keterkaitan isi bacaan (lihat
teori Theme-Rheme yang diajukan Halliday).
Pada tahap setelah membaca, pendidik dapat mengetahui sejauh
mana peserta didik memahami bacaan dengan memberi kesempatan kepada peserta
didik untuk membuat ringkasan, mengevaluasi teks dan mengkonfirmasi, merevisi,
atau menolak prediksi.
Pertanyaannya, apakah mungkin guru melakukan semua hal di
atas?
Jika ditanya mungkin, jawabannya sangat mungkin. Pengajar bahasa
asing (juga bahasa Ibu, dan Bahasa Nasional) sesungguhnya telah melakukan hal
yang disebutkan di atas. Mengapa seolah terasa membingungkan? Masalahnya,
istilah. Pemberian nama pada sebuah aktivitas, bagi sebagian guru bisa saja
menimbulkan kebingungan. Kita lihat secara lebih dekat mengapa para guru
pengajar bahasa telah menerapkan strategi literasi dalam pembelajaran.
Ketika seorang guru bahasa Inggris misalnya akan memberikan
pengalaman belajar menyusun teks biografi orang terkenal. Dia memulainya dengan
memberi foto-foto orang terkenal secara nasional dan internasional pada
berbagai bidang. Dia menanyakan siapa mereka, apa keberhasilan mereka, pada
bidang apa mereka berkiprah. Peserta didik menjawab bahwa mereka mengenal
sebagian dari tokoh-tokoh nasional dan internasional yang ditanyakan. Setelah
itu guru menanyakan kira-kira apa pelajaran hari ini yang akan dibahas,
peserta didik tanpa ragu menjawab orang
terkenal, orang hebat, atau jawaban sejenis.
Ketika peserta didik menjawab orang keren, penyanyi idolaku,
atau inspirasiku, mereka telah melakukan prediksi. Mereka memperkirakan bahwa
yang akan mereka pelajari berdasarkan stimulus berupa foto yang mereka lihat.
Bagimana pada saat membaca?
Apakah ketiga cara ini bisa diterima? Ahli literasi lain,
menyatakan tidak setuju. Bahasan ketidaksetujuannya ditulis pada entri blog
selanjutnya.
(to be continued) silahkan beri komentar dan pertanyaan
(jika perlu) agar tulisan ini berfungsi
No comments:
Post a Comment