Marriot, nama yang rasanya pernah terdengar. Entah dimana, kapan, dan acara apa. Tapi pikiranku mengarahkan ke bom. Peristiwa pengeboman. Apa iya pernah ada kaitan antara pengeboman dengan Marriott.
Aku kali ini bersentuhan dengan nama Marriott. JW Marriott? Semula, Marriott saja yang menjadi patokan. Oleh karenanya ketika turun pesawat ditawari Blue Bird diantar, aku sebut kata Marriott serta merta oh sekian ribu kata mereka kalau mau diantar ke nama Marriott, hotel.
Perjalanan menuju Marriott dalam pengalaman pertama menginjak Surabaya disuguhi pemandangan jalan macet karena akan menyambut kehadiran Wapres yang akan meresmikan salah satu Universitas berNU. Jalan dibuat "steril", dan jalan orang kebanyakan dibuat sesak. Di sisi kiri kanan jalan dihiasi warung,-warung, kios-kios , dan toko-toko, suasana yang sama ketika masuk ke kota besar untuk pertama kali seperti Medan.
Menelusuri sebuah kota untuk pertama kali, selalu memberikan kesan yang sama yakni tipikal kota sedang berkembang dimana gedung2 baru ramping pencakar langit tumbuh menjamur sedangkan di sekitarnya bangunan tua hampir reyot bertahan untuk berdiri. Kesenjangan yang kaya makin kaya yang miskin makin miskin nyata terlihat nyata dari komposisi gedung ini.
Sambil menikmati Surabaya dengan bonus udara siangnya yang panas, sopir berbelok ke kiri. Terlihat gerbang nan megah, tertulis JW Marriott. Aku tertegun, untuk pelatihan guru, gerbangnya setinggi ini, gedungnya semegah ini. Ini pasti salah. Dan memang salah. Ketika kulihat di undangan, bukan JW Marriott tapi Fairfield Marriott.
Pelatihan pedagogik profesional guru biasanya pada hotel, namun tidak di hotel seperti JW Marriott. Biasanya di tempat pelatihan2 yang disediakan oleh LPMP, dengan kamar sederhana, makan sederhana, dan bangunan sederhana. Bagi guru, tempat sangat sederhana sekalipun (tidak ada air untuk mandi, tidak ada nasi karena kehabisan) tidak pernah dipermasalahkan. Kemuliaan guru membuatnya menerima tanpa banyak keluhan, dianggap sebagai bagian dari penerapan pendidikan karakter.
Kembali ke Marriott, setelah yakin bahwa itu bukan Marriott yang dicari, supir Blue Bird putar balik stir dan menuju Marriott untuk guru. Marriott yang masih sekitar enam kilo meter lagi jauhnya. Hotel baru dibangun dengan kamar model minimalis, dan makan minimalis (banyak guru tidak kebagian makan karena keburu habis, padahal makannya ala porsi guru yang ingin terlihat langsing dengan mengurangi karbo).
Tiga malam di Fairfield Marriott, memberikan kesan mendalam. Kegiatan guru yang menuntut kinerja overtime (mulai pukul 7.30 selesai pukul 12 malam) memungkinkan untuk berkata "aku tidak ingat bagaimana rasanya tidur di Marriott, tidak pula ingat apakah sempat tidur.
Bagiku sendiri, Marriott mengenalkan pada guru dari wilayah timur Indonesia: Kupang, Bali, Malang. Pertemuan yang mengesankan karena bertemu guru2 pekerja keras yang siap memajukan anak bangsa.
Marriott menjadi tambahan spot tempat yang pernah aku kunjungi. Seperti halnya tempat lain yang pernah aku kunjungi, Marriott meninggalkan kesan tersendiri.
No comments:
Post a Comment