Wednesday, January 10, 2018

Jurang kualitas sekolah elit dan sekolah alit makin menganga

Standar nasional pendidikan, salah satunya standar kompetenti lulusan  yang dicapai melalui penguasaan kompetensi dasar (KD) mata pelajaran, merupakan acuan gambaran seperti apa kualitas lulusan siswa dari satu jenjang pendidikan tertentu.  KD untuk jenjang SD menggambarkan kualifikasi yang harus  dikuasai siswa lulusan SD, misalnya secara pengetahuan: siswa memahami huruf abjad dan secara keterampilan: siswa terampil menggunakan huruf abjad untuk mengekspresikan ide dalam ragam tulis. 

Penguasaan kompetensi memahami dan menggunakan huruf abjad sejatinya dikuasai oleh siswa sekolah dasar, sehingga ketika siswa tersebut melanjutkan pendidikan pada jenjang yang lebih tinggi diasumsikan secara otomatis dapat mengikuti pembelajaran tanpa mengalami kesulitan terkait keterampilan membaca, menulis, berbicara, dan menyimak dan menyampaikan gagasan dalam bahasa tulis ataupun lisan.

Fenomena yang menarik ketika pada level SMA, kelas 12, terdapat siswa yang belum menguasai keterampilan merangkai huruf menjadi kata sehingga dapat memvisualisasikan gagasan dalam kata, apalagi dalam kalimat. Bagaimana siswa tersebut dapat melewati kelas 7, ,8, 9, 10, 11, sehingga kini berada di kelas 12?

Siswa ini termasuk siswa yang mengalami kesulitan belajar. Hal ini dibuktikan dengan ketidakmampuan menulis untuk menyampaikan ide.  Tulisan siswa ini sama sekali tidak dapat dipahami. Hasil tulisannya hanya merupakan rangkaian huruf yang tidak bermakna seperti misalnya 'gidder, peomg,' dan serangkaian huruf-huruf lainnya yang tidak merepresentasikan apapun.

Siswa tersebut berasal dari sekolah dengan layanan standar nasional pendidikan di bawah minimal. Sebagai contoh, siswa dilayani oleh guru kelas atau guru-guru SD yang bersedia meluangkan waktu di sore hari sepulang ngajar di SD. Siswa SMA seharusnya dilayani oleh guru mata pelajaran. Ketidaktersediaan unsur tenaga pendidik yang mengampu mata pelajaran, berakibat langsung terhadap bagaimana siswa mendapatkan pembelajaran dan bagaimana mereka diukur keberhasilan belajarnya.

Sekolah kecil, baru berdiri, nun jauh di pedesaan, tentu saja tidak semudah sekolah  elit dalam menyelenggarakan pendidikan. Sekolah elit dengan mudah melampaui standar, salah satunya dengan tersedianya tenaga pendidik yang bersertifikat sesuai mata pelajaran yang diampunya.  Bagaimana dengan nasib sekolah-sekolah alit (kecil) yang berdarah-darah mengejar standar nasional? Mereka kepayahan mencari guru. Mendatangkan guru, bukan tidak mungkin dilakukan, namun sekolah alit, tertatih-tatih, dananya pun alit.
Perlu dipikirkan lebih lanjut bagaimana agar sekolah alit berhenti  mengeluarkan lulusan tidak kompeten.

No comments:

Post a Comment