Seorang siswa menghadap (dan dengan sedikit drama) meminta agar nilai rapornya diperbesar. Alasan yang diajukannya karena dia akan masuk perguruan tinggi tertentu, yang menurut informasi yang diperolehnya, nilai mata pelajaran tertentu harus minimal 80, dan dia berharap nilanya bisa diubah menjadi 90. Angka yang akhir tersebut dalam pandangannya "aman dan memuluskan" masuk ke perguruan tinggi impiannya.
Sebagai guru, saya mencantumkan angka sebagai gambaran kemampuan siswa dan kemudian diserahkan kepada orang tua sebagai laporan hasil belajar. Sejauh ini, para siswa mengaku bahwa angka-angka tersebut sesuai dengan usaha dan unjuk kinerjanya. Namun menjadi masalah baru ketika angka-angka tersebut dengan terpaksa harus diganti atas nama menggapai impian.
Sebagian siswa memandang bahwa angka yang fantastis dapat membuka pintu pada perguruan tinggi idaman. Oleh karenanya, berlomba-lomba meminta perubahan angka sebagai penanda kemampuan penguasaan suatu mata pelajaran. Kondisi ini sangat memprihatinkan. Yang menjadi tujuan adalah angka, bukan seberapa kompeten.
Keterpercayaan terhadap angka, yang menjadi nilai siswa bisa saja hilang jika pemerolehannya melalui negosiasi yang tidak sehat. Angka-angka hasil kompromi tentu saja tidak mewakili kemampuan empunya. Selain itu, angka hasil katrolan melanggar esensi penilaian. Konfirmasi angka dari hasil penilaian lain dapat dengan mudah menunjulkan keterpercayaannya. Sebagai contoh nilai rapor dicek ulang dengan hasil Ujian Sekolah, jika terjadi perbedaan yang amat mencolok, misalnya pada raport tertulis angka 90, pada hasil Ujian Sekolah tertera 70. Lebih buruk lagi, pada hasil ujian nasional terpampang 50.
Nilai rapor hilang keterpercayaannya. Dalam pandangan saya, angka penanda kemampuan yang sesuai kemampuan lebih elegan dan benar-benar bernilai ketimbang angka melambung tapi tidak dapat dipertanggungjawabkan.
No comments:
Post a Comment