Dalam satu minggu ini, saya kedatangan beberapa lbu-lbu orang tua siswa SMP. Mereka datang dengan tujuan yang sama: meminjam buku bacaan non pelajaran berbahasa Sunda.
Kedatangan mereka untuk kembali pulang dengan tangan hampa. Beberapa buku berbahasa Sunda yang saya miliki telah dipinjam pada minggu sebelumnya, juga, oleh siswa-siswa SMP.
Saya mengetahui bahwa ada Gerakan Literasi Sekolah yang sedang digulirkan di Indonesia (termasuk Jawa Barat: West Java Reading Challenge) sebagai upaya menyiapkan generasi muda menjadi individu literat. Yang mampu mengkaji informasi dari berbagai sumber (teks, gambar, dan layar/screen) secara bijak. Sebagai permulaan, literasi dasar dipraktekan sebagai kegiatan membaca buku non pelajaran dalam kurun waktu tertentu secara rutin dan dipantau oleh guru.
Para siswa bersedia membaca dengan kondisi seolah terpaksa di awal kegiatan. Mereka, mungkin belum menemukan bahwa buku adalah jendela yang dapat membantunya berjelajah secara imajinatif. Para siswa juga, mungkin menganggap bahwa membaca adalah pemenuhan tugas dari guru. Bukan untuk menjadikan dirinya sebagai orang berbeda secara pengetahuan sebagai hasil dari membaca.
Buku dalam bentuk cetak (printed) ataupun digital dalam bahasa Indonesia (apalagi berbahasa Sunda) sama sulitnya untuk dapat diakses pembelajar.
Buku dalam bentuk cetak berperan penting dalam membangun keintiman pembaca dengan buku. Saat tangan membuka bungkus buku dan mencium bau khas kertas baru, sensasi ini hanya dialami pembaca ketika bersentuhan langsung dengan kertas.
Tidak semua anak Indonesia mengalami sensasi di atas. Kebanyakan mereka mengenal buku pada saat diberi setumpuk buku paket pelajaran di kelas satu SD. Buku paket terasa mahal karena biasanya uang tidak dikeluarkan untuk membeli kertas. Sebagian orang tua hanya membelikan buku pada saat anaknya sekolah, dan hampir tidak pernah menyarankan menabung sedikit dari uang saku anaknya untuk membeli buku non pelajaran.
Orang tua seperti ini tidak bisa disalahkan. Harga buku masih mahal. Harga buku tidak senilai harga semangkuk Bakso atau Mi Ayam.
Oleh karenanya tidak heran jika di rumah-rumah orang Indonesia lazimnya tanpa perpustakaan keluarga.
Mahalnya harga buku disempurnakan dengan semakin sedikitnya waktu untuk membaca. Zaman ini, yang katanya milik generasi Z, anak-anak telah terlebih dahulu akrab dengan gawai, bukan dengan buku.
Waktu untuk membaca menjadi langka. Menjadi pemandangan mewah jika melihat anak atau orang dewasa asik membaca.
Sekalipun buku dan waktu untuk membaca buku terasa tinggi bayarannya, semoga saja, semangat lbu-lbu yang bersedia meminjam dan mencarikan anaknya buku, memberikan sedikit sumbangan bagi bangkitnya semangat membaca di kalangan anak-anak.