Thursday, January 26, 2017

Pendekatan pengajaran kodrati

Hampir setiap hari kita disuguhi informasi kurang menyenangkan tentang pendidikan di negeri ini. TV memberitakan tawuran antar pelajar yang secara brutal saling bertukar lempar batu. Siswa SD membunuh temannya karena hal kecil yang sama sekali tak masuk akal untuk jadi alasan merenggut nyawa seseorang. Baru-baru ini diberitakan seorang lbu kehilangan anaknya untuk selamanya karena nyawanya dengan tanpa manusiawi disingkirkan temannya sendiri pada saat kegiatan kampus yang dikelola kakak tingkat.

Kengerian, kekejaman, dan tindakan biadab merusak sakralnya pendidikan. Pendidikan yang masih menjadi tumpuan perubahan hidup, berubah menjadi tempat yang menghancurkan hidup.

Anak seorang petani disekolahkan dengan hampir menjual sawah yang menjadi satu-satunya sumber biaya pendidikannya. Anak pedagang, disekolahkan dengan menghabiskan hampir sampai ke modal pokoknya.
Pendidikan tidak melahirkan anak petani, anak pedagang yang terdidik. Tamat sekolah, anak petani, malu jadi anak petani dan tidak mau bertani. Demikian pula dengan anak pedagang.
Pendidikan seolah membuat kepribadian baru yang tidak sesuai harapan, biaya, dan waktu yang telah dikorbankannya.
Pendidikan menaikkan gengsi dalam meningkatkan rasa malu untuk menjadi warga negara pekerja keras seperti yang dilakukan orang tua dan pendahulunya.

Kembali ke kodrat
Diasumsikan terjadinya produk pendidikan yang tidak sesuai harapan karena kurikulum. Namun asumsi ini ditolak. Kurikulum telah direncanakan dan dibuat sedemikian rupa sehingga menyentuh sisi sikap, pengetahuan, dan keterampilan secara seimbang.

Dugaan lain muncul, guru kurang mumpuni untuk menghasilkan warga negara yang santun namun terdidik. Dugaan ini dimentahkan dengan fakta guru di Indonesia telah tersertifikasi dan paling tidak lulusan S1.

Hasil penelitian mengatakan bahwa proses pendidikan harus dilakukan secara otentik sehingga melahirkan pengalaman belajar otentik.
Saat ini ditenggarai, pendidikan mencoba melakukan penilaian secara otentik namun tidak dibarengi dengan pemberian pengalaman belajar yang otentik.

Belajar seolah sebuah pekerjaan yang ditandai dengan adanya hasil, yaitu nilai. Pemikiran ini terlalu menyederhanakan belajar. Akibat dari cara pandang ini, maka proses belajar tidak mengikuti alamiahnya manusia belajar. Sebagai contoh, dalam belajar bahasa.

Manusia bisa menguasai bahasa dengan mendengar, meniru, mencoba mengucapkan berulang-ulang, ketika salah orang tua/siapapun yang ada pada saat mendampingi membetulkannnya, mencoba membuat kombinasi kalimat dengan menggabungkan kosa kata, barulah bisa berbicara.

Hal ini tidak terjadi di dalam kelas sebagai komunitas baru tempat diperolehnya bahasa asing misalnya. Tidak sedikit pelajaran berbahasa untuk membuat siswa mampu berkomunikasi dalam bahasa tersebut, berubah menjadi pelajaran tentang bahasa. Akibatnya para siswa menghafal rumus kalimat.
Cara ini, tidak otentik. Hasilnya, tidak otentik. Sejatinya mampu berkomunikasi dalam bahasa asing, menjadi menguasai tata bahasa asing.

Belajar apapun sebaiknya mengikuti fitrahnya dan kodratnya. Jika pendidikan berharap lulusannya menjadi warga negara yang baik, misalnya bertutur sopan. Mulailah dengan menjadikan lingkungan sekolah sebagai miniatur tempat orang-orang bertutur baik. Siswa dengan mudah membandingkan berbahasa dirinya dengan orang lain. Dengan kesadaran sendiri dia memperbaiki kesalahan berbahasanya.

Ketika pendidikan berharap lulusannya mampu menulis. Tunjukkan bagaimana proses menulis, bukan teori cara menulis.

Mengikuti kodrat bagaimana belajar dalam kehidupan yang sesungguhnya, dan ketika cara ini diterapkan pada proses pemerolehan pengalaman belajar akan membantu siswa benar-benar belajar.

Secara kodrati dalam belajar mengalami kesulitan dan beberapa hambatan. Hal ini harus tetap jadi bagian dari proses belajar. Salah benar jika belajar dianggap selesai dengan diperolehnya angka nilai.

No comments:

Post a Comment