Menyisihkan sebagian dari penghasilan untuk membeli buku, terdengar seperti proyek tanpa arah. Orang-orang sudah mulai berbicara buku digital dan buku elektronik. Sepertinya membeli buku hard kopi menjadi berkesan ketinggalan zaman. Ketika buku elektronik bertebaran disemua screen, kenapa harus repot-repot membeli buku kertas, selain tidak ramah lingkungan, juga tidak praktis.
Bagi mereka yang telah terbentuk kebiasaan membacanya dengan dimulai dari buku kertas, ketika pindah ke buku elektronik bukan masalah besar. Buku kertas, buku elektronik keduanya menjadi media yang sama efektifnya untuk memuaskan hasrat membaca.
Masalahnya adalah ketika kebiasaan membaca itu belum dimiliki , tawaran media sejenis buku tidak bisa jadi efektif. Membaca dari buku kertas memberikan kesempatan pengalaman membaca yang berbeda dibandingkan dengan membaca pada buku elektronik. Bau kertas ketika membuka buku, sangat khas dan hanya diperoleh dari momen ketika buku kertas dibuka. Sensasi memegang buku kertas, tidak sama sensasinya dengan memegang telepon selular android yang dilengkapi fitur Wattpad (penyedia buku elektronik untuk android) misalnya.
Anak-anak kita yang menjadi penduduk digital, sejak lahir telah akrab dengan gadget. Sejak balita mereka telah terbiasa memainkan game. Saat SD, tanpa.diajari telah mampu mengunduh lagu dari sebuah situs ke hapenya dan melengkapi lagu tersebut dengan teks lirik. Mereka menjelajah negeri virtual dan memuaskan pencariannya. Aktivitas seperti ini mendominasi kehidupan anak-anak generasi Z. Sedikit dari mereka yang memiliki kecintaan membaca. Mereka sangat keranjingan game.
Gawai yang ada pada tangan siapapun, tidak membantu menumbuhkan kebiasaan membaca karena seolah ada kesepakatan tidak tertulis bahwa gadget untuk kesenangan dan hiburan, bukan untuk membaca.
Kebablasan
Hadirnya buku elektronik bersamaan pula dengan hadirnya peluang untuk membangun kebiasaan membaca. Berbagai situs yang menyediakan buku bacaan elektronik dengan tanpa bayar, atau kalaupun ada harga, harganya sangat murah. Kondisi ini memungkinkan semua orang dapat memiliki buku dengan jumlah yang hampir tidak terbatas. Mereka dapat memiliki Library virtual sendiri yang bisa dibagikan kepada orang lain.
Dengan hampir setiap anak memiliki gawai sendiri, kemungkinan anak tidak memiliki buku menjadi semakin sedikit. Sebuah kemajuan yang luar biasa akibat dari majunya teknologi. Anak generasi Z dapat menikmati surga buku gratis, dan memiliki perpustakaan sendiri.
Keadaan di atas tidak dialami oleh generasi X. Bagi anak generasi X, memiliki satu buku, artinya harus menyisihkan uang jajan; kalau mau buku gratis, bergabung ke perpustakaan sekolah. Namun perpustakaan sekolah tidak memuaskan hasrat membaca buku non pelajaran. Maka jadi anggota Taman Bacaan adalah solusinya. Taman Bacaan menjejerkan buku-buku novel, komik, dan buku non pelajaran dengan sewa pinjam yang tidak memberatkan.
Gambaran anak generasi Z lebih tinggi minat bacanya, hanyalah ilusi. Bahkan, kemampuan membaca generasi Z pada tahun 2016 sangat memprihatinkan.
Memberikan gawai kepada anak-anak generasi Z sebaiknya dibarengi dengan pembekalan penggunaan gawai untuk membuatnya berpikir kritis melalui membaca. Pembiaran anak generasi Z berselancar sendiri di dunia virtual mengantarkan mereka pada kegiatan pengisi waktu miskin makna.
No comments:
Post a Comment