Tuesday, September 11, 2018

Kontemplasi dan Legasi

Hari ini adalah 1 Muharram 1440 Hijriah, Setiap orang menyambutnya dengan cara yang berbeda. Excel, anakku, menyambutnya dengan ikut serta mengabadikan wajah 13 tahunnya pada kegiatan kelas 8 SMPnya di Kebun Raya Cibodas. Yankie, suamiku, mengisinya dengan menjadi bagian dari pengajian Buya Yahya-pendiri Al Bahjah yang membuka pengajian serta pendidikan pesantren di Cijedil. Miracle, anakku yang pertama, mengisinya dengan menyiapkan presentasi mata kuliahnya.

Aku sendiri. Mengisi ruang rumah 8 x 12 meter persegi dengan jasad yang duduk dihalang dinding tembok pemisah ribuan pusara.

Terpikir betapa telah lama aku tidak mampu membahagiakan diriku sendiri. Impian membahagiakan diri sendiri selalu saja tidak mampu terpenuhi.

Betapa jauhnya merengkuh bahagia.

Mungkin terdengar janggal bagi orang yang melihatku dari luar. Aku terlihat baik-baik saja.

Sesungguhnya aku hanyalah jasad kosong, tanpa mimpi lagi. Pikiranku mulai lebih banyak berpikir tentang kematian. Bahkan blog inipun dianggap sebagai bagian dari persiapan kematian. Blob in diharapkan kelak sebuah legacy yang mengabadikan apa yang kurasakan dan kupikirkan.  Aku tidak memiliki banyak harta jadi inilah harta yang bisa diberikan: tulisan di blog.

Saat ini, terasa pula begitu sulit untuk melakukan yang sangat mudah bagi orang lain. Menangis. Aku harus bisa tidak menangis. Setiap butir air mata adalah perih yang akan memenuhi rongga mata yang sedang dalam kondisi iritasi dan berdarah. Perih yang dirasakan sebagai rejam pada setiap kali mata mengedip.

Jangan memandangku sebagai pribadi yang lemah yang tidak kuat manahan nyeri. Usaha menjadi individu kuat telah dilakukan sejak berpuluh tahun silam, bahkan sampai hari ini. Kini, kemampuan melihatku makin berkurang, Dokter mengatakan satu-satunya mataku yang masih bisa melihat sudah dalam kondisi plus 2. Sangat cepat perubahannya. Dalam waktu kurang dari setahun bertambah dari plus 1,75 menjadi 2. Tentu saja plus ini bukan berarti bagus. Sebaliknya. Penglihatan semakin kabur. Semakin dekat sebuah benda, semakin tidak terlihat. Ujian terberat dari plus ini adalah aku sulit membaca dan menulis. AKu banyak salah tulis dan banyak salah baca karena kabur penglihatan.

Dokter menyarankan pergi ke dokter syarat untuk mengecek nyeri kepalaku. Saran itu belum dilaksanakan, aku belum punya uang yang cukup untuk itu. Sedikit uang yang ada, harus aku simpan untuk membiayai makan dan hidup keluarga. Kesehatanku tidak terlalu penting dibandingkan dengan kenyangnya perut orang-orang seisi rumah.

Dokter juga menyarankan agar aku segera kembali ke RSCM untuk diperbaiki kelopaknya. Kelopak yang kondisinya tidak normal mengakibatkan bulu matanya masuk ke rongga dan mengakibatkan sakit mencucuk rongga mata, juga menghasilkan iritasi tak berkesudahan. Saran inipun belum dilaksanakan. Aku harus mencari dulu ongkos. Dokter bisa saja mengajukan kegawatan, tapi aku bisa menyodorkan kesulitan keuangan di dalam kehidupanku yang menanggung tiga jiwa lain di tangan lemahku.

Aku benar-benar sendiri menanggung sakit.

Jangan sekali-kali membaca  tulisan ini sebagai keluhan atau gambaran jiwa yang lemah. Jangan berkilah "Jeng, di luar sana, banyak orang yang lebih menderita darimu, stop complaining."

Tulisan ini ungkapan sakit dari orang yang sedang menahan nyeri sendirian. Tidak untuk dihakimi, diadili, atau dinilai. Izinkan, sekali-kali aku bisa berbicara sesuai keinginanku. Aku telah telah terlalu lama berbicara sesuai pesanan, sesuai permintaan, sesuai proposal. Suara diriku sendiri tidak pernah terdengar. Aku hanyalah jasad yang menyuarakan jiwa lain. Jiwaku sendiri diam, tenggelam dalam sendiri.


No comments:

Post a Comment