Aku tidak menemukan Siti Badriah menuangkan proses kreatifnya pada dunia tulis menulis jurnal pendidikan berbahasa Inggris. Kondisi itu kemudian menjadi hal yang menggelikan ketika aku menemukan bahwa namaku ditulis menjadi namanya pada sebuah jurnal yang dimuat di sebuah Universitas.
Semula namaku ditulis sebagai namanya tidak kuketahui. Namun seorang teman dengan guyon menggodaku di Facebooknya seperti berikut.
Ketika Siti Badriah mulai menjamah dunia akademik, saatnya Miss Badriah merambah dunia musik dangdut. Colek yang punya jurnalnya ah
Reflek kujawab, "Menyerah ah. Terlalu banyak yang harus dipelajari: goyang, gitek, geol, gujag gajig dan g g yang lainnya :-) :-) :-)
Kesalahan penulisan nama Badriah, namaku, menjadi Siti Badriah, namanya, menjadi sesuatu yang penting bagiku. Menulis pada jurnal yang terbit secara periodik pada sebuah universitas atau pada lembaga lain yang memiliki kewenangan untuk mempublikasikan karya ilmiah merupakan bagian dari implementasi tanggungjawab profesi sebagai guru SMA. Aku secara teratur menulis untuk jurnal, namun aku tidak tahu apakah Siti Badriah melakukan hal yang sama. Pada saat terjadi kesalahan penulisan nama (yang tentunya pasti tidak sengaja), merugikanku sebagai penulis jurnal.
Kerugian yang otomatis kutanggung adalah karya tulis
Aku sendiri sebetulnya tersenyum (tidak getir, senyum biasa saja) ketika menyadari bahwa karya ilmiahku (tanpa sengaja) dimuat dengan nama orang lain. Kesalahan pemanggilan namaku, telah biasa kudengar. Pada saat kesalahan merambah pula pada penulisan jurnal, aku tak menyalahkan siapapun.
Biarkan saja dulu nama Siti Badriah terpampang sebagai penulis jurnal pendidikan. Aku akan memberinya kesempatan. Semoga dengan cara ini ada koran, atau televisi yang mengonfirmasi kepada Siti Badriah apakah benar dia menulis itu. Jika ditolaknya, semoga dicari siapa penulis aslinya, jadi aku nanti bertemu Siti Badriah. Bagiku jika diberi kesempatan bertemu Siti Badriah tentulah menjadi pengalaman yang tak terlupakan. Dan, kesempatan pertemuan itu semoga memberikan kesempatan pula untuk menjelaskan bahwa Badriah, bukan Siti Badriah.
Karya ilmiah yang dimuat dengan nama Siti Badriah itu intinya memaparkan bahwa penggunaan komik memungkinkan para siswa melakukan kreatifitas hampir tanpa batas sekaligus merupakan aktivitas yang melibatkan keterampilan berpikir tingkat tinggi. Bagaimana hal itu bisa terfasilitasi melalui pembuatan komik, alasannya sebagai berikut.
Komik dikenal hampir oleh semua siswa. Pada saat siswa belajar dengan bersandar pada sesuatu yang telah mereka kenal, ini menjadi dasar bagi keberhasilan pembelajaran. Menurut Tiemensma, (2009) diasumsikan bahwa pengalaman membaca atau membuat komik yang telah dialami para siswa dapat dimanfaatkan untuk menarasikan cerita (atau boleh juga hal-hal dramatis) dimana komik berperan sebagai media visual yang mengombinasikan tulisan dan konsep visual. Berdasarkan asumsi ini, kulakukan pembelajaran yang menggunakan komik.
Mengajar dengan menggunakan komik tentu saja tidak serta merta kulakukan. Selama hampir tiga hari aku belajar membuat stick figure. Tujuannya adalah untuk membantu para siswa yang merasa tidak memiliki bakat membuat komik atau manga, tertolong. Stick figure bisa ditiru siapapun. Segala aktivitas manusia, ataupun apapun yang memerlukan konsep visual, dapat divisualisasikan dengan stick figure. Ini contoh stick figure yang bisa ditiru dengan relatif mudah.
Setelah aku sendiri sebagai guru merasa siap untuk memberi contoh memvisualkan konsep dengan stick figure mulailah pengajaran dengan menggunakan komik dimulai. Pertama, para siswa diberikan teks menyimak. Setelah menyimak satu kali, teks tulisnya yang berjudul The Skeleton in the Cupboard diberikan. Teks tulis diberikan dengan alasan para siswa tidak menangkap apa sedang diceritakan narator. Teks tulis sangat membantu para siswa menangkap apa yang sedang dinarasikan.
Sebagai latihan awal, para siswa diminta untuk mengubah setiap paragraf menjadi satu strip komik. Paragraf pertama yang didengar adalah It was a busy day, as usual. The traffic circle began to get scorched in the strengthening heat of that morning as a protest was taking place. People in a long wavy line were staging outcry against the issue of Playboy magazine-Indonesian version. They were jamming up the well-known capital city of Jakarta.
Para siswa yang mengaku tidak mampu menggambar, memvisualkan paragraf satu di atas dalam bentuk stick figure. Seperti contoh di bawah ini. Sedangkan siswa yang berbakat menggambar dengan bebas dapat menggunakan kepiawaiannya. Kujelaskan pada para siswa yang dinilai bukan bagusnya gambar, tapi ketepatan memvisualkan isi paragraf.
Visualisasi ini terlihat sederhana, namun mewakili isi paragaraf pertama. Segera setelah mengetahui bahwa para siswa dapat memvisualkan isi teks sesuai kemampuannya, kulanjutkan pada paragraf dua, tiga, sampai semuanya selesai. Usai menggambar komik, para siswa diminta menulis ulang apa isi teks yang didengarnya. Di luar dugaan para siswa bisa menulis ulang The Skeleton in the Cupboard dalam bahasa Inggris dengan variasi jumlah kosa kata yang berbeda-beda. Yang menyenangkan adalah plot The Skeleton in the Cupboard tersampaikan dengan lengkap.
Melihat keberhasilan tersebut, pada pertemuan selanjutnya para siswa diminta membaca teks yang mereka akui terlalu berat, yakni The History of Jack and the Beanstalk. Usai membaca diminta untuk memvisualkannya ke dalam bentuk komik.
Visualisasi dari The History of Jack and the Beanstalk menarik untuk diteliti. Dengan memvisualkan pada komik, para siswa membuat kronologi pada kisah tersusun dengan urutan yang benar. Selain itu, kisah yang semula sangat panjang, tersaji relatif lebih singkat namun dengan isi yang sama. Artinya para siswa memahami isi teks, dan 'membaca' seluruh teks dengan tingkat pemahaman yang tinggi sehingga bisa dituangkan pada komik.
Keberhasilan ini membuatku penasaran, apakah komik bisa juga digunakan untuk mengajar tatabahasa kalimat langsung dan tak langsung yang biasa menjadi unsur kebahasaan teks naratif.
Kepenasaranan ini dicoba diuji dengan mempersilakan para siswa membaca teks berjudul The Wolf and The Crane. Fokus pembelajaran pada pengubahan kalimat langsung menjadi kalimat tidak langsung. Hasil visualisasi untuk paragraf pertama halaman dua terlihat seperti berikut.
Teks yang diubah menjadi komik, semula adalah The crane wanted to fly away because she was very much afraid of the wolf. But the wolf quickly added, " Please Miss Crane, don't fly away. I need your help. I'm in a great trouble."
Pada visualisasi komik, siswa menggambar kepala wolf dan crane, ditambah representasi dirinya yang mengucap ulang kalimat yang diujarkan wolf kepada crane.
Dari ketiga aktivitas yang dilaksanakan menunjukkan bahwa para siswa mengalami menjadi pemikir mandiri dan melakukan analisa terhadap teks secara mendalam. Untuk mampu membuat komik tahapan yang dilakukan para siswa paling tidak melibatkan analisis isi teks, mensitensa isi paragraf kemudian membuat komik, dengan kata lain para siswa terlibat dalam pembelajaran yang menuntut adanya keterampilan berpikir tingkat tinggi (analyzing, synthesizing, creating text). Pada saat yang sma, siswa juga berperan sebagai ilustraror atau penulis komik.
Komik buatan siswa memberikan kesempatan pada siswa untuk berlatih menggunakan bahasa Inggris dan juga menghasilkan teks naratif dengan nuansa personal namun penuh kreativitas. Para siswa yang kemampuan bahasa Inggrisnya masih perlu bimbingan mengaku merasa senang bisa membuat komik dan mengaku mampu menceritakan apa yang sedang mereka buat. Ada korelasi antara pemahaman isi bacaan dengan kemampuan menyajikan komiknya.
Secara singkat itu yang ditulis pada jurnal. Aku tak yakin jika Siti Badriah pernah melakukan hal itu.
No comments:
Post a Comment