Nada tertua Salendro.
Di Gunung Padang nada Salendro.
Kaitan dengan Cianjuran terkait dengan hasil kebudayaan. Dimana peradaban berada, di situ pula budaya lahir, salah satunya adalah seni. Pada zama dahulu ahli seni disebut Paraguna, tercatat pada buku Siksa Kanda Ng Karesian.
Dari zaman ke zaman, peradaban meninggalkan jejak. Gunung Padang meninggalkan jejak dalam bentuk batu. Batu pada tingkat tiga ada yang disebut batu gamelan karena jika dipukul menghasilkan nada Salendro.
Pada jaman Pajajaran lahir gamelan Degung yang kelak menjadi cikal bakal lahirnya Cianjuran. Sebelumnya telah ada nada lain seperti karinding, tarawangsa. Degung melahirkan lagu-lagu pupuh. Selain jenis Degung lahir pula nada jenis lainnya misalnua Salendro. Kemudian masuk budaya yang berasal dari India, wayang. Kemudian lahir Rancagan, Cigawiran, Jemplangan. Cianjuran merupakan jenis yang masih terhitung baru yakni tahun 1800an.
Pada sebuah catatan seorang Portugis Tom Pirez menyebutkan bahwa dijemput dengan angklung gubrag jadi kanekes buhun nantinya yang bernada salendro.
Kedatangan Portugis membawa pula nada diatonis yang menggunakan piano. Pa Mahyar, Daeng Sutigna merupakan seniman yang mengembangkan seni yang menggabungkan nada diatonis dan pentatonis.
Alat- alat kesenian yang bergabung dengan musik diatonis keroncong, tanjidor, mengenal not balok.
Cianjuran merupakan seni luhur yang menggambarkan penghormatan kepada lbu. Kacapi indung menjadi wujudnya.
Akar-akar seni Cianjuran dekat ke pelog. Salendro diadopsi angklung.
Asalnya pupuh, degung, rancag. Maka istilahnya dedegungan, jejemplangan. Suku kata yang diulang menunjukkan bukan asli. Karena yang asli sudah ada sejak dulu.
Dalem itu ahli sastra. Membuat kamus sunda yang pertama.
Nada Salendro masuk kembali, bahkan ditemani rebab, karena cocoknya dengan rebab.
Sinom degung, kinanti payo. Pupuh ageng (ageung) KSAD, kinanti, sinom, asmarandana degung.
No comments:
Post a Comment