Budaya lahir seiring kelahiran manusia. Oleh karenanya para ahli mendefinisikan budaya sebagai aktifitas dan produk manusia sebagai hasil belajar.
Budaya Sunda berkembang di tatar Sunda dan menjadi ciri orang Sunda seiring perkembangan zaman. Kata Sunda itu sendiri, bagi orang Sunda bermakna bukan sekadar bahasa. Ajip Rosidi menjelaskan bahwa ketika orang Sunda menyebutkan "urang Sunda" mengacu pada suku, bahasa, adat istiadat, kata penunjuk tunggal yang artinya setara dengan saya, dan kata penunjuk jama setara dengan kami.
Sunda dengan pelbagai makna menjadi bagian dari keseharian hidup orang Sunda. Khusus untuk orang Sunda dalam cakupan kecil yaitu individu dihadapkan pada tanggungjawab besar yang menjadi tanggungannya sebagai bagian dari sebuah komunitas warga Sunda.
Sebagian individu orang Sunda memandang bahwa Sunda dalam representasi bahasa mengahadapi masalah besar. Salah satunya adalah menuju sekarat karena semakin berkurangnya jumlah penutur. Pandangan ini mendorong individu tersebut bergegas melakukan upaya untuk menghidupkan bahasa Sunda. Mencampurkan bahasa Sunda dalam percakapan bahasa Nasional sangat akrab terdengar. Upaya ini patut diacungi jempol mengingat tidak mudah mencampurkan bahasa ibu dengan bahasa nasional dengan sisipan tujuan penerima pesan lebih paham maksud yang disampaikan penutur. Walaupun tidak dipungkiri bagi sebagian pecinta pengguna bahasa Sunda, hal ini dipandang kurang tepat. Kekhawatiran yang membayang adalah kelak generasi muda menganggap 'dibenarkan' berbahasa mix (campur) dan menjadi kebiasaan.
Sebagian individu lainnya memandang Sunda sebagai bahasa akan hidup seperti bahasa-bahasa lain yang ada di dunia ini. Pandangan ini membuat individu tersebut memperlakukan bahasa Sunda seperti benda. Fitrahnya benda: ada, dipakai, tiada.
Bahasa Sunda menjadi ada dan dipakai karena dipandang mampu memfasilitasinya sebagai alat komunikasi, dan lebih jauh lagi mampu menunjukkan jati diri kesukuan. Ketika kedua hal tersebut tidak dimiliki lagi, maka bahasa Sunda ditinggalkan. Sebagai contoh kecil, merasa malu berjati diri Sunda yang ditandai dengan berbahasa Sunda mengakibatkan individu tersebut memilih menggunakan bahasa lain. Eksodus pengguna bahasa Sunda ke bahasa lain, hal ini pencetus bagi matinya bahasa Sunda.
Setiap individu adalah pewaris budaya. Warisan bahasa menjadi tanggungjawab perorangan. Berbeda dengan warisan lainnya, pewaris bahasa Sunda memiliki tanggungjawab untuk (salah satunya) tetap menghidupkan bahasa Sunda. Bagaimana cara menghidupkannya setiap individu Sunda dihadapkan pada banyak pilihan. Pilihan yang paling masuk akal diantaranya menggunakan bahasa Sunda pada tataran keluarga.
Orangtua yang menggunakan bahasa Sunda dalam kehidupan berkeluarganya memberikan peluang bagi bahasa Sunda untuk tetap hidup. Akibat langsungnya adalah anak-anak dalam keluarga tersebut menikmati penguasaan berbahasa ibu dengan penuh. Ibu Bapak menjadi model pengguna yang secara langsung mencontohkan sekaligus meningkatkan kualitas penggunaan bahasa Sunda anggota keluarga.
Setiap individu adalah bagian dari sebuah keluarga. Sudah saatnya keluarga kembali difungsikan sebagai sumber belajar berbahasa.
No comments:
Post a Comment