Kartu
Oleh:
Badriah
One-piece
dress pink tua membalut tubuhmu menyembunyikan sejarah bekas
kehamilan yang kamu katakan telah mencabik ramping pinggangmu. Tubuhmu tidak
mengatakan bahwa telah pernah ada jabang bayi yang pernah menjadi bagian siang
dan malammu selama sembilan bulan. Kamu sangat cantik. Membuatku berdebar
ketika kutahu warna matamu tidak sekelam fotomu yang kulihat pada Facebook yang
mempertemukan kita. Pasti kamu menghabiskan waktu berjam-jam memilih baju agar
aku terpesona kepiawaianmu menyembunyikan bekas jejak kehamilan. Kamu juga
pasti telah merencanakan agar aku tak bisa melepaskan pandanganku dari lekuk
garis bibirmu yang kau tegaskan dengan warna pink tua senada dengan bajumu.
“Kamu harus tahu bahwa
aku penasaran seperti apa wajahmu diluar kotak hape,” katamu, alismu mengangkat,
memaksaku untuk mengakui bahwa akupun penasaran dengan rupamu di luar layar
laptop. Kamu pasti yang lebih penasaran. Katamu tadi di WA, kamu mau buka
kartu. Aku tidak pernah bermain kartu. Memang aku mengizinkan teman sekosku
bermain cangkulan, 41, atau Capsa Susun, tapi aku tidak pernah gabung. Aku
tidak suka asap rokok, juga tidak paham kenapa harus ribut gara-gara beda poin.
“Aku berkesimpulan kamu
orang baik,”
“Maksudmu?”
“Kayanya kamu bukan laki-laki
mata keranjang,” senyummu melebar, tanpa mempedulikan pelayan menyimpan air
jeruk hangat yang katanya kesukaanmu, kamu berkata, “Aku bersedia jadi
istrimu.”
Darahku naik ke ubun-ubun
dan berebutan mendapat tempat di vena-venaku sehingga membuat pipiku kemerahan.
Kamu sangat agresif, sangat berani. Aku suka perempuan yang mengambil pokok
pembicaraan. Pipiku semakin panas, kamu mengetahui jika aku pemalu sehingga aku
tak punya nyali menawarkan diriku sendiri untuk menjadi suami.
“Secepat ini kamu mengajak
menikah?” tanyaku. Kamu pasti telah bosan mengurusi bayi sendirian. Suamimu,
katamu, meninggalkanmu tanpa memberi aba-aba dan tanpa laba. Kamu bermodalkan facebook
menggapai-gapai mencari ayah tiri untuk sesekali mengistirahatkanmu dari urusan
bayimu. Kamu pandai membuatku trenyuh dan iba dengan memajang foto bayi yang
kau peluk di dadamu.
Aku melihat diriku
sendiri menjadi lelaki hebat. Sekali tepuk dua lalat. Aku menikahi seorang
perempuan dan langsung menjadi ayah. Kamu akan memujiku sebagai lelaki setengah
dewa yang bersedia menerima kamu apa adanya. Kamu dan anak balitamu. Kamu akan
bercerita pada semua orang betapa mulianya hatiku yang menyayangi anakmu
seperti darah dagingku sendiri. Kamu akan memasang foto di facebookmu, foto
kita berdua dan di antara kita ada anak balita. Kamu akan mengunggah kegiatan
sehari-hari kita di facebook sehingga teman-teman sekosku akan terkaget-kaget
betapa beraninya aku menikahi janda beranak satu. Teman-teman sekerjaku akan
tanpa pikir panjang memencet like
gantu love ganti like diikuti GIF the Simpsons untuk meledekku.
Menikah tujuannya untuk
berketurunan. Aku, tanpa harus bersusah payah telah disediakan anak. Mengapa
kisah pernikahanku begitu sederhana. Inikah jawaban terhadap semua kenapa yang
setiap malam kuajukan pada Tuhan.
“Jangan senyum sendiri,”
katamu mengagetkanku. Kamu terlihat semakin cantik dengan tatapmu yang semuanya
hanya tertuju padaku. Warna malam melatari bibir pink tua yang kamu pakai
dengan sangat rapi, semuanya terlihat sempurna. Kamu membuatku mabuk kepayang.
Tidak. Aku tidak pernah mabuk karena makan buah kepayang. Aku tahu rasa buah
kapayang, ibuku memasaknya untukku. Ibuku menyebutnya keluwek, picung, dan itu
tak bikin aku mabuk sama sekali.
“Aku harus mengambil
keputusan.” Kamu memasang wajah serius, matamu lurus menembus jantungku. Kamu
kemudian bercerita ketidakpuasanmu pada rumahtangga. Aku terpukau, lipstik pink
tua menyebabkan suara yang keluar dari bibirmu terdengar memintaku untuk tampil
menjadi dewa penolongmu. Sekarang aku tahu mengapa para wanita memakai lipstik.
Mereka telah tahu sejak awal jika efek suara yang melewati lipstik membuat
pendengarnya tersihir, mabuk tanpa makan buah kepayang.
Kamu tidak berhenti
bercerita, air jeruk panas kesukaanmu telah lama dingin. Mungkin kamu tidak
berencana meminumnya, khawatir air asamnya menghapus lipstikmu. Kamu suguhkan
sinetron dimana kamu pelakon utamanya. Kisahmu menjejali kepalaku, tanpa jeda.
Kamu tamatkan dalam satu episode yang panjang dan membuatku lupa jika malam
telah larut. Terlalu larut untukmu yang meninggalkan anak balitamu sendirian di
rumah. Aku tak berani menanyakan dengan siapa anakmu malam ini. Ini malam
pertama kita bertemu. Tak elok jika kurusak dengan pertanyaan yang
menggambarkan betapa tidak berpengalamannya aku mengurus anak.
“Sekarang bagaimana?”
tanyaku sangat hati-hati khawatir kamu salah tanggap. Kamu menggigit bibirmu
menyumbat agar air mata tidak sempat mengalir. Kamu menahan nafas, membuatku
merasa sesak.
“Pulanglah, “jawabmu.
“Pulang?”
“Kenapa?”
“Bukankah kamu mengajakku
menikah?”
Kamu menunduk, bahumu
bergerak, sumbatan air matamu telah jebol. Tanggul kesabaranmu telah habis.
Kamu terus menangis, tanpa jeda, membiarkanku membuat cerita dalam kepala.
Perlahan kamu mengangkat
wajahmu. Lipstikmu masih utuh, kulihat bibirmu terbuka dan berkata, “Aku belum
bercerai dari suamiku, jadi aku tak dapat menikah denganmu.”
Lipstik pada bibirmu
terlihat seperti kartu draw 2 yang membuatku lumpuh. Itulah yang kamu maksud
dengan buka kartu pada WAmu tadi siang.
No comments:
Post a Comment