Jelajahi Realita dalam Maya
Belum lagi lamunan itu khatam, anak saya mendekat.
"Mom, Sabtu besok, ke Mangga Dua. Ngambil speaker téa. Home theater Mom, home theater." Excel meminta sekaligus meyakinkan kenapa harus ke Mangga Dua.
Anak zaman sekarang, ngukur Cianjur-Jakarta ibarat jarak dari kamar tidur ke kamar mandi. Tapi saya mengiyakan permintaannya dengan alasan tidak mungkin barang yang sudah dibeli, tidak diambil. Mending kalau harganya murah. Anak saya menabung selama tiga tahun agar mampu membelinya. Mampu beli sekarang pun kebetulan saja ada diskon, plus asal barang diambil langsung ke toko. Tokonya di Mangga Dua, haduh. Apakah kemampuan spasial anak sekarang tidak jalan?
Ngambil barang dari toko Nuhun di belokan Sinar, lumayan terdengar wajar. Ngambil barang dari Mangga Dua, di Jakarta sana? Tobat deh!
Atas nama harga bisa terjangkau dan anak bahagia, baiklah. Akhirnya Excel, Yankie, dan saya, pada Sabtu pagi sudah meluncur menuju Mangga Dua. Sambil ke Mangga Dua, nanti sambil sekalian nengok si sulung, Miracle di Pancoran.
Perjalanan pagi seolah tanpa hambatan. Mangga Dua terasa hidup ketika kaki kami menginjak lantai basementnya. Kami langsung menuju ke toko untuk mengambil barang. Saya terkaget-kaget. Bangunan begini luas, besar, bertingkat-tingkat, isinya cuman alat elektronik semua. Saya merasa berada di sebuah tempat yang asing. Di sekeliling saya benda-benda aneh yang sebelumnya saya lihat dalam filem-filem futuristik.
Mata tak henti mencoba mengenal isi lantai dua yang sedang kutapaki. Excel mengajak masuk ke sebuah toko. Seorang lelaki langsung menyodorkan kartu antre. Kulihat sebuah ruangan yang bernuansa masa depan. Semuanya serba mesin.
Excel langsung mendekati salah satu perempuan yang telinganya ditutup headset besar yang seolah menelan kepalanya dan mimpinya sekaligus. Kulit wajahnya yang putih pucat menguarkan kabar bahwa dia takut sinar matahari.
"Kak, minta nomor pemesanannya," katanya pada Excel.
Excel menyebutkan sederet angka dan kode setiap kali perempuan itu memintanya.
Saya merasa seperti mendengarkan percakapan yang tidak lazim. Semua pertanyaan dan jawaban, tidak ada dalam kamus besar bahasa Indonesia!
Saya sering menulis I am not a robot untuk memastikan bahwa saya manusia. Tapi obrolan anak saya terdengar robotik.
"Kak, silakan ke bagian pembayaran, minta risit, dan nanti ke bagian pengecekan barang." Perempuan itu berbicara prosedur yang harus dilalui Excel untuk dapat bertemu barang yang dibelinya. Kosakatanya campur bahasa Inggris. Risit yang diucapkannya pasti mengacu pada kuitansi.
Tanpa babibu, Excel mengantri. Tak lama, dia menyodorkan kartu. Saya yakin dalam hitungan detik telah terjadi perpindahan uang.
"Paling lama 30 menit, barang bisa diambil pickup point." Terdengar suara datar dari balik layar monitor.
Permintaan menunggu 30 menit menjadi keuntungan bagi saya yang belum habis terheran-heran dengan ruangan yang sedang kami kunjungi. Saya ingin mengetahui benda apa saja yang ada pada ruangan ini.
Mataku tak bisa lepas dari layar monitor 1000R. Pengalaman menatap layar yang terasa sangat berbeda.
Perhatian saya tertuju pada ruang gaming. Sebuah kursi berbentuk kalajengking nagkring di sana. Di sebelahnya seperangkat alat untuk mendukung game Dirt Racing siap untik dicoba. Di sana sini, alat-alat game yanh tidak saya kenal ditata apik sehingga meninggalkan kesan kita berada pada ruang spaceship.
Yang menarik perhatian saya adalah kursi berbentuk kalajengking bernama Cluvens dengan monitor ultra-wide 49 inchi. Ada tiga monitor sekaligus yang bisa dipasang. Posisi kursi dapat diatur sesuai keinginan pengguna. Harganya? Tertulis pada standing banner: 50 jutaan.
Si bagian marketing sangat cerdik. Dengan menulis 50 jutaan kesannya murah dan biasa saja.
"Mom, barang sudah ada. Lihat di monitor, nama Ex*** Nal**** lengkap dengan nomor Nota sudah pop up." Excel menyadarkan saya pada dunia nyata.
Jadi, zaman sekarang, belanja itu tidak ada tawar menawar, tidak ada obrolan transaksi jual beli, tidak bertemu penjual barang dengan pembeli barang. Padahal pembelian tidak secara online.
Kami menuju pickup point. Ngantre. Tampak seorang lelaki membuka kardus berisi layar monitor. Diceknya satu per satu, dia memastikan semua isi dus sesuai dengan yang dipesan. Usai itu, dia mengambil dus. Sebuah speaker dari Logitech beserta benda-benda lainnya dikeluarkannya. Excel maju dan mengecek produk suara. Inilah rupanya home theater yang dijanjikan Excel. Selain Dolby Stereo, the sound surround you, suara seolah datang dari segala arah, suara terdengar begitu jernih. Suara gelas pecah, begitu persis seperti bunyi yang biasa didengar dalam dunia nyata.
Pengecekan barang berlangsung dengan sedikit kata-kata. Excel dan lelaki bagian pengecekan barang sibuk mengatur dan menyetel ini itu.
Sabtu ini memberikan pengalaman lain. Ruang gaming seolah bukan bagian dari Jakarta. Kabar buruknya, itulah dunia anak zaman sekarang.
No comments:
Post a Comment