Terdengar bisik-bisik anak-anak di bawah tangga diantara semilir angin dingin akhir November. Mereka membahas trending topik yang benar-benar live dalam hidup mereka: besok hari ke-3 ujian apa. Saya kaget dengan topik yang diangkat tinggi melebihi hebohnya pedas Seblak Dudut atau sedapnya Mi Cius Teh Esih. Bukankah jadwal ada pada kartu ujian, kenapa pula nanya besok ujian apa. Rasanya tidak pernah terdengar kabar UAS berganti jadwal tanpa sebab. Ini kan UAS bukan ujian dadakan.
"Besok tuh Kimia, ada esay ga ya?" Terdengar suara penuh nada cemas. Mungkin kalau Kimia ada esayna setara dengan kiamat kecil. (Dianggap kecil kiamatnya karena kimia ngurus unsur dan elemen yang emang kecil-kecil).
"Rahasia atuh itu mah, kayanya soal PG 50. Itu yang sudah pasti," seseorang menjawab.
"50? Masa sih? Kok 50 sih, apa ga kebanyakan?" Suara lain menimpali seperti risih dengan angka 50.
Senyap, dingin angin makin kuat menggelitiki kulit-kulit yang hanya dibungkus seragam tipis. Gambar burung gagah pada baju batik mereka tak mampu mengurangi kejamnya angin dingin November. Angin membawa beban UAS pada mata pelajaran kedua: Bahasa Sunda.
"Ga apa-apa esay Kimia mah, coba kalau esay bahasa Sunda, help, :-( :-( ," suara yang tadi cemas kini menjadi tremor, mirip goyangan Gunung Agung.
"Ih... itu ga seberapa kali, coba kalau esayna pake aksara Sunda, huruf-hurufnya saja sudah begitu susah diingat yang gini-gini kan?" Kulihat tangannya seolah menulis di awan, gerakannya rumit, badannya ikut doyong-doyong, mulutnya kompak ikut membuat bentuk kadang bulat, kadang manyun. Saya menikmati pemandangan akrobat huruf pantomim sambil ikut memikirkan kira-kira suku kata apa yang sedang diperagakannya (~_~) 《•..•》
"Belum lagi kalau huruf a, i, e, o, eu, pamaeh," siswa yang menyandar ke dinding menambah informasi yang membuat temannya makin bergidik ngeri membayangkan soal ujiannya seperti apa nanti.
"Ini, benar-benar p@€h," kata teman-temannya serempak.
"Apa? P@€h ¿¿¿ " anak yang menyender ke dinding sepertinya tidak konek.
"M@t!!! Tau. Paeh = mati."
"Kok bisa mati sih, emang sesulit itu esay Bahasa Sunda. Kamu kan lahir di Sunda, ngomong Sunda, kentut juga Sunda, kenapa ujian aksara Sunda bisa mati?" Siswa nyender semakin ga nyambung.
Si penulis awan terlihat kesal dan berkata,
"Kamu mah ah lemot! Pamaeh artinya kan membuat mati. Mau tak mau kita harus mematikan huruf-huruf vokal di setiap kata kalau mau menulis sesuai kebutuhan. Matilah kita. Bukan pamaehnya yang bikin kita mati, tapi suku-suku katanya itu yang kita ga hafal, boro-boro pakai pamaeh, yang huruf hidupnya saja kita ga bisa."