Saturday, November 25, 2017

Telepon

Menjelang magrib, senyap. Awan-awan emas -hasil permainan sinar mentari sore- yang selalu menghiasi senja kini terlihat pucat. Saya menghabiskan sisa hari libur ini dengan mancabuti rumput yang tumbuh tak terbendung seiring turunnya hujan. Halaman rumah menjadi hijau dipenuhi rumput segala ukuran tak beraturan, terlihat sadis berkontradiksi dengan tanah yang seharusnya bersih tanpa gulma.

Angin sore berhembus kencang, menggigilkan seng atap dapur yang lepas pakunya. Gigilannya  terdengar sebagai bunyi berisik yang mengganggu kesyahduan senja. Kesunyian pecah oleh suara adzan magrib yang menghentikan upaya pembersihan rumput. Matahari semakin jauh menyusup ke ufuk barat, mengingatkan waktu  ikhtiar siangku telah habis. Saya pun masuk rumah dan bersiap berjumpa Tuhan pada sajadahku. Saya pun tenggelam dalam khalwat vertikal dengan Sang Khalik.

Waktu menunjukkan pukul 21.00 ketika saya mendengar dering hape. Kulihat, nama suami muncul. Saya abaikan karena tahu dia sedang tidur di lantai atas. Saya pikir, hapenya tertindih dan menelepon tanpa sengaja. Saya kembali pada kegiatanku.

Kurang dari lima menit,  hape berdering lagi, kulihat, nomor yang sama, nama yang sama. Sedikit agak kesal tumbuh merambat kalbu.

"Kebiasaan! Tidur bawa hape, alesan mendengarkan wayang untuk pengantar tidur. Kalau dia tidur,  tak sadar hape kepencet, ketindih, jadi seolah menelepon. Mending yang kepencet nomor istrinya,  lha kalau yang kepencet orang lain,  bisa dianggap mempermainkan orang." Rambatan kesal berubah barisan kata-kata tak terucap.

Saya klik 'decline' warna merah pertanda telepon ditolak. Saya kembali duduk. Belum lagi duduk dengan sempurna, hape berdering lagi.
Saya biarkan. Saya kemudian minta Excel, anakku untuk mengecek apakah ayahnya benar-benar menelepon atau hanya main-main. Saya menganggap lelucon suami saya kali ini amat buruk.

Excel turun dan mengatakan bahwa ayahnya tidur. Kami berdua berkesimpulan, hapenya kepencet. Karena kesal, saya telepon balik. Tak ada sahutan. Akhirnya saya matikan sendiri.

Belum lagi kami berdua memastikan kesimpulan kami benar. Telepon berdering lagi. Saya merasa berhak marah. Saya naik ke lantai atas untuk memberitahukan bahwa sebagai istri saya berhak memiliki waktuku sendiri.

Setibanya di kamar, saya dapati suami saya sedang tidur.  Saya cari hapenya. Raba-raba dalam gelap, saya temukan hapenya ada di dekat kepalanya. Saya ambil, niatnya untuk menghentikan lelucon kering nan mengesalkan.
Belum lagi hapenya dipegang, tetiba hapeku berbunyi lagi.

Notifikasi muncul.
"Reminder, 25 December, Elea's birthday."

Hari ini 25 November.
Anak pertamaku berulang tahun 25 Desember.
Usianya kini 20 tahun.
Saya akui, tak pernah ulang tahunnya dirayakan dengan kue, lilin, ataupun balon. Hanya dengan  doa-doa yang dipanjatkan pada haribaan Tuhan. 

Kami tentu saja tak pernah akan melupakan ulang tahun Elea. Sekalipun kami tak bersua. Kami berkomunikasi dan kami menemuinya setiap saat pada barisan-barisan doa di setiap habis shalat. Komunukasimu malam ini, tentu saja menjadi kejut yang mengharukan. Doa kami masih sama, "Semoga kamu bahagia disisiNYA."

No comments:

Post a Comment