Seorang siswa kelas 12 celingukan dan bingung mencari sebuah kata yang bisa dijadikan acuan mau jadi apa nanti setelah dirinya dewasa. Dia mengaku bahwa dulu dia punya cita-cita yang tinggi. Setinggi bintang begitulah cita-citanya dia gantungan, sesuai pesan guru SDnya. Dulu dia ingin jadi Dokter. Kalau jadi Dokter bisa menolong banyak orang, banyak uang, mudah bekerja, bisa menghajikan orang tua, bisa menyumbang mesjid, dan memiliki kedudukan sosial di masyarakat. Dokter, menurutnya, satu-satunya pekerjaan yang membuat seseorang menjadi naik derajatnya. Tidak ada dokter yang miskin, dokter mah kaya, punya mobil, jadi orang-orang pun segan padanya.
Kini, kelas 12 hanya tersisa kurang dari 100 hari. Dia buntu harus menulis apa pada lembaran hidupnya agar kelak menjadi seseorang. Dia membeberkan bahwa dia harus menurunkan cita-citanya, tidak lagi menggantung pada bintang yang tinggi. Cita-citanya harus diletakkan di muka bumi, pada tanah dimana dia berpijak.
Menggantungkan cita-cita di langit atau pada bintang, membuat cita-cita itu semakin sulit dijangkau, begitu katanya. Dulu, ketika SD, mengucapkan cita-cita sangat mudah. Tinggal dengarkan saja apa kata teman-teman, kalau mentok sebutkan saja yang biasa diteriakkan sebagai cita-cita yang mulia yakni insinyur, dokter, bisnismen, atau guru juga bisa.
Dia mengaku bahwa dia tidak tahu bahwa mewujudkan cita-cita sesulit meraih bintang di langit. Dia berbisik, ' meraih bintang di langit adalah hal mustahil, sama mustahilnya dengan menggantungkan cita-cita di langit dan kemudian mati-matian meraihnya.'
Impian menjadi dokter harus ditanggalkan. Tidak realistis, begitu katanya. Dulu, dia melanjutkan penjelasannya, mengira bahwa cita-cita itu asal ucap saja, dan semua orang senang. Guru senang karena siswanya bercita-cita, siswa senang karena telah menyebutkan sesuatu dan tatapan guru pindah dari dirinya. Kini, cita-cita menjadi himpitan. Bercita-cita mengenyam pendidikan pada bangku universitas saja sudah seolah hal yang terlalu tinggi.
Dia mengaku masih punya cita-cita cadangan. Ibarat Plan B kalau dalam perang mah, begitu katanya. Seusai SMA, yang hanya tinggal 4 bulan lagi (November, Desember, Januari dan Februari, Maret tidak dihitung karena penuh Ujian). Dia akan membantu mengurangi beban kerja lbunya yang sekarang ini bekerja seorang diri karena ayahnya telah wafat. Segera setelah lulus SMA, akan melamar ke Alfamart, Indomart atau mart-mart yang lainnya. Sambil bekerja akan kuliah di UT.
UT menjadi pilihan karena tersedia kuliah secara online. Jadi bisa bekerja tapi kuliah juga.
Hitungan sederhananya: bayaran kuliah UT bisa dibayar dari gaji bulanan, UT adalah universitas negeri, kuliahnya bisa dimana saja dan kapan saja. Biaya kuliah relatif murah karena tidak perlu dana untuk kos, beli baju, sepatu, tak perlu gaya-gayaan. Saat orang lain lulus, bergelar sarjana, dia pun sama. Mungkin lebih bangga karena kuliahnya dibayar sendiri.
"Cita-cita, untuk sementara tidak akan disebutkan dulu. Sekarang saya akan fokus pada upaya lulus SMA. Setelah jelas lulus, barulah saya akan menuliskan satu cita- cita realistis yang bisa diraih dengan cara dicicil melalui kuliah di UT, " dia menutup penjelasannya.
No comments:
Post a Comment