Semakin panik karena saya khawatir ketinggalan paparan yang disampaikan dosen mengenai model pengembangan pelatihan dengan menggunakan ADDIE (analysis, design, development, implementation, Evaluation) di lingkup NGO.
Kombinasi kedua kekacauan pikir ini, mengakibatkan saya muntah pahit setelah ban mobil berputar meninggalkan jejak di jalan memuju Bandung, sekitar 15 km jauhnya dari rumah. Hal yang tidak pernah terjadi sebelumnya.
Perjalanan tidak dapat dihentikan karena alasan sesak di ulu hati atau mual memenuhi tenggorokan kosong tak terlewati makanan. Dalam puyeng, perjalanan dilanjutkan sambil berusaha mencerna slide di antara loncatan pantat yang mendadak harus dialami karena jalan buruk. Kuranh dari pukul 7, saya tiba di FIP. Tidak bersapa dengan siapapun karena memang belum ada sebatang hidung pun yang saya temui, saya langsung menuju ruang perpustakaan di lantai 6.
Memasang diri dan laptop pada posisi ternyaman sebagai seorang narasumber yang akan menyajikan materi yang pesertanya dominan Doktor berprofesi dosen. Saya menyebut pendidikan mereka secara eksplisit karena pendidikan menjadi alat yang dapat digunakan sebagai pengukur open-minded orang yang menjadi peserta sinkronus saya. Saya juga menggarisbawahi pekerjaan mereka karena dalam pandangan saya, pekerjaan menyumbangkan kerangka pola pikir.
Dengan menggunakan alur MERDEKA saya memberikan kesempatan peserta untuk mendapatkan pengalaman berkenalan dengan tugas dan fungsi seorang fasilitator sekolah penggerak. Dari satu tahap ke tahap lain, tidak terasa, waktu terus bertambah. Keadaan menjadi semakin menantang pada saat server down, peserta dan saya berkali-kali keluar masuk LMS.
Waktu yang dirancang 3 jam telah lewat 20 menit. Saya mempercepat sajian. Sebagian tugas, diminta agar diselesaikan setelah waktu sinkronus selesai. Hasilnya diunggah ke LMS.
Segera saya meninggalkan ruang perpustakaan untuk segera bergabung dalam kegiatan menyambut puasa. Pada saat saya mendampingi peserta, suara penceramah yang dipaksa besar lewat mik telah menyusup ke dalam telinga. Saya harus menjejakkan kaki di antara kaki-kaki penyimak lain. Terlepas dari nanti apakah saya paham atau tidak terhadap apa yang disajikan oleh ulama-profesor al Furqon. Hadir, itu yang penting.
Benar saja, saya tidak paham dengan paparan-hampir selesai sang ulama-profesor al Furqon. Beruntunglah karena ketidakpahaman tidak mencuat seperti tanduk, jadi tidak terlihat.
Saya ber-aaamin saat ulama-profesor al Furqon meminta semua pendengarnya mengucap ulang doa dalam bahasa Arab.
No comments:
Post a Comment