Friday, October 26, 2018

Bukan mimpi

Ketika saya masuk ke ruangan dan menengok ke samping kanan, terlihat kosong yang senyap di sepanjang lorong kelas. Kosong yang  sangat rapuh. Mungkin pengaruh pagi di bulan Oktober yang dijenguk hujan sejak sore kemarin.

Masih segar dalam ingatanku, istriku mengantarku dengan senyum. Setiap pagi pada saat kutinggalkan, selalu ia nampak lebih cantik.

Saya menatap diriku sendiri kini. Saya berbaju batik mengukuhkan diriku adalah seorang guru honorer pada sebuah SD. Untuk saat ini, honorer menjadi pilihan yang paling sesuai karena ijazahku dari fakultas pendidikan untuk guru sekolah dasar.

Menjadi guru, menjadi honorer, tidak pernah kuimpikan. Yang kuimpikan adalah menikahi Fitri, dan memberinya rumah dengan  kolam berisi ikan Koi di dalamnya.

Senyum Fitri selalu kubawa setiap kali ia mengantarku ke pintu untuk meninggalkan rumah kontrakan. Senyum itu yang menguatkanku untuk menginjakkan kaki ke halaman sekolah.

"Pak, maaf mungkin ada sedikit sedekah," suara seorang lbu membuyarkan senyum Fitri yang menari dalam kepalaku.
Kulihat seorang ibu menuntun anak perempuan kecil. Kumal. Kantong keresek hitam lusuh dalam pelukan menutupi dadanya. Ia menatapku penuh harap.

Tatap itu, mewakili kelaparan dan kegetiran menelusuri jalan tanpa ujung,  tanpa tempat tinggal. Tanganku merogoh saku. Kusobek amplop gaji honorku katanya dari BOS: 3 lembar 50 ribuan.

Selembar uang berwarna biru berpindah tangan. Terbayang wajah Fitri yang akan berkata ,"Mas, mari kita lanjutkan puasa Daud kita."

No comments:

Post a Comment