Tidak pernah sesuatu hadir, maujud, tanpa ada sababiah, asal muasal. Hukum umum kehadiran benda: dari tidak ada menjadi ada.
R2L Writer menjadi ada dengan sababiah mimpi. Mimpi seorang guru yang ingin membelajarkan dirinya melalui belajar bersama orang lain. Teman belajar yang dipilihnya adalah rekan sejawatnya sendiri dan siswanya dari semua kelas dari satu sekolah.
Ambisi membelajarkan diri sendiri dengan melibatkan individu lain tentu terdengar merepotkan. Apalagi bagi para pembelajar tipe autonomous dan otodidak. Cara belajar yang membelajarkan diri sendiri, bukan tidak mungkin, bahkan malah membuat lahirnya sebuah karya dan karsa, menjadi terhambat. Penghambat utamanya bukan karena dia tidak mau belajar, tapi bagaimana dirinya yang piawai belajar sendiri harus membawa orang lain menjadi belajar.
Saya, seorang guru sekolah menengah, bukan seorang otodidak. Saya memiliki banyak guru, belajar dari berbagai sumber. Alasan itulah melandasi saya harus belajar bersama orang lain, dibantu orang lain, dan sekaligus membelajarakan diri sendiri dan orang lain. Seorang guru memiliki tanggung jawab moral untuk tanpa henti belajar sekaligus mengajak orang lain untuk memulai sesuatu yang positif dan jangan bosan belajar.
Menanam benih untuk melahirkan generasi literat dengan ditandai membaca secara sukarela dan diikuti oleh menulis terdengar mustahil. Bagi bangsa ini, kabarnya membaca bukan perkara mudah, menulis apalagi. Bagaimana dengan kondisi warga sekolah dimana saya bekerja? Karena mereka adalah warga negara Indonesia juga, maka kondisinya tidaklah jauh berbeda dengan warga negara Nusantara lainnya.
Sebagian siswa sangat senang membaca. Bagaimana kabar gurunya? Sama seperti siswanya, ada yang sangat antusias menambah wawasan kepedagogisannya dengan membaca, ada yang semangat menambah pengetahuan dengan menyimak seminar, dan ada juga yang diam-diam belajar sendiri.
Keherogenan kondisi ini menjadi menarik untuk dipelajari apakah kelak kelahiran program R2L Writer memberikan sumbangan bagi terjadinya perubahan.
Mimpi saya untuk menjadikan lingkungan sekolah menjadi tempat belajar yang membelajarkan individu, dimungkinkan terjadi karena saya dimintai bantuan untuk menjadi penanggung jawab kegiatan Literasi Pengembangan yang dikaitkan dengan Jurnalistik.
Sekolah dimana saya bekerja memiliki pelajaran yang berbeda dengan sekolah lain, yakni Jurnalistik dan Sinematografi. Mata pelajaran ini muncul berasal dari analisis kondisi sekolah yang berada di pusat kota Cianjur. Kondisi geografis ini memunculkan keunggulan secara potensi individu atau SDM. Maka ditetapkanlah Jurnalistik dan Sinematografi sebagai muatan sekolah yang berbasis keunggulan lokal.
Sebelum menjadi sekolah rujukan, sekolah ini berlabel sekolah berbasis keunggulan lokal.
Saat ini sekolah ditunjuk menjadi sekolah rujukan dengan ada bantuan pemerintah dalam bentuk dana untuk meningkatkan kualitas proses, dan hasil pembelajaran. Terdapat program gerakan literasi sekolah diantara program2 lain yang harus dilaksanakan.
Literasi tahap lanjutan berupa diadakan pelatihan menulis kreatif sangat sesuai dengan rintisan sekolah bermuatan keterampilan jurnalistik.
No comments:
Post a Comment