Harus nulis apa?
Ya ... Sudahlah
Itu unggahan yang ditulis Kang Asep (nama facebook, entah siapa nama aslinya) pada wall facebook milik saya.
Bagi saya, pertanyaan yang ditulis Kang Asep merupakan pertanyaan saya juga. Atau bahkan, bisa saja pertanyaan banyak orang.
Nulis apa? Rasanya tidak ada yang bisa ditulis (dan yang lebih tidak mengenakkan adalah perasaan tidak berbakat menulis).
Baru-baru ini, pada sebuah lokakarya literasi yang digagas Balai Bahasa Jawa Barat, saya bertemu seorang penulis yang sangat murah hati. Namanya Wahyu Kris A W. Dalam rangkaian sajiannya yang berfokus pada menulis cerpen, dia memberikan jalan juga cara mengenai apa saja yang bisa ditulis.
Wahyu Kris menegaskan bahwa inspirasi menulis tidak bisa ditunggu. Mirip menemukan belahan jiwa, inspirasi harus dicari. Kemana? Kata Wahyu Kris, carilah di tiga tempat yang akan saya uraikan di bawah ini. (Uraian lebaynya saya yang nambah-nambah sendiri, Wahyu Kris sendiri, menjelaskanya dengan sangat serius, tentu saja).
Tempat pertama, kunjungi medsos. Jika lihat (eh baca) medsos, upayakan tidak berhenti jadi konsumen atau sekadar penikmat sajian tulisan yang dibuat orang lain. Jempol yang biasanya digunakan untuk salin-rekat, beri tugas dengan prosedur baru. Usai mencerna bacaan, tulislah semacam review, bisa juga menulis konten yang sama namun dengan kualitas yang lebih baik, kalau memungkinan, tulis konten yang isinya melawan hoaks.
Membaca dengan sumber medsos memberikan asupan pada pikiran kita untuk mendapatkan ide baru. Pada dasarnya, ketika kita kontak dengan sebuah tulisan, pikiran kita mencernanya. Ibarat mencerna makanan, tulisan memiliki efek berbeda-beda pada pembacanya.
Ada tulisan yang membuat dahi berkernyit karena tidak setuju. Ada penggalan kalimat yang membuat kesal karena terlalu men-generalisir. Dan banyak efek lainnya yang hadir. Jika selama ini efek yang dirasakan dari bacaan berhenti di pikiran, sekarang, tulislah.
Tempat kedua, lihatlah gambar dua dimensi. Selama ini, gambar dalam bentuk foto (yang jumlahnya ribuan) disimpan di gawai dan hanya menjadi koleksi pribadi yang keindahannya berhenti di folder. Foto-foto itu sesungguhnya bisa menjadi inspirasi untuk menulis.
Bagaimana menulisnya? Jelaskan saja foto itu dengan kata-kata. Contoh: sebuah foto memuat gambar seorang perempuan sedang menuntun sepeda dengan karung membumbung di sadelnya. Foto itu diambil siang hari, dengan latar pinggir jalan raya.
Mengacu pada foto tersebut, kita bisa menuliskan banyak hal. Kita bisa menuliskan aktivitas yang terlihat pada foto. Kita juga bisa menuliskan perasaan kita ketika melihat foto tersebut. Bisa pula menuliskan hal yang tidak terlihat pada gambar tetapi terkait dengan tema gambar, seperti perempuan yang menjadi ayah, kebahagiaan pengangkut karung, menyongsong impian. Jika enggan mendeskripsikan, bisa juga membuat puisi berdasarkan foto tersebut.
Tempat ketiga, kunjungi sebuah tempat. Ini serius. Ada yang mengatakan untuk dapat ide menulis, pergilah ke cafe. Saran pergi ke cafe tentu tidak berlaku untuk semua orang. Yang benar, saat berkunjung ke sebuah tempat, di manapun, tempat itu bisa menjadi sumber inspirasi menulis.
Apa masuk kamar tidur sendiri bisa jadi inspirasi menulis? Bisa.
Coba perhatikan kamar yang biasa kita kunjungi tiap malam dengan cermat. Perhatikan warna dindingnya, warna sepreinya, bentuk tempat tidurnya, kolong tempat tidurnya. Kamar itu menjadi tidak biasa, menjadi tempat yang berbeda jika dicermati setiap incinya. Dan tulislah hasil cermatannya.
Bagaimana kalau tidak bisa kemana-mana? Menulis masih bisa. Idenya bisa dari buku yang kita baca, bisa dari film yang kita tonton, bisa dari lagu yang kita dengar, bisa dari rengek tangis seorang ibu muda.
Masih banyak sumber ide yang lain yang dapat dijadikan inspirasi menulis. Ide-ide tadi menjadi bahan yang dapat diramu menjadi tulisan. Inspirasi akan hilang dan terlupakan jika tidak (segera) diabadikan ke dalam tulisan. Masalahnya, nulisnya bagaimana? Ya tulis saja. Tidak ada teorinya. Satu-satunya teori: mulailah menulis.
No comments:
Post a Comment