Pencari Matahari
Oleh: Badriah
Taman menjadi satu-satunya tujuan untuk menurunkan temperatur akhir Juni yang berpadu dengan selembar kertas penentu akhir masa kerja akibat kebijakan perampingan dikantorku. Dunia mendadak sempit, semua tempat telah penuh oleh orang lain. Aku harus mencari tempat baru, dunia baru, dan yang paling mengerikan harus berakhir dengan mencari pekerjaan baru. Tengah hari ditemani secarik kertas pemutusan hubungan kerja, hanya mampu mengantarkan kakiku ke taman kota. Kulihat hanya ada seorang anak kecil menjajakan kopi. Rambut hitamnya berkilau memantulkan sinar terik mentari.
Meminum kopi mungkin kafeinnya meluruhkan kegelisahanku yang kini bergelar penganggur. Kuminta ia membuatkanku segelas plastik kopi Luwak. Ia mengiyakan tanpa menengadah apalagi menunjukkan wajahnya yang tirus berbayang urat-urat halus berwarna hijau. Tangannya dengan cekatan menuangkan air panas dari termos. Satu jari tangannya diletakannya di mulut termos seakan memastikan air panas melewati jemarinya sebelum segelas kopi terhidang untukku. Halus suaranya menghantar kopi, "Sila diminun, ini kopi terbaik saya."
Menikmati kopi di tengah taman terasa menggenapkan keindahan taman itu sendiri. Mataku mencari matanya, hendak kukatakan pada matanya bahwa aku akan membayar lunas kesempurnaan kopi dan taman yang telah disajikannya. Kurogoh satu-satunya uang duapuluh ribuan dan berkata, "Duapuluh ribu ini tak cukup membayar kesempurnaan kopi dan taman." Ia menjawab, " Matahari terik yang menerpa ubun-ubun kepalaku itulah bayaran yang kucari. Kabarnya matahari bersinar terang, aku mencari terangnya untuk kukabarkan pada buta mataku."
No comments:
Post a Comment