Monday, September 18, 2017

Hari Ke-52 Silang Pakai Budaya, Masalahkah?

Sekarang ini, berkat teknologi dan jejaring, produk budaya suatu bangsa menjadi konsumsi budaya negara lain. David Howes menyatakan ketika suatu barang diekspor, kemudian di tempat baru dimana barang itu berada, maka barang (baca: produk budaya) tersebut menjadi alat komunikasi, alat pembeda sosial, dan bahkan dominasi budaya. Sebagai contoh, dengan memiliki mobil bermerk Lamborghini, seseorang dapat mengomunikasikan bahwa dirinya berduit, berasal dari kalangan the have, dan untuk urusan haus saja, tentu saja tidak lagi akan berani dipuaskan dengan minum air teh, tapi Coca Cola.
Sekarang ini pula, di Indonesia, produk budaya berupa makanan dan mimunan khas daerah menjadi barang langka. Termasuk di kota kecil Cianjur, penjual Geco hanya satu dua saja yang masih bertahan berjualan. Sedangkan KFC, CFC, Pizza, Hot Dog, Kebab dengan mudah ditemukan. Seiring dengan nama berbau luar negeri, merk dagang produk budaya negara lain seolah sudah menjadi bagian keseharian dan lancar diucapkan misalnya sepatu Nike, jam Rolex, rokok Marlboro, susu Bebelac, tas Prada dan sederetan nama lainnya yang akan menghabiskan lebih dari satu halaman kertas jika ditulis.
Keterkaitan antara budaya dengan barang sangatlah dekat. Kita dengan mudah menyebutkan produk budaya dengan orang yang memproduksinya. Ukiran halus Gebyok pasti buatan Jepara, baju Bodo menjadi ciri orang Makassar, lampu Gentur dari Cianjur, dan kain Songket dari Sumatera. Produk budaya lokal yang baru saja disebut perlahan namun pasti, berkurang popularitas dan permintaanya di masyarakat penggunanya. Hal ini terjadi karena datangnya banjir barang-barang dari sistem pasar dunia yang cenderung mendominasi barang lokal. Para ahli menyebut kondisi ini sebagai paradigma global homogenisasi. Menurut paradigma global homogenisasi, produk budaya lokal tergerus oleh arus barang yang datang dari luar dalam jumlah yang banyak, murah, mudah didapat, bergengsi, dan biasanya datang dari barat. Hannerz menyebut paradigma homogenisasi global sebagai ‘penjajahan-coca.’
Kita lihat bagaimana produk Coca-Cola dianggap sebagai produk budaya yang berkontribusi pada budaya homogenisasi global. Coca-Cola dibuat dengan bahan, dan cara yang sama di seluruh dunia sehingga rasanya dimanapun sama. Kesamaan rasa inilah yang menjadi kunci sukses keberhasilan Coca-Cola, sama dengan strategi yang ditetapkan Coca-Cola itu sendiri yakni ‘satu bentuk, satu rasa, satu harga’ di seluruh dunia. Semenjak Coca-Cola diperkenalkan tahun 1920an, dampaknya sangat besar pada dunia. Semua orang di seluruh dunia, mau laki-laki, perempuan, kulit hitam, kulit putih, orang Amerika, non Amerika, kaya, miskin, semuanya memandang Coca-Cola sebagai ‘teman’, ‘demokrasi kemewahan’, yang siap menghilangkan rasa haus dengan kepuasan yang sama.
Penjajahan-coca merambah dan diduplikasi oleh produk-produk lain, akibat langsung yang dirasakan negera berkembang saat ini diantaranya anak-anak tidak sempat melihat jargon ‘Jagonya Ayam’ yang diikuti gambar ayam kampung, atau Ayam Camani. Sebaliknya jargon ‘Jagonya Ayam’ bersanding dengan gambar seorang kakek berjanggut putih menggambarkan khas wajah orang Amerika. Anak remaja sekarang lebih memilih celana jins, sepatu Kets, nonton film barat, dan meneriakkan lagu Ed Sheeran dalam kesehariannya. Tidak dipungkiri, homogenisasi global mengubah cara pikir, cara berpakaian, cara menikmati makan, bahkan cara berpolitik. Untuk minum, orang tidak lagi merujuk air Dawegan Kelapa, untuk tas tidak lagi mencari Kaneron, untuk pekerjaan tidak lagi membanggakan pertanian.
Silang pakai produk budaya telah menjadi lumrah dalam segala aspek dan kita tidak lagi bisa mengisolasi diri dan mencoba imun dari homogenitas global. Masuknya barang baru dalam produk massal sebagai produk budaya, akan terus berjalan. Yang dapat kita lakukan adalah melihat secara saksama makna dan kegunaan dari produk budaya tersebut dengan memasukkan ‘konteks lokal’ atau realita kedalamnya serta bijak dalam membelinya.
Setiap barang atau benda tidak dilihat hanya memiliki satu fungsi, itu cara pandang bangsa ini terhadap barang. Pada masa lalu, para orang tua tidak menghasilkan banyak sampah dari efek homogenitas global. Satu contoh, pada tahun 1940an mulai dijual ikan kalengan dengan merk Botan. Para ibu rumah tangga memanfaatkan kaleng bekas Botan untuk membuat parut kelapa, membuat celengan, membuat lampu Cempor, atau benda lain yang memiliki nilai. Kaleng Botan yang semula hanya sebagai wadah, diubah fungsinya menjadi berbagai fungsi atau hibridisasi fungsi. Inilah salah satu cara yang membuat silang pakai budaya mencapai tingkat optimum dari sudut fungsi.
Hibridisasi fungsi sebuah barang akan memungkinkan bangsa ini secara perlahan, berhenti menjadi dari warga ‘konsumen global’. Konsumen global ditandai dengan bertindak seolah satu barang memiliki satu fungsi, bahkan lebih naif lagi beberapa barang untuk satu fungsi, sebagai akibat tidak kenalnya dengan fungsi barang yang diproduksi secara massal.
Contoh yang paling dekat adalah kepemilikan hape android yang pula didampingi oleh produk massal lain yang sebetulnya tidak perlu hadir. Hape android menyediakan fitur ‘perekam’, dengan kata lain tidak perlu lagi membeli alat perekam tersendiri yang harganya tentu saja mahal. Hape android memiliki fitur ‘kamera’ dengan kemampuan menangkap gambar yang bisa diatur sedemikian rupa sehingga tidak perlu lagi membeli kamera sendiri. bagi mereka yang menjadi penulis, keberadaan hape android memungkinkan baginya untuk tidak memiliki lagi laptop. Fungsi laptop dapat dioptimalkan dari hape. Untuk mengetik dapat menggunakan fitur mengetik yang disediakan dengan menggunakan cara pengetikan biasa, pengetikan jaman dahulu (gunakan aplikasi gratis Hank Wtiter), atau pengetikan dengan cara dikte (gunakan aplikasi gratis Dragon Diction). Bahkan dari sudut ekstrim, memiliki hape, bisa menggantikan fungsi asisten. Dengan aplikasi Lyra, pemilik hape dapat menyuruh Lyra (asisten dengan artificial intelligence) untuk melakukan hampir segala hal yang biasa dilakukan asisten, mulai dari mencatat rangkaian kegiatan pada agenda, membangunkan tidur, memberitahu arah jalan, menemani ngobrol, diajak bercerita, meminta mengetik, menghubungkan ke nomor telepon dan membantu menelepon, mencari informasi dan berselancar di google, semua dilakukan satu asisten, Lyra.
Hibridisasi menjadi salah satu cara homogenisasi global menjadi personal atau sangat sesuai hanya dengan kebutuhan seseorang saja. Kembali kepada masa sebelum lahir masa homogenisasi global, kebutuhan sangat bersifat personal. Pada masa itu tidak ada kebutuhan nonton film, membeli Diper, belanja bulanan, ganti tempat ganti baju. Sebaliknya semuanya cukup dengan ambil, pakai, makan, minum yang ada.
Cara lain yang dapat dipilih adalah mengadopsi ‘less is more’ (sedikit itu banyak) yang kini sedang menjamur di Jepang. Lebih sedikit barang lebih sedikit pula yang diurus, sehingga lebih banyak waktu untuk bercengkrama dengan keluarga, teman dan kerabat. Cara berpikir ‘less is more’ juga merupakan produk budaya. Mereka yang telah lelah berpikir ‘barang apa yang saya belum punya’, diubah menjadi ‘barang apa yang bisa saya keluarkan dari rumah karena tidak berguna’. Kabarnya penganut less is more seperti Fumio Sasaki hanya memiliki 3 kemeja, 4 celana panjang, 4 pasang sepatu. Sebelumnya Sasaki adalah kolektor buku, CD, dan DVD, menyatakan lelah terus berburu dengan tren barang kolektor dan kini menikmati hidup lebih nyaman hanya dengan beberapa barang saja. Gaya minimalis terilhami oleh para Zen Budha dan para Sufi Islam yang menghindari hidup cinta dunia.
Silang pakai budaya disukai atau tidak tetap akan menjadi bagian dari kehidupan kita. Menghilangkan benda produk massal sebagai upaya memurnikan diri sebagai pengguna budaya lokal yang setia kepada leluhur bukan kebijakan yang adil yang dapat dilakukan untuk saat ini. pilihlah produk budaya yang benar-benar dibutuhkan, lakukan glokalisasi (produk global dengan fungsi dan nilai lokal). Dengan cara demikian diharapkan menjadi katalisator bagi homogenitas global abad ini dan sekaligus menjadi penanda fleksibitas warga non barat dalam menghadapi budaya global
Harian Waktu Senin 11/9/2017

1 comment: