Saturday, September 23, 2017

Hari ke-60 Libur, Bisa Gak?

HARI INI, saya memiliki 24 jam yang benar-benar milik saya sendiri. Tidak ada tugas di luar jam kerja, tidak ada sisa laporan yang harus diselesaikan, tidak ada hutang tulisan yang ditunggu deadline, tidak ada janji, tidak ada agenda yang harus dipenuhi, tidak ada tanggung jawab sebagai Ibu, sebagai istri, tidak ada apa-apa. Bebas.

Bangun tidur dihantui mimpi. Dalam mimpi teman yang lama tak besua, meninggal karena kanker. Karena hari ini milik saya, pagi-pagi, bukannya ke dapur, tapi menelepon. Menanyakan kabar, menanyakan hal-hal basi, ternyata teman lama yang dimimpikan meninggal, sehat walafiat. Hanya katanya dia agak stress akhir-akhir ini, selalu lupa hari, tiba-tiba sudah Sabtu lagi. Dia mengatakan tidak siap meninggal, masih banyak urusan, keluarga, pekerjaan, semua belum beres. Katanya sih sempet kepikiran bagaimana kalau masa hidupnya dicabut. Dia ngeri sendiri, bilang belum siap berjumpa ajal.

Ngobrol dengan teman lama, ya lama, dan … lupa waktu, 2 jam bertelepon dan harus diakhiri karena saya kebelet pingin ke belakang.  

Meninggalkan toilet, pikiran saya sudah memberitahu, hari ini, tidak ada pekerjaan, semua off, silakan buang waktu sesuka hati, jadi orang malas juga … boleh. Maka jadilah saya orang malas.
Kemalasan dimulai dengan membuka bonus 1013MB VideoMax dari HOOQ  yang artinya memiliki kesempatan menonton film tanpa ambil kuota paling tidak selama 2 jam secara streaming atau download. Saya ingin melihat bagaimana Angels and Demon tulisan Dan Brown dimainkan Tom Hank. Tapi saya takut, bagaimana jika filmya tidak serame bukunya, atau saya malah kecewa karena film bukanlah secara 100% memindahkan isi buku ke layar. Niat menggunakan bonus. Batal. Mending pakai masker saja. Sudah hampir seratus hari produk masker dibeli, namun belum juga dipakai. Selalu saja ada bayangan menakutkan kalau memakai masker. Bayangan tersederhana adalah pas selesai bermasker, tiba-tiba ada tamu yang datang tanpa janji. Ditolak dengan alasan saya sedang menghindarkan diri dari dakwaan masker yang dibeli tapi tidak dipakai, pasti tidak enak ke si tamunya. Tidak ditolak, tidak mungkin saya buru-buru basuh wajah, ternyata tamunya hanya mau nagih iuran RT saja, misalnya. Padahal harga maskernya, lebih besar dari iuran tagihan ke-RT-an.
Niat bermasker, dibatalkan, abort, unwelcomed guests may come anytime. Dan saya benar, sekitar lima menit dari pembatalan memakai masker terdengar suara ragu Assalamu’alaikum. Saya buka pintu (sambil bilang Alhamdulillah belum bermasker), saya lihat seorang anak perempuan tanggung yang memanggil saya ‘Tante” menanyakan keberadaan anak saya. Saya tanya sudah janjian atau belum, dia jawab, belum. Saya jelaskan bahwa anak saya sedang ke Kecamatan, mencari internet gratis, katanya buat mengerjakan pe-er. Si anak tanggung menutup pertamuan dengan mengatakan akan menyusul anak saya ke kecamatan. Saya duduk sambal memikirkan panggilan ‘Tante’ dari teman anak saya.  Kota kecil ini telah berubah besar sekali. Saya tidak mengira, untuk kampung sekecil ini ada kata “Tante” muncul dari mulut anak-anak. Saya membayangkan kata ‘Ibu’ sebagai pilihan panggilan untuk nenek-nenek (muda wkwkwkk) akan dipilih anak-anak kepada saya. Dan saya salah. Agak canggung rasanya dipanggil ‘Tante’. Tapi sudahlah Tante.

Saya berniat membuat nasi goreng ketika terdengar pintu diketuk orang. Masak, batal, abort. Saya buka pintu (sambil bilang alhamdulilah berlum bermasker), ternyata ada Kakak yang mampir untuk say hi dan memberikan oleh-oleh favorit, pisang. Ngobrol ngalor kidul tidak jelas, asal sunyi pinggiran makam pecah, akhirnya Kakak berangkat lagi, saya duduk lagi, mikir. Ini libur, terus?

Hape, cek hape saja. Mungkin ada yang menarik. Saya buka Flipboard. Ada apa di belahan dunia lain hari ini. Ada berita 20 foto terbaik dengan latar bencana alam. Ada artikel “Adulting Would Have Been So Much Easier If these Vital Life Lessons Were Taught in School”. Artikel ini menyoroti bahwa sekolah tidak membantu hidup di luar sekolah menjadi lebih mudah karena hanya berfokus pada tampilan kinerja akademis siswa saja (setting India). Si penulis menyarankan agar sekolah mengajarkan bagaimana caranya membuka rekening bank dan mengirim uang secara online, atau mengambil uang yang dibayar dengan Pay Pal. Kedua, sekolah harus mengajarkan etika bertamu (pada saat travelling) dan etika penggunaan barang-barang publik. Sekolah juga harus mengajarkan bagaimana cara bertahan hidup dan cara mengelola keuangan. Selain itu, sekolah harus mengajarkan bagaimana cara menghadapi kegagalan hidup dan bagaimana cara menjalani kegagalan dengan cara positif. Masih banyak yang harus diajarkan di sekolah yang menurut penulis agar para siswa menjalani kehidupannya kelak dengan lebih mudah.

Saya merasa bacaan ini menjadi tugas tambahan yang harus disisipkan pada saat mengajar nanti. Ternyata, masih banyak yang kurang dalam pengajaran yang saya berikan. Pikiran saya memikirkan mengajar, hey.. ini libur. Stop thinking about teaching. Saya pindah ke fitur musik, sudah lama tidak mendengarkan Kacapi Suling Cianjuran, saya menyimak Bubuka. Pagi-pagi, belum makan, rasanya kurang pas mendengarkan Cianjuran.

Mengisi libur yang tak berjadwal, bisa memilih kegiatan apapun, come on, ayolah, sedikit kreatif, 24 jam itu waktu yang cukup untuk merasakan malas (bebas jadwal). Ganti, jangan Cianjuran, cari yang membuat tertawa, semangat, terinspirasi. Saya menyetel Wayang. Seisi rumah penuh dengan suara Dalang Asep Sunandar Sunarya menyajikan Sumur Sijalantunda. Kisah yang mengangkat peristiwa Jenderal yang dibuang ke sumur Lubang Buaya. Penggalan peristiwa G30S/PKI versi wayang, sama mengerikannya, namun tidak semengerikan (visually) ketika dulu saya menonton filmnya. Wayang sangat menarik perhatian saya, kehebatan dalang bercerita tunggal namun bersuara berbeda-beda sesuai karakter. Saya mendengarkan wayang dengan saksama, tapi jadi kurang konsentrasi karena lapar. Tidak ada makanan. Hanya ada Mie instan. Baiklah, ini hari malas, hari libur, tidak ada acara masak, bikin mie instan saja. Selesai.  

Sendirian, menikmati Mie Instan, tanpa ada daging ayam, hiasan bawang goreng, tomat, atau yang lainnya seperti yang tertera pada bungkus Mienya. Rasanya? Pahit air liur sejak pagi belum terlewati apapun, berubah rasa (terlalu) gurih sehingga saya menambahkan air jeruk nipis kedalamnya agar sedikit ringan kegurihannya. Inilah rasa makanan pada saat libur. Nikmati saja Tante.

Ternyata menikmati Mie Instan diiringi Wayang, juga tidak cocok. Rebus Ubi atau rebus singkong mungkin pas. Saya matikan Wayang dan memindahkan mangkuk kotor, ke tumpukan piring kotor lainnya yang telah menggunung. Ini libur, tidak ada acara mencuci piring. Saya menjadi orang malas. Saya lihat, baju kotor menunggu dicuci. Saya lihat, lantai belum dibersihkan, pekerjaan domestik. NO. Ini libur, tidak ada pekerjaan domestik. Baju kotor, biarkan saja, kalau perlu baju, pakai baju bersih saja, kan masih ada.

Menikmati libur ternyata malah melelahkan. Libur mungkin akan terasa libur ketika benar-benar tidak memikirkan apapun. Tidak memikirkan kombinasi mie instan dengan wayang, tidak memikirkan inti bacaan dengan pekerjaan, tidak memikirkan panggilan Tante vs Ibu, tidak memikirkan urusan domestik. DAN, libur itu perlu bertemu orang. Libur hanya bertemu aku dan saya saja, bulak balik, disitu-situ saja dan ke situ-situ saja. Kesimpulannya, saya perlu libur beneran.

No comments:

Post a Comment