Pada saat para siswa diminta menuliskan masalah apa yang membebani, sebagian besar siswa yang tinggal tidak bersama orang tua atau ngekos, mereka memandang bahwa tinggal tanpa orang tua adalah masalah. Jauh dari orang tua dan harus mengatur hidup sendiri, mereka sebut mandiri. Dan itu adalah masalah. Masalah pertama adalah makan. Mereka membuat nasi sendiri dan membeli lauknya. Mereka mengatur keuangan yang biasa diberikan secara bulanan.
Sebagian besar siswa SMA kelas XI yang saya ajar tinggal bersama orang tua. Semuanya hanya tinggal pakai, tinggal ambil, tinggal marah. Mau kendaraan, mau baju, mau, sepatu, semuanya telah disediakan. Milik orang tua adalah milik anak. Walaupun belum berSIM, motor boleh dipakai atas nama mempercepat kehadiran di sekolah.
Mau jajan, mau hape, mau pulsa, mau kuota, semua kebutuhan itu telah jadi bagian dari uang saku. Minta uang jajan dengan kuota sekalian menjadi biasa dengan alasan pelajaran zaman sekarang mah banyak pakai kuota. Walaupun sesungguhnya kuota digunakan untuk Mobil Legend, Tic Toc atau bermedia sosial lainnya. Orang tua tak urung mengabulkan khawatir si anaka benar-benar membutuhkan kuota untuk dukungan belajar.
Kemudahan yang dialami siswa yang tinggal bersama orang tua, tentu tidak dialami anak kos. Pagi-pagi harus mencari makan sendiri, sedangkan anak yang tinggal bersama orang tua malah diteriaki dipaksa makan agar tak sakit perut.
Pada saat pulang sekolah, anak kos harus mencari makan lagi. Pada saat libur, Sabtu Minggu digunakan untuk membersihkan kamar dan mencuci baju. Kedua pekerjaan yang tidak dilakukan sebagian besar anak yang tinggal bersama orang tua.
Tidak tinggal bersama orang tua memaksa anak kos mengerjakan semuanya sendiri. Dalam budaya Indonesia ada kesan bahwa anak dilayani orang tua. Mau makan, tinggal ambil, mau baju, tinggal pakai, mau apapun tinggal minta. Ketika anak kos tidak bisa merajuk untuk menikmati sayur kesukaan, atau merenggut manja untuk mendapatkan baju baru, maka ketidakbisaan ini dipandang ketidakadilan. Maka tak sedikit, anak kos yang didampingi orang tuanya dalam semester awal sekolahnya. Selanjutnya ditemani saudara atau pembantu.
Maka ketika seorang anak Indonesia melanjutkan kuliah ke luar negeri dimana semuanya menggunakan motto DIY (Do it yourself) mereka terkejut sampai merasa shock culture. Di tanah air mereka berlaku bak raja kecil yang bisa menyuruh-nyuruh, di tanah orang dia harus jadi orang biasa yang mengerjakan semuanya sendiri. Memasak, mencuci baju, berbelanja semuanya tidak bisa selesai dengan merajuk atau merenggut.
Siswa kelas XI yang mengeluh bahwa mandiri adalah masalah tentu ini menjadi isyarat bahwa ia sebelumnya adalah raja kecil yang semuanya dilayani. Mandiri seharusnya tidak masalah bahkan sejatinya dipelajari sehingga diperoleh dan menjadi bagian dari keterampilan personal. Semoga saja masalah mandiri ini tidak terjadi di kelas X atau kelas XII yang tidak saya ajar.
No comments:
Post a Comment