Wednesday, August 29, 2018

Terselip diantara para budayawan

Bergabung satu mobil dengan budayawan yang dibicarakan, ya pasti budaya. Mulai dari adat istiadat  norma, ritus,  sampai pengetahuan tradisional. Semua hal tersebut  dibahas diantara kantuk akibat malam sebelumnya belum mendapatkan tidur yang cukup.

Sebagai "orang biasa" atau mungkin lebih tepatnya "orang" tanpa embel-embel biasa. Ketika berada dalam satu waktu dan tempat yang sama dengan budayawan,  maka saya  menjadi pendengar murni. Pengetahuan tentang kebudayaan tidak saya miliki. Namun itulah hebatnya budayawan, mereka memandang orang lain dengan kacamata budayawan.  Setiap orang dipandang sebagai sebuah seni yang hidup.

Obrolan berbelok pada pertanyaan kenapa budayawan Sunda tidak pernah bisa jadi pemimpin. Dengan seloroh dikelakarkan bahwa kemungkinannya karena budayawan memakai ikat kepala. Saya mencoba tersenyum disela upaya menahan nguap.

"Coba saja perhatikan,"  kami semua yang ada di dalam mobil diajak menganalisis.
"Siapapun yang berikat kepala sebagai penanda bahwa dirinya budayawan, tidak terpilih sebagai pejabat publik," kata salah satu Bapak yang duduk di samping saya.
"Ikat kepala bisa saja bermakna negatif," lanjutnya, "Bisa diasosiasikan dengan dukun, tukang ramal, atau lebih buruk lagi sebagai gambaran orang malas kerja karena pekerjaanya, ya, ngurus iket kepala."
Kami semua tertawa.

"Mungkin bukan karena ikat kepala," Bapak yang lainnya menyanggah.
"Budaya mendahulukan orang lain, menempatkan orang lain terlebih dahulu ketimbang diri sendiri yang dipakai orang Sunda, itulah penyebab kenapa budayawan tidak memiliki peluang memegang jabatan penting."
Dengan tenang beliau melanjutkan dengan memberikan contoh. Menurut hematnya orang Sunda, jika bersama dengan orang lain. Dia akan mempersilakan orang lain duluan. Misalnya di tempat ibadah, jika tahu yang datang belakangan secara sosial derajatnya lebih tinggi, dengan senang hati memberikan tempatnya pada orang tersebut.
Makanya, pada saat pemilihan kepala daerah misalnya, orang Sunda akan kalah terus karena mempersilakan orang lain mengambil posisi itu.
Perkataan , "mangga tipayun," atau silakan duluan secara harfiah membpersilakan orang lain duluan.
Penjelasan ini pun kembali disambut gelak tawa seisi mobil.

Ikat kepala yang biasa menjadi pemanda suku bangsa, dalam obrolan budayawan terdengar berbeda karena dihubungkan dengan jabatan publik.

No comments:

Post a Comment