Thursday, May 24, 2018

Tes itu urusan kecerdikan

Melihat siswa berkerut-kerut alis ketika mengerjakan soal,  mengingatkanku pada waktu dulu ketika ujian statistik. Mata kuliah yang paling ditakuti karena kemampuan numerikku tidak bagus. Pada saat pengumuman bahwa ujian semuanya esay berupa menjawab soal-soal yang harus dianalisis terlebih dahulu baru bisa hitung-hitungan statistiknya. Jika tak paham apa yang ditanyakan,  otomatis semus rumus ( yang dipaksa hafal) tidak berguna.

Kabar bahwa ujian esay, itu jadi kabar buruk. Esay. Ngitung. Tidak pintar numerik. Semuanya membuat waktu sebelum ujian, seharusnya bisa tidur, malah diisi mimpi seolah sedang ikut ujian, dan pada saat ujian, pensilnya patah, terus diterjang hujan, dan tiba-tiba melihat kucing akan mencakar. Sungguh tidur yang penuh dengan tekanan bawah alam sadar, dimana mimpi merenggut masa pemulihan dengan rentetan mimpi yang sama sekali tidak bisa membuat pas bangun terasa segar.  Nightmare.

Kesadaran bahwa kemampuan  numerik tidak memadai untuk menghitung standar deviasi tanpa kerut-kerut alis, membuat saya sebagai peserta ujian merasa diuntungkan dengan tawaran pilihan menjawab soal. Dalam hal ini,  penguji memiliki kecerdikan untuk menggali kemampuan peserta ujian. Soal yang diberikan ada 10. Pada bagian petunjuk disebutkan bahwa peserta ujian hanya mengerjakan 5 soal, dan setiap soal bobotnya sama, yakni 20.

Waktu yang diberikan 120 menit, artinya satu soal harus bisa selesai dikerjakan dalam 24 menit. Soal yang diberikan sepertinya disusun bertahap dari mudah, ke sedang, dan sukar. Soal kelompok mudah, dengan kelompok lainnnya diatur agar masa pengerjaan waktunya jadi relatif sama. Misalnya pada soal mudah, hanya meminta menentukan standar deviasi,  tapi yang dikerjakan ada 5 varian. Soal sukar, hanya satu saja, tapi memerlukan waktu yang kurang lebih sama dengan menghitung standar deviasi yang ada 5 varian.

Ujian dengan jumlah soal 10 tapi hanya mengerjakan 5 saja, bagi saya,  peserta uijian, merasa diperlakukan istimewa oleh penguji karena boleh memilih soal mana yang mau dijawab. Seolah ada ruang untuk menentukan soal manapun yang sekiranya bisa dijawab.  Hal ini mendorong rasa percaya diri, dan jelas tidak ada pikiran menyontek,  lha wong soalnya milih sendiri, dan yang dipilih pasti yang bisa dikerjakan.

Hal kedua, penyajian soal dengan kadar penggunaan waktu yang dibutuhkan untuk menyelesaikan soal dalam waktu yang relatif sama, menyebabkan semua peserta ujian menggunakan waktu dengan efektif. Mengerjakan soal mudah, tidak berarti cabut dari kelas duluan, dan manas-manasin yang belum keluar terus bikin gugup yang masih di dalam kelas.

Terakhir, sebagai peserta ujian dengan kemampuan mematika biasa-biasa saja, memilih soal yang terjangkau otak lemot, merupakan kecerdasan pula. Memilih soal nomor-nomor awal yang berkomposisi mudah, memberikan waktu bagi otak lemot untuk memanfaatkan rumus yang sama, diulang sehingga seluruh varian soal selesai.

Mengerjakan soal esay menjadi sebuah pengalaman menarik ketika soal itu sendiri memberikan pelajaran tentang makna tes dan efeknya bagi pelaku tes.

No comments:

Post a Comment