Mengizinkan keluhan ditulis dan dijadikan sebuah buku merupakan latihan pembentukan sikap bertangung jawab terhadap setiap kata yang diucapkan. |
Inikah karakter murid kita?
Berita buruknya bahasa dan perilaku murid kepada guru berkali-kali ditayangkan di layar kaca. Diudarakan secara audiovisual dari salah satu televisi swasta, seorang murid mencengkeram kerah baju gurunya ketika ditegur merokok di dalam kelas. Selain mengakibatkan gurunya terintimidasi secara fisik, murid tersebut mengeluarkan kata-kata yang tidak sopan kepada gurunya. Pemandangan perilaku negatif yang memprihantinkan yang seharusnya tidak terjadi di kalangan pelajar Indonesia.
Negara Indoenesia yang berideologikan Pancasila, sejatinya anak-anak bangsa ini menghayati dan mengamalkan karakter Pancasila. Karakter-karakter positif pelajar Pancasila seperti beriman, bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, berkebhinekaan global, mandiri, bernalar kritis, gotong royong, dan kreatif seharusnya menjadi profil unik personal para murid. Namun nilai-nilai tersebut tidak tercermin pada perilaku siswa yang sedang mencengkeram kerah baju gurunya. Nilai-nilai Pancasila seolah pudar dan tidak menjadi karakter khas anak Indonesia dalam kesehariannya.
Reflkesi pengajaran
Membekali siswa dengan karakter Pancasila melalui pembelajaran dan pengajaran perlu dilatihkan, dicontohkan sehingga kelak menjadi kebiasaan baik. Guru sebagai orang dewasa, berkewajiban untuk membimbing murid menjadi individu yang berkarakter positif.. Di bawah ini, disarikan contoh membentuk perilaku positif yakni kolaborasi atau gotong royong yang diharapkan ditunjukkan murid. Sumber contoh ini diambil dari video untuk para guru penggerak yang disediakan pada LMS elearning guru penggerak.
Guru A berkata kepada murid-muridnya bahwa para murid besok harus membawa alat-alat kebersihan. Tujuannya agar para murid membersihkan kelas, dan guru meminta para murid untuk menjadi juara kebersihan kelas. Memenuhi rencananya, guru A menyeru murid-muridnya dengan berujar, "Sekolah kita mengadakan lomba kebersihan. Besok, kamu semua membawa alat-alat kebersihan ya. Bersihkan kelasnya ya, agar kelas kita menjadi juara kebersihan." Esok harinya, para murid membersihkan kelas. Murid yang tidak membawa alat kebersihan dari rumah berebut alat kebersihaan. Diam-diam dia ingin memberikan kesan turut serta membersihkan kelas dan dia menunggu pujian dari guru A atas usahanya itu.
Guru B memiliki rencana yang sama yakni ingin agar kelasnya bersih. Berlawaman dengan Guru A, alih-alih meminta para murid membawa alat kebersihan dari rumah, dia mengajak para muridnya untuk mengamati kelas. Setelah mengamati kelas, guru B bertanya, "Setelah mengamati kondisi kelas, bagaimana kondisi kelas kita? Apa yang dapat kita lakukan agar kelas kita nyaman?" Seorang murid mengacungkan tangan dan mengajukan gagasan untuk secara bersama-sama membersihkan kelas. Gagasan murid ini disetujui oleh seluruh anggota kelas, maka kemudian pada esok harinya para murid bergotong royong membersihkan kelas dengan sukarela, riang, dan gembira. Mereka peduli dengan kebersihan kelas dan bersepakat untuk menjaga kebersihan kelasnya dengan cara tidak membuang sampah sembarangan baik di dalam ataupun di luar kelas.
Dari kedua ilustrasi di atas terlihat bahwa guru B melatihkan sikap kolaborasi atau gotong royong yang mendorong para murid untuk bekerja sama, peduli, suka rela, berbagi tanggung jawab dengan seluruh anggota kelas. Sikap gotong royong murid muncul sebagai respon merdeka dari para murid atas permintaan guru yang jawabannya bisa apa saja. Lain halnya dengan para murid yang belajar besama guru A. Para murid mendahulukan sikap kompetitif, ingin mendapatkan reward, ingin dipuji. Sikap ini sebagai akibat tidak adanya pilihan yang bisa diajukan para murid selain menurut (obey) terhadap masalah yang diajukan guru.
Kedua ilustrasi di atas mengimplikasikan bahwa ketika mengajukan sebuah masalah harus memberikan banyak pilihan kepada murid. Murid yang dilatih mengiyakan dilanjutkan dengan melakukan suatu tindakan tanpa pikir panjang, menghadirkan murid yang kelak mengerjakan sesuatu bukan berdasarkan kepedulian dan tanggung jawab. Gagasan murid harus diberi ruang untuk hidup dan muncul di dalam kelas. Guru tidak harus selalu menjadi penentu dan pengatur segalanya. Para murid adalah individu yang kaya pengalaman sehingga mereka mampu menawarkan solusi untuk permasalahan yang muncul di dalam kelas.
Sudah saatnya guru kembali merefleksikan praktik mengajarnya. Sudahkah pengajaran yang diberikannya memberikan ruang untuk para murid memperoleh pengalaman mempraktikan sikap dan nilai pelajar Pancasila. Apa yang menurut guru merupakan yang terbaik untuk murid, sebaiknya ditelisik ulang. Ajaklah murid berbicara dan dengarkan. Ketika guru lebih banyak mengajak murid untuk mengamati, kemudian mengambil tindakan berdasarkan hasil pengamatan, profil pelajar Pancasila, perlahan namun pasti akan muncul dan terekam secara visual.
No comments:
Post a Comment