Pertama ada anggapan bahwa mahasiswa S3 itu orang-orang yang sudah berhasil dalam pekerjaan dan hidupnya sehingga sangat sibuk, tapi di sisi lain, banyak duitnya karena sudah punya jabatan.
Kedua, tidak semua orang bisa jadi mahasiswa S3, selain karena biayanya mahal, tuntutan kualitas keilmuan seorang calon doktor tidaklah enteng.
Saya menjalani S3 menjelang pensiun dari pengawas sekolah. Jelas sekali gelar yang diperoleh tidak untuk digunakan hal yang berkaitan dengan pekerjaan. Lagian, pengawas sekolah tidak memerlukan gelar doktor.
Saya berkuliah untuk mengukur keakademisan saya sendiri. Apakah saya mampu melaksanakan peran sebagai mahasiswa.
Tuntutan pertama, harus lulus TOEFL. Ketika dikabarkan harus ikut tes Toefl, saya diam-diam belajar dan mempersiapkan diri untuk tes. Thanks to YouTube and Adrian Permadi who uploaded his Toefl strategies in YouTube. Saya belajar trik menjawab soal listening, reading, grammar dan yang lainnya dari YouTube yang narasumbernya Adrian.
Saat tes seluruh yang diajarkan Adrian di YouTube benar-benar menjadi obor. Dan saya lulus, 545.
Bagaimana dengan teman seangktan yang lain? Failed, all failed, including the one who was graduated from English Department.
Tuntutan kedua, harus lulus ujian komprehensif yang dilakukan selama dua hari. Soal yang paling saya takuti adalah statistik. Ada lima mata ujian komprehensif selain dari statistik.
Again, saya lulus. Saya lulus sendiri. Yang lain, ada yang mengulang dua, ada yang mengulang tiga.
Tuntutan ketiga harus pernah menjadi speaker pada international seminar. Saya ikut 2 kali. Pembahasan ada yang tentang AI, tentang linerisasi tujuan belajar, proses pembelajaran, dengan penilaian.
Tuntutan keempat, harus nerbitin jurnal. Saya berhasil menerbitkan empat jurnal.
So, saya bisa mengikuti S3 dengan predikat sangat baik.
Tapi saya men-DO-kan diri saya sendiri dari kedoktoran ketika saya tak lagi mampu bayar.
Benar, pendidikan tinggi privilese orang berduit. Untuk yang ga ada duit, DO aja.
No comments:
Post a Comment