Friday, January 17, 2025

Kematian

Terbangun di tengah turbulensi pesawat karena cuaca buruk (37.000 dpl)  menyadarkan saya bahwa kematian bisa datang kapan saja. Semula tidak ada pikiran sama sekali mengenai rapuhnya nyawa yang ada pada badan saya. Pada saat naik pesawat, keriangan dan kegembiraan menyertai langkah saya ketika pramugari langsing berbaju oren menunjuk dengan tangan kirinya bahwa tempat duduk nomor 29F ada di sebelah kiri. 
Berpikir tentang kematian,  tidak menjadi kajian yang menyita perhatian saya, sebelumnya. Saya selalu memvalidasi secara egois bahwa usia umat Nabi Muhammad tidak akan jauh berbeda dengan nabinya, yaitu 65 tahun. Pernyataan pembenaran saya ini tentu saja tidak dapat dijadikan acuan bahwa saya masih memiliki 11 tahun ke depan untuk dapat membuka mata di pagi hari kemudian kornea mata saya menangkap ada sinar matahari dan kulit saya mengabarkan nikmatnya sentuhan hangat sinar matahari.
Kematian bisa datang kapan saja. Bisa pada saat saya riang gembira mengayunkan kaki masuk ke pesawat saat akan pulang ke tanah air. Bisa pada saat pesawat mengarungi cuaca buruk. Bisa saat duduk di kursi 29F dan sedang melakukan apa-apa. 
Kesadaran baru yang menggenapi kosa kata kehidupan saya sepulang umroh adalah 'kematian mengintip hidup'. Sebagian besar orang bisa saja memandang bahwa kesadaran saya terhadap bayang-bayang kematian terlalu lambat datang. Bukankah sejak kecil, budaya Sunda mengajarkan jodo-pati-bagja-cilaka membersamai setiap jasad yang memiliki ruh. Sejatinya berbicara kematian (pati) seakrab bercakap mengenai kemalangan (cilaka), kebahagiaan (bagja), atau jodoh (jodo). Kata 'kematian' memiiki kasta tersendiri. Ia sangat menyeramkan, penuh misteri, dan final. Lain sekali dengan kata 'jodoh' yang disepadankan dengan kehidupan baru yang penuh tantangan, kebahagiaan, reproduksi, belahan jiwa. Kematian pun sama-sama menawarkan kehidupan baru. Namun, kehidupan baru seperti apa, tidak ada yang persis tahu. Pada saat kecil, ketika saya mengaji, kyai mengenalkan kata 'alam kubur' sebagai babak baru setelah kematian. Dikubur dalam tanah yang sempit dan gelap. Maka Sang Kyai mengajarkan saya untuk berdoa dan mendoakan yang telah tiada agar diterangkan benderangkan dan diluaskan di alam kuburnya. Kini, setelah kata kematian mulai akrab dalam benak saya, muncul pertanyaan, apakah jasad ini masih memerlukan terang benderang dan tempat yang lapang di dalam tanah? Ketika ruh telah kembali, masih perlukah jasad mendapatkan sifat-sifat hidup seperti 'rasa terang dan rasa lapang'? Tubuh saya yang sekarang, sangat memerlukan terang dan lapang, apakah jasad memerlukan hal yang sama? Dalam pikiran jenaka saya berseloroh 'jika jasad berharap terang dan lapang atau mendapatkan sensasi rasa terang, sensasi rasa lapang di dalam kubur, apa mungkin si jasad nanti berharap sensasi rasa yang lain seperti nyaman,  tenang, tenteram, kenyang, puas. Nah, kalau kenyang kan berkaitan dengan pemenuhan kebutuhan jasad karena lapar. Kelak, di alam kubur,  perlukah didoakan agar si jasad merasa kenyang selain dari merasa lapang dan terang?'
Sepertinya saya harus mulai belajar dan berguru mengenai kematian supaya tidak membayangkan bahwa jasad perlu didoakan mendapatkan sensasi terang, sensasi lapang, sensasi kenyang. 

No comments:

Post a Comment