Friday, February 28, 2025

Satu per satu pergi

"Kapan meninggalnya?" 

Bunyi pertanyaan yang sama seperti yang ingin saya tanyakan. 

"Tadi malam," jawab si pengirim berita dengan awalan innalilahi, "Bu Enden kabarnya sakit, saya tengok tadi malam. Terus saya mah pulang.  Belum lagi sampai 
ke rumah, ada WA dari saudara Bu Enden yang mengabarkan beliau wafat tidak lama setelah saya berangkat."

Bu Enden, salah satu guru SMP saya. Guru yang tidak mudah untuk dilupakan. Pertama, bagi mata kanak SMP kelas 1 yang datang dari Kampung, lbu Enden ibarat sosok wanita turun dari langit. Rambutnya yang ikal mayang, mencuatkan dan memantulkan sinar matahari ketika wajah lonjongnya dibiarkan tersentuh mentari pagi dari sela pohon pepaya depan kelas. Wajah dan rambutnya  yang tertimpa cahaya surya melentingkan larik-larik kecantikan orang dewasa muda yang masih perawan. Saya dan teman sekelas akan terlongo-longo lupa mengatupkan mulut disodori pemandangan kecantikan pagi di depan kelas yang warnanya kontras cenderung terlalu kaku, putih-kuning pucat.

Saya sangat jatuh cinta pada keindahan mata Bu Enden.  Bagi saya yang tidak banyak bertemu perempuan bermata cantik, mata lbu Endenlah mata terindah dan tercantik di seluruh sekolah yang ada di dunia ini. Kelas saya akan berubah cahayanya ketika mata indahnya mendarat di lantai, di meja, di papan tulis, dan di wajah saya yang sangat biasa-biasa saja. Sangat menggembirakan ketika bisa disapa orang secantik Bu Enden. Bibirnya yang imut akan bergerak tak terlupakan ketika menyebut nama saya. 

Saya biasanya mengabaikan kerut heran seiring nama disebutkan. Saha paham akan nama saya yang menyodorkan kekampungan saya. Nama saya disebut saat pengabsenan, seminggu sekali, itu sudah cukup membuat saya bahagia. Artinya nama yang mewakili diri saya yang sangat biasa saja pernah diucapkan orang cantik. Walaupun saya tidak yakin beliau ingat saya, bagi saya, paling tidak selama satu tahun beliau tidak menuliskan A atau S, selalu titik untuk pengabsenan saya. Saya setia pada kelasnya, hanya untuk menikmati kerling dan gerak matanya yang tak dapat kukatakan. 

Setelah mengabsen beliau akan berjalan perlahan memeriksa tugas yang kerjakan di rumah. Setiap kali ujung sepatunya ber-tok-tok mendekati setiap meja, jantung saya akan berdebar keras. Akankah beliau puas dengan pekerjaan saya? Akankah beliau menepuk bahu saya dan bibirnya yang selembut tepung itu memuji hasil kerja saya yang kulakukan tanpa mengenal lelah. 

Saya tidak lagi ingat seperti apa suara Bu Enden.  Pastilah suaranya semerdu nyanyian subuh yang hening dan penuh makna.

No comments:

Post a Comment