Hari ini saya masih tertahan di Jakarta untuk menyelesaikan pengurusan administrasi anak saya. Saya merasa sangat tidak tenang. Hari ini saya memiliki jadwal mengajar 2 jam di kelas 12 MIPA 6. Jadwal mengajar saya hari ini hanya 2 jam saja.
Ketidakmampuan saya hadir pada 2 tempat sekaligus membuat saya harus belajar menerapkan pilihan mana yang harus dilakukan berdasarkan skala prioritas. Sekaligus, memikirkan solusi agar 2 pekerjaan yang terpaut jarak 125Km dapat terlaksana tanpa ada kerugian pada salah satu pihak.
Pilihan jatuh pada saya tidak berada di kelas hari ini. Pertama, secara fisik saya masih berada di Jakarta, perlu 6 sampai 7 jam untuk tiba di kelas. Sangat rasional untuk saya menyelesaikan segala urusan di Jakarta terlebih dahulu. Kalaupun memaksa pulang, saya tetap tidak akan bisa mengajar.
Kedua, pengurusan administrasi di Kedutaan menyangkut penyerahan tanggung jawab anak saya kepada notaris bukan hal sederhana yang bisa dilakukan pihak Kedutaan saja. Kehadiran notaris yang menjadi pelindung secara hukum untuk penyerahan tanggung jawab ini, menunjukkan keseriusan pemindahan tanggung jawab anak kepada pihak ketiga.
Ketiga, untuk mengajar saya bisa meminta bantuan guru kolega untuk menggantikan kehadiran saya. Kolega saya hari Senin dan Selasa tidak mengajar. Sangat memungkinkan baginya untuk berdiri depan kelas atas nama saya. Saya dan guru kolega telah membangun kerjasama untuk saling membantu ketika kelak salah satu dari kami tidak dapat hadir di kelas. Guru substitusi tidak diakui dalam sistem penyediaan guru di Indonesia namun saya melakukan hal itu demi tersedianya guru yang mendampingi siswa di dalam kelas. Saya mengasumsikan pemerintah tidak mengakui keberadaan guru substitusi terkait pembayaran tambahan untuk guru substitusi dan anggapan bahwa guru tidak boleh meninggalkan kelas pada saat jam kerja.
Pikiran saya jadi berjalan kemana-mana. Kini pikiran saya masih kembali ke saat malam tadi. Setiap keluarga hadir untuk berselamat jalan kepada anaknya. Haru biru khawatir dan bangga bercampur menjadi butiran do'a. Semua karena karuniaNYA maka anak-anak kami bisa terpilih. Saya hanya mampu berbisik mengajukan permohonan pada illahi, " Tuhan selamatkan mereka dalam berangkat, selama berkegiatan negeri Tirai Besi, negara Beruang Merah, dan mereka kembali ke tanah air."
Saya dan anak saya berkesempatan bertemu di bandara dalam waktu kurang dari 4 jam. Itupun waktunya bukan sepenuhnya milik orang tua. Waktu tersebut diisi brifing, pengecekan paspor, pemasangan tanda pada koper, memastikan barang bawaan tidak lebih dari 20Kg, dan hal-hal lain yang membuat kami, sebagai orang tua yakin bahwa anak-anak kami benar-benar akan terpisah secara waktu dan jarak selama hampir 3 minggu.
Sebelum anak saya berangkat, anak-anak dan orang tua berkumpul untuk berdoa bersama. Sebelumya saya bertemu Bapak Vitaly, pemimpin kegiatan yang menanganidan bertanggung jawab atas anak-anak mulai dari pemilihan sampai anak-anak kembali ke tanah air. Saya juga bertemu dengan pembimbing sekaligus pendamping anak saya. Anak-anak dibagi 2 kelompok. Anak saya dibimbing Aloyna, seorang Rusia yang pekrjaan utamanya adalah guru di pusat kebudayaan dan ilmu pengetahuan Rusia di Jakarta. Kelompok lainnya didampingi Rosa.
Waktu menunjukkan pukul 22, anak saya dan rombongan masuk ke bandara untuk pengambilan tiket. Itu artinya saya tidak akan bertemu secara langsung dengan anak saya selama beberpa minggu ke depan.
Saya menjalani hari sebaik mungkin semampu yang dapat saya lakukan. Saya tidak memiliki kemampuan untuk menyenangkan semua orang. Yang dapat saya lakukan adalah melakukan yang terbaik yang terjangkau secara akal, waktu tenaga dan pikiran saat ini.
No comments:
Post a Comment