Minggu disepakati sebagai hari
libur ditandai dengan warna merah pada kalender. Disikapi dengan bangun siang
oleh anak-anak sekolah. Katanya balas dendam. Entah balas dendam untuk apa. Apakah selama
seminggu mereka tidak tidur atau mereka tidak bisa semena-mena tidur di pagi hari?
Sehingga hari Minggu harus menjadi korban dendam.
Hari Minggu ini saya tidak
memiliki rencana yang terkait langsug dengan kehadiran saya di kelas dan
bertemu siswa. Dalam benak, saya berniat akan tetap mendampingi mereka dari
jauh. Adanya grup pada LINE, memfasilitasi niat saya untuk melakukan hal itu.
Minggu pagi, bagi guru,
mengerjakan pekerjaan rumah. Berubah peran dari Ibu Guru menjadi Ibu Rumah
Tangga. Memasak, mencuci, menyapu, mengepel, membersihkan rumput dan serentetan
pekerjaan domestik lainnya membuat Ibu Guru bekerja lebih keras ketika menjadi
Ibu Rumah Tangga.
Sedang memasak ketika saya
mendengar suara pintu depak diketuk. Saya didatangi salah seorang siswa saya
lulusan empat tahun sebelumnya. Dia diwalikelasi saya ketika kelas 12. Saya
memanggilnya Rara. Saya masih ingat bagaimana dia menangis ketika mendengar
saya bolak balik ke rumah sakit untuk pengobatan mata. Dia sangat simpati
dengan kesehatan saya. Dia dan Ibunya menyempatkan menengok ketika saya pulang
dari rumah sakit. Rara, anak yang sangat manja, sehingga Ibunya menitipkan agar
saya membantunya untuk bisa lebih mandiri.
Masih terbayang jelas ketika Rara
berulang tahun dan masih menangis di pangkuan Mamanya untuk mengekspresikan
betapa dia mencintai Mamanya. Masih jelas pula dalam ingatan saya, ketika saya
sebagai wali kelasnya, dan teman-temannya mendo’akan untuk kesehatan ayah Rara,
Ibunya Rara dan Rara sendiri.
Kini Rara datang meminta do’a
karena akan menikah. Menikah? Secepat ini?
Rasanya baru kemarin dia duduk di kelas MIPA. Saya mendengar kabar,
ketika dia berada di tahun pertama kuliahnya, ayahnya meninggal karena
diabetes. Saya tahu bagaimana rasanya ditinggal ayah. Saya membayangkan
bagaimana Rara yang manja, ditinggal ayahnya. Lama tidak mendengar kabar darinya.
Tiba-tiba dia datang dengan calon suaminya dan meminta do’a restu. Saya tanya
mengapa secepat itu menikah.
Diselingi isak tangis, Rara
menyampaikan bahwa Minggu depan, belum genap 40 hari Mamanya meninggal, dia
harus segera menikah untuk memenuhi
pesan terakhir Mamanya. Jawaban ini membuat saya kerongkongan saya serasa
tercekat Rara, si anak manja, ditinggal ayah bundanya dalam usia sebegitu muda,
dan menikah tanpa kehadiran salah satu pun dari kedua orang tuanya. Suasana pernikahan
seperti apa yang akan dilaluinya? Terlalu sedih untuk membayangkan hari bahagia
yang dilaksanakan dalam suasana duka.
Mama Rara, menurut penjelasan
Rara, meninggal karena adalah masalah dengan usus dikarenakan mengonsumsi jamu.
Jamu, perlahan namun dengan tanpa ampun, mengikis sisi dalam ususnya. Setiap kali
terasa sakit di lambung, ditudingkan pada Maag. Padahal setelah diperiksa oleh
dokter, dinding usus terus menerus mengelurkan asam lambung berlebihan. Seiring
waktu, dinding usus menipis, luka, sehingga BAB berdarah segar. Semakin lama
didnding usus yang luka tersebut bolong-bolong dan endoskopi satu-satunya jalan
untuk pengobatan. Namun jalan itupun bukan arah menuju kesembuhan. Luka usus
mengakibatkan tidak terjadinya penyerapan makanan, dan itu masalah besar.
Saya mendengarkan penjelasan
Rara, seolah saya sedang dibawa kembali
ke tahun 2008 sampai 2010. Kisah penyakit Mamanya persis yang dialami Ibuku. Beliau
meninggal karena radang usus yang parah. Sama, pemicunya karena mengonsumsi
jamu godogan. Saya berusaha tidak menangis ketika Rara bercerita bagaimana
kekejaman radang usus merenggut nyawa Mamanya. Namun bayangan Ibuku, bayangan
deritanya semasa hidup, terasa amat dekat, amat nyeri, saya pun menangis. Dan Rara
pun, menangis. Calon suami Rara berjuang untuk tidak menangis, tapi tidak
berhasil. Kami diselimuti kedukaan yang kami sendiri yang tahu kedalaman, dan
keperihannya.
Setelah saya kembali mendapatkan
kekuatan untuk bicara, saya mendo’akan Rara untuk kebahagiaan rumah tangganya. Serasa
ada yang kosong ketika membayangkan siapa yang akan berdiri di samping mempelai
wanita dan saya salami nanti. Saya baru memahami, mengapa Rara begitu manja,
begitu tergantung pada Mamanya. Rara hanya memiliki waktu yang sangat singkat
untuk bisa bercengkrama dengannya. Saya bersyukur memiliki waktu yang lebih
panjang ketimbang Rara untuk bisa bersama Ibuku. Walaupun kondisi kami sekarang
sama, tak berayah Ibu, saya merasa lebih baik dalam arti ayah ibuku sempat
menyaksikan saya menikah dan ayah menjadi walinya. Kalau Rara? Kembali bayangan
kesedihan hadir.
Hari Minggu merangkak menuju
senja ketika saya menerima kabar bahwa anak saya, yang berusia 12 tahun, sudah
mendapatkan tiket untuk ke Rusia dan berangkat pada hari Senin pukul 23.45.
sudah seminggu anak saya berada di kedutaan Rusia untuk mengkuti persiapan keberangkatan
ke Vladivostok sebgai peserta International Youth Camp dari Rosatom School. Rasanya
sangat janggal jika anak kecil berangkat jauh untuk pertama kalinya tidak
bertemu Ibunya terlebih dahulu. Saya memutuskan untuk berangkat ke Jakarta dan
menemui anak saya dalam sehari terakhirnya sebelum berangkat ke Rusia.
Saya mengabarkan melalui Grup
LINE kepada siswa bahwa hari Senin saya tidak dapat mengajar karena akan
mendampingi keberangkatan anak saya. Mereka secara spontan mengutarakan
keinginannya agar saya bisa masuk kelas. Namun kemudian mereka mengoreksi
keinginannya dengan mengucapkan selamat kepada anak saya dan memahami
ketidakhadiran saya di kelas. Hari Minggu ini, sama durasinya dengan
Minggu-minggu yang lain yang telah saya lalui. Namun, secara makna minggu ini
sangatlah berbeda. Saya berterimakasih kepada Tuhan atas kemurahanNYA
memberikan saya hari Minggu yang selalu istimewa.
Pagi2 udah dibikin nangis sama ceritanya miss
ReplyDeleteNice post