Thursday, July 27, 2017

Hari Ke-8

Minggu disepakati sebagai hari libur ditandai dengan warna merah pada kalender. Disikapi dengan bangun siang oleh anak-anak sekolah. Katanya balas dendam. Entah  balas dendam untuk apa. Apakah selama seminggu mereka tidak tidur atau mereka tidak bisa semena-mena tidur di pagi hari? Sehingga hari Minggu harus menjadi korban dendam.

Hari Minggu ini saya tidak memiliki rencana yang terkait langsug dengan kehadiran saya di kelas dan bertemu siswa. Dalam benak, saya berniat akan tetap mendampingi mereka dari jauh. Adanya grup pada LINE, memfasilitasi niat saya untuk melakukan hal itu.

Minggu pagi, bagi guru, mengerjakan pekerjaan rumah. Berubah peran dari Ibu Guru menjadi Ibu Rumah Tangga. Memasak, mencuci, menyapu, mengepel, membersihkan rumput dan serentetan pekerjaan domestik lainnya membuat Ibu Guru bekerja lebih keras ketika menjadi Ibu Rumah Tangga.
Sedang memasak ketika saya mendengar suara pintu depak diketuk. Saya didatangi salah seorang siswa saya lulusan empat tahun sebelumnya. Dia diwalikelasi saya ketika kelas 12. Saya memanggilnya Rara. Saya masih ingat bagaimana dia menangis ketika mendengar saya bolak balik ke rumah sakit untuk pengobatan mata. Dia sangat simpati dengan kesehatan saya. Dia dan Ibunya menyempatkan menengok ketika saya pulang dari rumah sakit. Rara, anak yang sangat manja, sehingga Ibunya menitipkan agar saya membantunya untuk bisa lebih mandiri.

Masih terbayang jelas ketika Rara berulang tahun dan masih menangis di pangkuan Mamanya untuk mengekspresikan betapa dia mencintai Mamanya. Masih jelas pula dalam ingatan saya, ketika saya sebagai wali kelasnya, dan teman-temannya mendo’akan untuk kesehatan ayah Rara, Ibunya Rara dan Rara sendiri.

Kini Rara datang meminta do’a karena akan menikah. Menikah? Secepat ini?  Rasanya baru kemarin dia duduk di kelas MIPA. Saya mendengar kabar, ketika dia berada di tahun pertama kuliahnya, ayahnya meninggal karena diabetes. Saya tahu bagaimana rasanya ditinggal ayah. Saya membayangkan bagaimana Rara yang manja, ditinggal ayahnya. Lama tidak mendengar kabar darinya. Tiba-tiba dia datang dengan calon suaminya dan meminta do’a restu. Saya tanya mengapa secepat itu menikah.

Diselingi isak tangis, Rara menyampaikan bahwa Minggu depan, belum genap 40 hari Mamanya meninggal, dia harus  segera menikah untuk memenuhi pesan terakhir Mamanya. Jawaban ini membuat saya kerongkongan saya serasa tercekat Rara, si anak manja, ditinggal ayah bundanya dalam usia sebegitu muda, dan menikah tanpa kehadiran salah satu pun dari kedua orang tuanya. Suasana pernikahan seperti apa yang akan dilaluinya? Terlalu sedih untuk membayangkan hari bahagia yang dilaksanakan dalam suasana duka.

Mama Rara, menurut penjelasan Rara, meninggal karena adalah masalah dengan usus dikarenakan mengonsumsi jamu. Jamu, perlahan namun dengan tanpa ampun, mengikis sisi dalam ususnya. Setiap kali terasa sakit di lambung, ditudingkan pada Maag. Padahal setelah diperiksa oleh dokter, dinding usus terus menerus mengelurkan asam lambung berlebihan. Seiring waktu, dinding usus menipis, luka, sehingga BAB berdarah segar. Semakin lama didnding usus yang luka tersebut bolong-bolong dan endoskopi satu-satunya jalan untuk pengobatan. Namun jalan itupun bukan arah menuju kesembuhan. Luka usus mengakibatkan tidak terjadinya penyerapan makanan, dan itu masalah besar.

Saya mendengarkan penjelasan Rara,  seolah saya sedang dibawa kembali ke tahun 2008 sampai 2010. Kisah penyakit Mamanya persis yang dialami Ibuku. Beliau meninggal karena radang usus yang parah. Sama, pemicunya karena mengonsumsi jamu godogan. Saya berusaha tidak menangis ketika Rara bercerita bagaimana kekejaman radang usus merenggut nyawa Mamanya. Namun bayangan Ibuku, bayangan deritanya semasa hidup, terasa amat dekat, amat nyeri, saya pun menangis. Dan Rara pun, menangis. Calon suami Rara berjuang untuk tidak menangis, tapi tidak berhasil. Kami diselimuti kedukaan yang kami sendiri yang tahu kedalaman, dan keperihannya.

Setelah saya kembali mendapatkan kekuatan untuk bicara, saya mendo’akan Rara untuk kebahagiaan rumah tangganya. Serasa ada yang kosong ketika membayangkan siapa yang akan berdiri di samping mempelai wanita dan saya salami nanti. Saya baru memahami, mengapa Rara begitu manja, begitu tergantung pada Mamanya. Rara hanya memiliki waktu yang sangat singkat untuk bisa bercengkrama dengannya. Saya bersyukur memiliki waktu yang lebih panjang ketimbang Rara untuk bisa bersama Ibuku. Walaupun kondisi kami sekarang sama, tak berayah Ibu, saya merasa lebih baik dalam arti ayah ibuku sempat menyaksikan saya menikah dan ayah menjadi walinya. Kalau Rara? Kembali bayangan kesedihan hadir.

Hari Minggu merangkak menuju senja ketika saya menerima kabar bahwa anak saya, yang berusia 12 tahun, sudah mendapatkan tiket untuk ke Rusia dan berangkat pada hari Senin pukul 23.45. sudah seminggu anak saya berada di kedutaan Rusia untuk mengkuti persiapan keberangkatan ke Vladivostok sebgai peserta International Youth Camp dari Rosatom School. Rasanya sangat janggal jika anak kecil berangkat jauh untuk pertama kalinya tidak bertemu Ibunya terlebih dahulu. Saya memutuskan untuk berangkat ke Jakarta dan menemui anak saya dalam sehari terakhirnya sebelum berangkat ke Rusia.


Saya mengabarkan melalui Grup LINE kepada siswa bahwa hari Senin saya tidak dapat mengajar karena akan mendampingi keberangkatan anak saya. Mereka secara spontan mengutarakan keinginannya agar saya bisa masuk kelas. Namun kemudian mereka mengoreksi keinginannya dengan mengucapkan selamat kepada anak saya dan memahami ketidakhadiran saya di kelas. Hari Minggu ini, sama durasinya dengan Minggu-minggu yang lain yang telah saya lalui. Namun, secara makna minggu ini sangatlah berbeda. Saya berterimakasih kepada Tuhan atas kemurahanNYA memberikan saya hari Minggu yang selalu istimewa. 

1 comment:

  1. Pagi2 udah dibikin nangis sama ceritanya miss

    Nice post

    ReplyDelete